Di masa pandemi ini, kiprah para peneliti yang inovator sangat dibutuhkan. Mereka kini bahu-membahu berupaya memberikan solusi penanganan Covid-19 melalui keilmuannya.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi darurat selama pandemi Covid-19 membangkitkan gairah dan rasa kemanusiaan para peneliti untuk bahu-membahu mencari jalan keluar atas pandemi ini dari berbagai sisi ilmiah. Saat sebagian warga masyarakat ”dirumahkan” karena pemberlakuan pembatasan sosial, para peneliti terus berinovasi memunculkan berbagai alternatif mulai dari peralatan, obat, hingga panduan kesehatan yang berbasis keilmuan dan teruji keamanannya agar bisa digunakan masyarakat dan tenaga medis.
Seperti di Bandung, dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung (STEI ITB), Syarief Hidayat, memilih tak pulang selama lima pekan demi mengembangkan ventilator lokal yang bisa digunakan untuk membantu pernapasan pasien yang belum menyentuh fase darurat. Dengan alat ini, pasien tetap bisa menjalani perawatan dengan risiko gagal napas yang minim sehingga mengurangi risiko kematian,
Pengembangan ventilator lokal ini disebutkan Syarief menggunakan dana masyarakat dari Masjid Raya Salman ITB. Dengan menggunakan dana ini, ia tak perlu membuat proposal dan melalui birokrasi lain.
Namun, kalau tidak diambil, mau sampai kapan kami baru akan bergerak.
Ia menyatakan, reputasinya dipertaruhkan dengan mengambil risiko ”berutang” dari dana publik tersebut. ”Namun, kalau tidak diambil, mau sampai kapan kami baru akan bergerak,” katanya.
Syarief sampai tidak pulang ke rumah selama lima minggu untuk merakit inovasi alat yang dinamai Vent-I itu. Tujuannya tak pulang selama lebih dari sebulan itu untuk tetap fokus dan tak ingin membawa risiko penularan Covid-19 kepada keluarganya.
Usahanya tak sia-sia karena purwarupa Vent-I telah lolos uji oleh Balai Pengujian Fasilitas Kesehatan dan mengantongi Standar Nasional Indonesia (SNI). Selama merancang dan mengetes bahan itu, ia berkonsultasi dengan praktisi medis Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran untuk menemukan ventilator yang ringkas dan tepat sasaran sesuai kebutuhan pengguna.
Saat dihubungi, Jumat (26/6/2020), Syarief mengatakan sedang memproduksi Vent-I dengan target sekitar 850 unit atau setara dengan dana masyarakat yang dititipkan. Dari jumlah itu, 270 unit telah disalurkan ke rumah sakit di seluruh Indonesia.
”Setelah target dana masyarakat ini selesai, baru kami akan masuk ke fase industri,” ujarnya.
Kemandirian teknologi
Di masa yang bisa dikatakan darurat pandemi ini, kiprah para peneliti yang sekaligus inovator sangat dibutuhkan. Pandemi yang menyergap semua negara di dunia ini membuat akses untuk memenuhi peralatan medis—itu pun apabila tersedia dananya—sangat sulit karena semua negara membutuhkan tambahan alat medis.
Kondisi pandemi ini membuktikan bahwa sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia harus bisa mandiri memenuhi kebutuhan teknologi, termasuk teknologi terkait layanan kesehatan. ”Selama ini, kita mungkin terlena dengan kemudahan untuk mendapatkan produk secara impor,” kata Danang Waluyo, peneliti dari Balai Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Pandemi ini juga membuktikan bahwa para peneliti dalam negeri mampu untuk menghasilkan berbagai inovasi yang berkualitas. Para peneliti kini juga merasa lebih percaya diri untuk menghasilkan inovasi.
Buktinya, dalam waktu yang cukup singkat, yakni sekitar tiga bulan, sudah banyak inovasi untuk penanganan Covid-19 yang dihasilkan. Inovasi itu mulai dari alat tes pemeriksaan, alat bantu pernapasan, laboratorium pengujian, hingga berbagai terapi alternatif.
Ia mengatakan, dalam menjalankan proses penelitian di masa pandemi, kepercayaan diri serta optimisme untuk menghasilkan inovasi lebih tinggi dari biasanya. Dengan dukungan yang optimal, inovasi yang dikembangkan bisa cepat dihasilkan.
Produk laboratorium bergerak dengan standar keamanan hayati atau biosafety level 2, misalnya, bisa dihasilkan tim BPPT selama lebih kurang 1,5 bulan. Jangka waktu itu mulai dari tahap perancangan sampai menjadi produk yang siap dimanfaatkan.
”Banyak kendala yang dihadapi, seperti pengadaan bahan baku, juga perancangan produk agar bisa efisien, tetapi tetap berkualitas. Meski begitu, dengan dukungan dan harapan masyarakat luas, kami pun berhasil menghasilkan produk ini dengan baik,” ucap Danang yang juga menjadi salah satu anggota tim pengembangan inovasi laboratorium bergerak biosafety level 2 untuk pengujian spesimen Covid-19.
Produktivitas para peneliti untuk menghasilkan inovasi pun tercatat di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. ”Total hingga sekarang ada 119 penelitian yang dikerjakan oleh teman-teman di UGM,” ujar Sekretaris Direktorat Penelitian UGM Mirwan Ushada.
Dalam melakukan penelitian beragam bidang terkait Covid-19, para dosen dan peneliti UGM bekerjavsama dengan sejumlah pihak, seperti lembaga pemerintah, perusahaan swasta, dan perguruan tinggi lain. (RTG/TAN/HRS/MZW)