Transportasi Darat, Sumber Utama Polusi Udara Jakarta
Selama masa pembatasan sosial berskala besar, kualitas udara di Jakarta menunjukkan perbaikan karena berkurangnya aktivitas transportasi dan energi. Kondisi ini sejatinya tetap dipertahankan dalam menyambut normal baru.
Oleh
SHARON PATRICIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transportasi darat dinilai menjadi penyebab utama pencemaran udara di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Kondisi ini terlihat dari adanya perbaikan kualitas udara ketika aktivitas transportasi darat menurun selama masa pembatasan sosial berskala besar.
Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DLH Pemprov DKI) Jakarta mencatat, ada perbaikan kualitas udara selama masa penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada 16 Maret-4 Juni 2020. Kondisi ini terjadi karena berkurangnya aktivitas dari sektor transportasi dan energi.
Kepala DLH Pemprov DKI Jakarta Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Yusiono A Supalal menyampaikan, salah satu parameter yang digunakan sebagai ukuran perbaikan kualitas udara di DKI Jakarta adalah PM2,5 atau partikulat halus berukuran kurang dari 2,5 mikron. PM2,5 ini merupakan salah satu jenis polutan berbahaya yang dapat masuk ke jaringan paru-paru dan menyebabkan gangguan kesehatan.
Sebelum diterapkan aturan bekerja dari rumah dan PSBB (9-15 Maret), polusi PM2,5 dengan penempatan stasiun pengukuran di Bundaran HI, Jakarta Pusat, sebesar 43,01 mikrogram per meter kubik. Namun, pada minggu ke-8 penerapan PSBB (1-4 Juni), tercatat ada penurunan PM2,5 sebesar 24,88 persen menjadi 32,31 mikrogram per meter kubik.
Dalam rentang waktu yang sama, penurunan PM2,5 juga terjadi di stasiun pengukuran wilayah Jakarta lainnya. Beberapa stasiun lainnya dipasang di Kelapa Gading, Jakarta Utara (turun 20,03 persen); Jagakarsa, Jakarta Selatan (turun 29,5 persen); Lubang Buaya, Jakarta Timur (turun 38,86 persen); dan Kebon Jeruk, Jakarta Barat (turun 27,9 persen).
Paparan ini mengemuka dalam webinar Rekam Jejak Kualitas Ibu Kota Negara dan Sekitarnya di Masa Pandemi Covid-19, Selasa (16/6/2020). Acara ini diadakan oleh Puslitbang Kualitas dan Laboratorium Lingkungan (P3KLL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Hadir pula sebagai narasumber, antara lain, Fungsional Pedal P3KLL Rina Aprishanty dan Koordinator Program Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Alfred Sitorus. Acara dimoderatori oleh Fungsional Pedal P3KLL Ely Rachmy Tapriziah.
Lebih lanjut, Yusiono menjelaskan, mengutip dari temuan Profesor Puji Lestari, Institut Teknologi Bandung, sumber pencemaran udara di DKI Jakarta didominasi oleh transportasi darat (sumber bergerak) dengan emisi black carbon 75 persen. Sementara sumber pencemaran udara dari sumber tidak bergerak adalah pembakaran industri (8 persen), pembakaran domestik (8 persen), serta pembangkit listrik dan pemanas (9 persen).
Pencemaran udara juga datang dari proyek konstruksi dan infrastruktur yang menghasilkan debu serta kemacetan. ”Pembangunan, baik MRT, LRT, Tol Becakayu, Tol Japek, apartemen, maupun hotel, juga menjadi sumber pencemar udara,” ujar Yusiono.
Beban sumber polusi pun terus meningkat seiring dengan penambahan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta. Catatan Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta menunjukkan, pada 2016, jumlah sepeda motor 13,3 juta unit (naik 5,3 persen per tahun) dan jumlah mobil penumpang 3,5 juta unit (naik 6,48 persen per tahun), belum termasuk mobil beban, bus, dan kendaraan khusus.
”Inilah yang nanti akan menyumbangkan 75 persen pencemaran udara di Jakarta. Jadi ini memang pekerjaan rumah bagi DKI Jakarta untuk bisa mengendalikan pencemaran udara,” kata Yusiono.
Jejak karbon
Rina Aprishanty menyampaikan, selama masa PSBB ada penurunan jejak karbon yang dapat dilihat dari pola transportasi. Sebagai simulasi, hasil studi terhadap pegawai P3KLL terkait penggunaan kendaraan, secara rata-rata ada pengurangan jejak karbon hingga 57 persen.
Jejak karbon, kata Rina, merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil. Semakin banyak manusia yang menggunakan kendaraan, pendingin ruangan, air, serta limbah yang dihasilkan akan menjadi beban bagi bumi.
”Keadaan ini menunjukkan, pola hidup kita itu berkaitan erat dengan pencemaran. Tanpa disadari, gaya hidup manusia yang ingin nyaman, misalnya menggunakan kendaraan dan AC, telah menghasilkan jejak karbon yang akan meningkatkan suhu bumi dan berujung pada perubahan iklim,” kata Rina.
Untuk itu, masyarakat perlu menggiatkan pola hidup ramah lingkungan dan membuat kegiatan ramah lingkungan seperti bank sampah. Selain itu, melakukan kompensasi atas kegiatan yang membebani bumi, antara lain, menanam pohon dan menggunakan transportasi massal.
Alfred Sitorus menyampaikan, hasil limbah yang juga membebani bumi dan membuat jejak karbon, salah satunya datang dari limbah aki bekas. Selama masa pandemi Covid-19, proses distribusi dan pengolahan aki bekas di smelter ilegal terus berlangsung, bahkan di beberapa lokasi, peleburan ilegal praktik ini semakin marak.
”Ada sekitar 71 spot peleburan ilegal aki bekas di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Praktik ilegal ini juga terjadi di Parung Panjang, Cinangka, Louwiliang, Pasar Kemis, Lebakbawangi, Pesarean-Tegal, Lamongan, Makassar, Batam, Medan, dan lokasi lainnya,” tutur Alfred.
Bagi kesehatan manusia, kata Alfred, peleburan ilegal aki bekas pada anak-anak akan mengganggu pertumbuhan otak dan tulang hingga menyebabkan down syndrome dan cacat fisik. Pada remaja, akan meningkatkan agresifitas dan antisosial.
Sementara untuk orang dewasa, peleburan aki bekas akan berdampak pada tekanan darah tinggi, frigiditas pada perempuan, keguguran spontan, penurunan fungsi reproduksi dan impotensi laki-laki, tremor, kerusakan fungsi ginjal, kerusakan permanen pada fungsi otak, hingga kematian. Secara umum, akan menyebabkan infeksi saluan pernapasan akut, pneumonia, bronkitis kronis, asma, jantung koroner, dan memicu kanker.
Atas kondisi ini, pemerintah harus menegakkan hukum secara ketat termasuk bagi pelebur resmi dan pabrik aki yang terlibat dengan operasional peleburan aki bekas ilegal. Selain itu, perlu formulasi regulasi yang mampu membina jalur distribusi dan pengolahan aki bekas sehingga prosesnya sesuai dengan kaidah perlindungan lingkungan.
”Kami juga sudah menyampaikan draf Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Pengelolaan Aki Bekas yang Ramah Lingkungan sejak 2014. Namun, memang hingga sekarang pengawasan terhadap peleburan ilegal aki bekas masih lemah, termasuk selama masa pandemi Covid-19,” kata Alfred.