Tren kebutuhan masyarakat atas informasi berkualitas akan bertahan pada masa mendatang. Jurnalisme harus mengedepankan kepentingan publik dan menjalankan disiplin verifikasi.
Oleh
RINI KUSTIASIH/NIKOLAUS HARBOWO/INGKI RINALDI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah pandemi Covid-19, kepercayaan publik terhadap informasi yang disampaikan media massa arus utama cenderung membaik. Momentum ini harus dijaga dengan menerapkan jurnalisme yang teguh pada disiplin verifikasi dan kode etik, serta berpihak kepada kepentingan publik. Masyarakat memerlukan jurnalisme yang sehat sebagai pemandu pengambilan keputusan, sekaligus menjaga demokrasi tetap berjalan baik.
Di tengah pandemi Covid-19, kepercayaan terhadap media arus utama berbasis ruang redaksi relatif membaik. Hasil riset Reuters Institute Digital News Report 2020 menunjukkan, pada April 2020, tingkat kepercayaan publik terhadap informasi dan berita mengenai virus korona yang berasal dari organisasi pemberitaan menduduki peringkat ke-4.
Posisi ini hanya berada di bawah dokter dan ilmuwan, organisasi kesehatan tingkat nasional, dan organisasi kesehatan global. Sebanyak 59 persen responden menjawab percaya. Adapun sebagai pembanding, pada Reuters Institute Digital News Report 2019, kepercayaan kepada media pemberitaan mencapai 42 persen, atau turun 2 persen dari tahun sebelumnya.
Pengajar Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara, Samiaji Bintang Nusantara, saat dihubungi pada hari Minggu (28/6/2020) malam menyebutkan, kepercayaan publik terhadap media berbasis ruang redaksi cenderung menguat di tengah banjir informasi. Hal ini terjadi karena ada kebutuhan orang-orang yang mencari referensi berbasis fakta.
Kebutuhan itu terutama dimiliki para pengambil kebijakan di sektor publik. Informasi yang berbasis reportase, pendalaman, bahkan investigasi menjadi kebutuhan untuk dipakai sebagai referensi sebelum memutuskan berbagai hal.
Dia meyakini tren itu akan cenderung bertahan pada masa mendatang. Publik akan bersedia membayar informasi berkualitas. Di luar masa pandemi, Bintang melihat kepercayaan terhadap jurnalisme bermutu juga bakal meninggi tatkala praktik demokrasi terancam.
Senada dengan hal tersebut, peneliti Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Ignatius Haryanto, mengatakan, dalam demokrasi, dibutuhkan masyarakat yang terinformasi. Mereka memerlukan asupan informasi yang presisi sehingga bisa merumuskan tindakan secara tepat dan lebih baik. ”Dia mengambil keputusan atas dasar informasi yang lengkap, bukan informasi yang cuma satu pihak, partisan sifatnya,” ujar Haryanto.
Maka, Haryanto mengingatkan, media massa harus mampu memelihara jarak pada kekuasaan. ”Bagaimanapun, semua pemerintahan, siapa pun dia, perlu dikritik dan dijaga jaraknya agar bisa obyektif dan menyampaikan hal-hal yang dibutuhkan masyarakat. Jangan jatuh pada sikap partisan. Kalau sudah jatuh pada sikap partisan, media tak akan dipercaya masyarakat,” ucap Haryanto.
Tanggung jawab publik
Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Atal Depari mengatakan, media massa terutama bertanggung jawab kepada publik. Ada nilai-nilai kemaslahatan bersama, kebaikan bagi publik, dan kebangsaan yang berupaya dibangun melalui kerja-kerja jurnalistik.
Semua itu dilakukan dalam kerja sama tim di redaksi yang melibatkan tidak hanya satu atau dua orang, tetapi banyak orang. Mereka ikut memastikan konten yang dihasilkan sesuai kode etik dan berkualitas serta membawa kemaslahatan bagi publik.
Salah satu tantangannya, apakah jurnalisme kita mau setia kepada prinsip-prinsip jurnalisme, atau malah bersikap pragmatis dan meniru medsos.
Ketika orang-orang makin risau dengan media sosial (medsos) yang sering dijadikan alat penyebaran informasi palsu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan mengatakan, pada saat itulah orang membutuhkan jurnalisme. Media arus utama memiliki keunggulan dibandingkan medsos karena memiliki kode etik sehingga tak mudah terjatuh menyebarkan berita bohong atau disinformasi.
”Salah satu tantangannya, apakah jurnalisme kita mau setia kepada prinsip-prinsip jurnalisme, atau malah bersikap pragmatis dan meniru medsos. Berita untuk memancing klik (click bait) yang berkembang belakangan ini adalah cara yang dipakai media konvensional untuk bertahan, padahal sebetulnya hal itu adalah resep-resep yang dipakai medsos,” katanya.
Selain setia kepada praktik jurnalistik yang baik, menurut Manan, media arus utama harus adaptif, terutama dalam kemasan dan strategi bisnis di era digital. Jurnalisme yang baik bisa saja tak bertahan bukan karena kualitas jurnalismenya buruk, melainkan karena tak cukup adaptif memasarkan konten dengan strategi dan kemasan yang inovatif serta menarik.
Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, mengatakan, secara umum, ada dua teori yang berkembang dalam menyikapi era disrupsi teknologi dan informasi. Teori pertama mengatakan, disrupsi total akan mengakibatkan media-media lama pupus sama sekali.
Namun, teori kedua menyebutkan adanya keseimbangan baru, yakni akan terjadi diferensiasi. Pada akhirnya masyarakat menyadari fungsi dan kelemahan medsos serta peran media konvensional.
”Masyarakat makin mengetahui fungsi medsos hanya sebatas chatting, forum diskusi ringan, atau rasan-rasan. Adapun media massa dengan basis kerja jurnalistik adalah tempat mencari informasi, berita, dan wacana sebagaimana sekarang ditemui di media konvensional,” katanya.
Agus meyakini teori kedua itu yang akan terjadi. Keseimbangan baru berlangsung dengan syarat media konvensional tak ikut-ikutan menyebarkan berita bohong dan disinformasi. ”Sepanjang konsisten dengan prinsip-prinsip good journalism, masa depan bagi jurnalisme masih akan ada,” kata Agus.
Selain mempertahankan prinsip-prinsip jurnalisme yang baik, media massa arus utama tetap dapat bertahan dengan dukungan regulasi yang berkeadilan. Di Indonesia, misalnya, platform medsos belum diatur kode etik, hukum, dan pertanggungjawaban atas konten yang dimuatnya.
Hal itu berbeda, misalnya, dengan media arus utama yang terikat kode etik serta kewajiban pertanggungjawaban atas konten yang dimuatnya. Menurut Agus, perbedaan perlakuan ini menguntungkan perusahaan platform medsos karena mereka tidak harus bertanggung jawab atas konten yang diunggahnya. Berbeda dengan media konvensional yang terikat dengan kode etik profesi.
Advokasi
Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Irwansyah, mengatakan, idealnya dilakukan pula advokasi secara kolaboratif untuk bernegosiasi dengan sejumlah platform media sosial di tingkat internasional. Hal ini bertujuan memastikan hubungan industrial yang adil antara media berbasis ruang redaksi dan medsos dalam hal penggunaan konten.
Menurut dia, konten di medsos tak hanya berasal dari pengguna, tetapi juga dari media berbasis ruang redaksi. Irwansyah mendorong penggunaan pendekatan hukum internasional, yakni di mana saja perusahaan medsos beroperasi dan menjangkau orang-orang, mereka terkena peraturan dan etika yang ditetapkan. Pendekatan itu mesti dilakukan bersama-sama dengan semua perusahaan media berbasis medsoa. Kolaborasi pun menjadi mutlak.