Jemaah calon haji yang batal berangkat ke Tanah Suci tahun ini dapat menarik biaya haji yang telah dibayarkan. Hingga kini, baru 278 calon haji yang mengajukan penarikan dana haji.
Oleh
ANITA YOSSIHARA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jemaah calon haji yang batal berangkat pada 2020 diperbolehkan menarik dana yang telah disetorkan untuk melunasi biaya penyelenggaraan ibadah haji atau BPIH. Penarikan dana itu tidak akan membatalkan kepesertaan jemaah dalam perjalanan ibadah haji pada tahun depan.
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi, saat dihubungi Rabu (17/6/2020), menjelaskan, pemerintah menetapkan dua skema pengurusan biaya haji pasca-pembatalan keberangkatan jemaah pada musim haji tahun 2020 ini. ”Pertama tidak diambil, dan yang kedua bisa diambil atau ditarik jemaah,” katanya.
Ia menjelaskan, jemaah calon haji bisa mengambil seluruh dana yang sudah disetorkan, bisa juga hanya menarik biaya pelunasan BPIH. Jemaah yang mengambil seluruh ongkos haji, yakni setoran awal sebesar Rp 25 juta dan setoran pelunasan, secara otomatis kepesertaannya dalam ibadah haji dibatalkan.
Sementara jemaah yang hanya mengambil setoran pelunasan BPIH yang jumlahnya bervariasi antara Rp 6 juta dan Rp 13,3 juta sesuai dengan embarkasi masing-masing tetap masuk dalam daftar jemaah yang akan diberangkatkan pada 2021.
”Jika yang ditarik hanya (uang) pelunasan tidak menghilangkan porsi hajinya. Tetapi jika yang ditarik semua, termasuk setoran awal Rp 25 juta, akan batal keberangkatannya,” ujar Zainut menjelaskan.
Jemaah yang hanya mengambil dana pelunasan harus kembali membayar pelunasan BPIH pada 2021. Jumlah dana pelunasan yang harus disetorkan akan disesuaikan dengan besaran BPIH tahun 2021 yang ditetapkan pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat.
Dana setoran awal jemaah calon haji yang tidak diambil tetap akan dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Jemaah calon haji yang tetap menyimpan setoran awal ataupun seluruh ongkos haji akan menerima akun khusus yang dibuat BPKH.
Lebih lanjut, Zainut menjelaskan, dana setoran awal jemaah calon haji yang tidak diambil tetap akan dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Jemaah calon haji yang tetap menyimpan setoran awal ataupun seluruh ongkos haji akan menerima akun khusus yang dibuat BPKH. Pembuatan akun khusus itu dilakukan untuk keperluan pembagian manfaat dari pengelolaan dana BPIH oleh BPKH.
”Jadi nanti, 30 hari sebelum pemberangkatan kloter pertama haji pada tahun 2021, nilai manfaat (hasil pengelolaan) biaya haji diserahkan kepada yang bersangkutan,” kata Zainut.
Sementara berdasarkan keterangan dalam situs resmi Kemenag, sejak dibuka pada 3 Juni lalu hingga Selasa (16/6/2020), baru 278 calon haji yang mengajukan permohonan pengembalian setoran pelunasan BPIH. Direktur Layanan Haji Dalam Negeri Muhajirin Yanis menjelaskan, permohonan pengembalian ongkos haji diajukan melalui Kemenag kabupaten/ kota untuk selanjutnya diproses oleh Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh, BPKH, dan bank penerima setoran.
Sementara secara terpisah, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Tubagus Ace Hasan Syadziliy mengatakan, pada rapat kerja Komisi VIII dengan Menteri Agama Fachrul Razi pada 11 Mei lalu disepakati sejumlah alternatif penyelenggaraan ibadah haji. Salah satunya jika penyelenggaraan ibadah haji tahun 2020 dibatalkan, dana pelunasan BPIH dikelola BPKH secara terpisah dan nilai manfaat dikembalikan kepada jemaah melalui rekening virtual. Nilai manfaat itu diminta dibagikan sebelum masa pelunasan BPIH pada tahun 2021.
DPR masih mempersoalkan keputusan pemerintah meniadakan penyelenggaraan ibadah haji tahun ini. Pasalnya, pembatalan itu dilakukan tanpa persetujuan DPR dan dilakukan sebelum ada kepastian penyelenggaraan ibadah haji dari Pemerintah Arab Saudi
Meski demikian, DPR masih mempersoalkan keputusan pemerintah meniadakan penyelenggaraan ibadah haji tahun ini. Pasalnya, pembatalan itu dilakukan tanpa persetujuan DPR dan dilakukan sebelum ada kepastian penyelenggaraan ibadah haji dari pemerintah Arab Saudi. Ace, bahkan, menyebut keputusan Kemenag itu cacat hukum.
”Yang menjadi masalah itu, pemerintah menyalahi komitmen bahwa sebelum mengambil keputusan akan melakukan pembahasan dulu dengan DPR. Semua keputusan yang diambil pemerintah terkait haji bisa cacat hukum karena pemerintah melanggar UU MD3 (UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD),” ujar Ace.
UU MD3 mengatur kesimpulan dan/atau kesimpulan rapat kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat antara DPR dan pemerintah. Bahkan, pemerintah wajib melaksanakan keputusan ataupun kesimpulan rapat kerja. Sementara pada rapat kerja 11 Mei lalu, Komisi VIII dan Menag menyepakati akan memutuskan perihal penyelenggaraan ibadah haji tahun 2020 pada rapat kerja berikutnya yang sampai sekarang belum juga digelar.
Tak hanya itu, menurut Ace, idealnya pemerintah menunggu keputusan otoritas Arab Saudi . Sebab, bisa saja pemerintah Arab Saudi tetap menyelenggarakan ibadah haji dengan kuota terbatas dan protokol kesehatan yang ketat. Apalagi jika pemerintah Arab Saudi tetap memberlakukan visa undangan yang biasanya diterima sejumlah relasi di Indonesia.
Sementara Kemenag justru membatalkan seluruh perjalanan haji, baik untuk visa reguler, khusus, maupun undangan. ”Untuk visa undangan, misalnya, selagi dilaksanakan sesuai dengan protokol Covid-19 ya tidak masalah. Soal-soal begini kan bisa dibicarakan,” kata Ace.
Politikus Partai Golkar itu menegaskan, ibadah haji merupakan salah satu bentuk diplomasi bagi Indonesia dan Arab Saudi. Pembatalan seluruh perjalanan ibadah haji bisa saja dianggap sebagai bentuk ketidakhormatan Pemerintah Indonesia kepada otoritas Arab Saudi. Karena itu, akan lebih baik jika keputusan penyelenggaraan ibadah haji dilakukan setelah ada keputusan dari Pemerintah Arab Saudi.