Bias Informasi dan Tekanan Ekonomi Membelokkan Persepsi Risiko
Bias informasi tentang Covid-19 membuat masyarakat belum memahami risiko penularan dengan baik. Situasi ini diperparah dengan menguatnya tekanan ekonomi sehingga banyak orang mengabaikan risiko.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bias informasi tentang Covid-19 membuat masyarakat belum memahami risiko penularan dengan baik. Situasi ini diperparah dengan menguatnya tekanan ekonomi sehingga banyak orang mengabaikan risiko. Akibatnya, dari aspek persepsi risiko, warga Daerah Khusus Ibu Kota dinilai belum siap memasuki normal baru.
Demikian temuan survei sosial yang dilakukan oleh Social Resilience Lab, Nanyang Technological University (NTU) bekerja sama dengan Laporcovid19.org, yang dipresentasikan pada hari Minggu (5/7/2020), di Jakarta.
Survei daring yang dilakukan sejak 29 Mei hingga 20 Juni 2020 ini berhasil mengumpulkan informasi dari 206.550 responden dan 154.471 di antaranya valid untuk dianalisis. Sebaran responden meliputi seluruh wilayah di Jakarta dengan sebagian besar berpendidikan SMA (57 persen) dengan pekerjaan ibu rumah tangga (44 persen) dan swasta (23 persen).
Sulfikar Amir dari NTU, yang memimpin kajian ini, menyebutkan, untuk menuju kehidupan normal baru, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan syarat epidemiologis yang harus dipenuhi, seperti kapasitas tes yang tinggi, penelusuran kontak, hingga kesiapan layanan kesehatan. Selain itu, juga ada syarat sosial, yaitu tingginya partisipasi warga.
Partisipasi warga yang tinggi, menurut dia, diperoleh jika masyarakat memiliki indeks persepsi risiko yang tinggi. Untuk mengukur indeks ini, para peneliti mengajukan 28 pertanyaan terkait dengan persepsi risiko, pengetahuan, informasi, proteksi diri, modal sosial, dan ekonomi.
Survei ini menemukan, dalam hal kepatuhan terhadap protokol kesehatan, sebagian besar responden mengaku sudah patuh. Sebanyak 58 persen rajin dan 39 persen selalu cuci tangan.
Terkait pemakaian masker, 26 persen responden kerap memakainya dan 71 persen selalu memakai saat keluar rumah. Terkait jaga jarak, sebanyak 38 persen mengaku sering dan 53 persen selalu melakukannya.
Tidak konsisten
Namun, pengakuan itu tak konsisten dengan persepsi risiko responden. Mayoritas warga beranggapan tak mungkin tertular Covid-19. ”Sebanyak 54 persen mengaku amat kecil kemungkinannya dan 23 persen kecil kemungkinannya tertular,” ungkapnya.
Demikian halnya, mereka beranggapan orang dekat ataupun orang di lingkungan mereka tak mungkin tertular Covid-19. Mayoritas responden, yaitu 30 persen juga beranggapan amat kecil kemungkinannya akan tertular jika ke tempat ibadah. Jawaban ini konsisten dengan risiko di tempat publik lain.
”Jadi, warga memang mengaku pakai masker, tetapi karena tidak yakin dengan risiko, kemungkinan memakainya tidak benar. Mungkin juga jaga jarak, tetapi tidak dengan keyakinan dan konstan,” kata Sulfikar.
Elisa Sutanudjaya, anggota tim peneliti, menambahkan, analisis lebih rinci terhadap lokasi tinggal responden menunjukkan, warga di kelurahan yang dulu tertular justru memiliki persepsi risiko Covid-19 lebih rendah. ”Misalnya Kelurahan Pegadungan yang dinyatakan zona merah selama 1,5 bulan, ternyata persepsi risiko termasuk 2 besar paling rendah,” ungkapnya.
Percaya konspirasi
Ambiguitas ini diduga terkait dengan bias informasi yang terterima masyarakat. Riset menunjukkan, 18 persen responden menyatakan, virus Covid-19 ini buatan manusia, 23 persen tidak percaya, dan 58 persen di antaranya ragu-ragu.
Jadi, warga memang mengaku pakai masker, tetapi karena tidak yakin dengan risiko, kemungkinan memakainya tidak benar. Mungkin juga jaga jarak, tetapi tidak dengan keyakinan dan konstan.
Terkait pertanyaan apakah Indonesia aman karena iklim tropis, 26 persen responden membenarkannya, 45 persen menjawab salah, dan 28 persen tidak tahu. Analisis korelasi menunjukkan, mereka yang membenarkan Indonesia aman karena iklim ialah responden yang lebih percaya pemerintah dan pendengung sebagai sumber informasi. Sebaliknya, mereka yang tidak memercayainya menjadikan dokter dan pakar kesehatan sebagai sumber informasi.
Selain aspek pengetahuan, rendahnya persepsi risiko ini juga disebabkan kuatnya tekanan ekonomi yang dialami warga. Bahkan, terdapat 11 persen responden yang rela tertular Covid-19 demi menjaga aktivitas ekonomi dan 23 persen yang ragu-ragu.
Mayoritas responden menyatakan ekonominya terdampak dari level cukup besar 33 persen, besar 17 persen, hingga sangat besar 26 persen. Mereka juga butuh bantuan sosial, yaitu 31 persen cukup besar, 22 persen besar, dan 26 persen sangat besar. Tekanan ekonomi, membuat warga mengabaikan risiko di sekelilingnya.
Survei juga menemukan, sebagian besar responden memiliki kepedulian dan ingin membantu orang lain secara sosial maupun ekonomi. Namun, sangat sedikit yang bisa melakukannya, karena tidak memiliki kemampuan melakukannya.
Dengan enam variabel ini, secara keseluruhan indeks persepsi risiko masyarakat DKI Jakarta hanya 3,30, mendekati agak rendah. Ini lebih rendah dari hasil awal yang dikeluarkan lima hari setelah survei. ”Idealnya angkanya minimal 4. Jadi, kalau diterjemahkan ke dalam bahasa kebijakan, warga Jakarta kurang siap masuk ke normal baru karena berbagai kondisi sosial ekonominya,” katanya.
Irma Hidayana dari Laporcovid19.org mengatakan, hasil survei ini sudah disampaikan ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sehingga diharapkan bisa menjadi dasar kebijakan. Selain intervensi berupa dukungan ekonomi kepada warga, aspek komunikasi risiko ke warga juga diharapkan bisa dibenahi.
Mengacu pada kajian ini, secara sosial, masyarakat Ibu Kota Jakarta memiliki kesadaran saling membantu, yang menandai modal sosial yang baik. ”Sekalipun masyarakat ingin membantu, tetapi keterbatasan itu tidak membuat mereka bisa saling membantu. Butuh intervensi bantuan dari pemerintah,” katanya.