Dunia bermain anak mengalami tantangan di masa pandemi Covid-19. Kreativitas orangtua dibutuhkan untuk menghindari anak dari kebosanan selama berada di rumah sekaligus mencegah anak tertular Covid-19.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di masa pandemi Covid-19, anak-anak mengalami situasi yang dilematis. Di satu sisi, penggunaan gawai bagi mereka dibatasi. Di sisi lain, ada ancaman pandemi jika bermain di luar rumah beramai-ramai.
Sejumlah anak terlihat berkerumun di tempat penjual sapi kurban di kawasan Jatipulo, Palmerah, Jakarta Barat, Kamis (23/7/2020). Di sana, mereka mengelus-elus sapi yang dipajang di pinggir jalan. Padahal, saat itu jam menunjukkan pukul 10.00 atau jam produktif belajar.
Salah satu anak yang bermain di situ ialah Alretski (9) yang tinggal di Jatipulo. Meski tidak setiap hari, akhir-akhir ini ia kerap main ke lapak penjual sapi tersebut bersama teman-temannya. ”Cuma megang aja. Kemarin (hewan) yang gede sudah (saya pegang), sekarang yang kecil,” katanya.
Alretski pergi bermain setelah selesai mengerjakan tugas matematika dari gurunya. Tugas bernyanyi lagu antikorona juga sudah ia tuntaskan. Tugas itu dikirimkan gurunya sejak pukul 06.00 sebelum ibunya berangkat bekerja.
Meski masih dalam masa pandemi, ia masih sering bermain bersama teman-temannya di luar rumah. Pukul 17.00, ia biasanya sudah berada di rumah menunggu sang ibu pulang bekerja. Waktu itu sekaligus menjadi penanda dimulainya waktu bermain gim di gawai sang ibu.
”Biasanya kalau udah Maghrib ya selesai mainnya. Mainnya Mobile Legend sama Free Fire,” ujarnya.
Indri Astuti (32), ibu rumah tangga asal Meruya Utara, Kembangan, Jakarta Barat, mengaku harus memutar otak agar sang anak tidak merasa bosan selama pandemi. Sebab, putranya kini tidak lagi dibebaskan bermain di luar rumah demi menghindari risiko terpapar Covid-19.
”Dulu sering main sama tetangga-tetangga, main sepeda, bulu tangkis, atau sepak bola. Anaknya memang banyak gerak,” katanya.
Indri hanya memberikan waktu bagi putranya untuk bermain gawai pada Sabtu dan Minggu saja. Selain membatasi durasi dua jam per hari, Indri juga mematikan jaringan internet pada gawai tersebut.
Alhasil, putra Indri yang berusia enam tahun itu kerap mengungkapkan rasa bosannya selama pandemi. ”Saya lihatnya kasihan ya. Dia sering ngambek kalau saya pegang gawai terus, sementara dia tidak ada kegiatan di rumah,” ujarnya.
Beberapa kali putranya sering bermain mobil-mobilan atau adonan untuk membentuk aneka benda di rumah. Namun, kegiatan ini tidak berlangsung lama. Dalam waktu singkat, si anak biasanya kembali bosan.
Indri kemudian berinisiatif mengajak anaknya bermain sambil belajar. Permainan yang ia pilih adalah permainan eksperiman yang mengasah gerak dan otak. Permainan tersebut hanya memanfaatkan perlengkapan rumah tangga seadanya.
”Misalnya mengisi air dalam plastik, terus ditusuk-tusuk dengan pensil tidak bocor. Ada lagi seperti menyatukan minyak dengan air, tetapi tidak menyatu,” ujar Indri.
Dengan permainan eksperimen tersebut, selama ini, putranya menjadi lebih fokus dibandingkan dengan permainan lain. Ia juga berpikir dan penasaran dengan hasil akhir eksperimen tersebut.
”Dari situ, dia bisa melatih geraknya sekaligus kemampuan berpikir kreatifnya,” katanya.
Permainan tradisional
Menurut Co-founder Komunitas Traditional Game Returns (TGR), Fajar Pratama, permainan tradisional bisa menjadi solusi bagi anak di masa pandemi. Orangtua bisa mengenalkan permainan tradisional yang tidak melibatkan banyak pemain.
Permainan tersebut, misalnya, SOS. Hanya bermodalkan kertas, pulpen, dan gulungan kertas, anak bisa bermain dengan orangtua atau anggota keluarga lain di rumah. Selain itu, ada congklak atau bekel yang masih mudah didapatkan di pasaran.
Di permainan congklak, orangtua juga bisa mengajarkan filosofinya kepada anak. ”Tujuh lubang congklak harus diisi satu per satu. Hal itu memberi pesan bahwa setiap hari kita harus berbagi kebaikan,” katanya.
Saat ini, sejumlah aplikasi gim daring bernuansa permainan tradisional juga sudah banyak tersedia. Menurut Fajar, memainkan permainan tradisional secara langsung dengan aplikasi adalah dua hal yang berbeda.
Gerakan-gerakan dalam permainan tradisional dapat merangsang saraf motorik dan cara berpikir anak. Di sisi lain, ada nilai-nilai yang hilang dalam permainan tradisional digital. Salah satunya adalah nilai kerja sama.
”Dalam gobak sodor atau galasin, anak akan berlatih mengatur strategi menghindari lawan agar bisa sampai di garis akhir,” ujarnya.
Fajar menilai, ketertarikan anak terhadap permainan tradisional saat ini masih tinggi. Hanya saja ruang-ruang pengenalannya masih minim. Beberapa ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) di Jakarta telah menyediakan permainan tradisional, tetapi selama pandemi RPTRA masih ditutup.
”Masih perlu banyak orang atau lembaga yang mengenalkan permainan tradisional ini keberlanjutannya terjaga,” ujarnya.
Dalam gobak sodor atau galasin, anak akan berlatih mengatur strategi menghindari lawan agar bisa sampai di garis akhir.
Menurut Ketua Perhimpunan Perlindungan Advokasi Anak Indonesia (Peran Indonesia) Muhammad Joni, orangtua bisa mengajarkan permainan yang mengandung konten kemanusiaan dan kesetiakawanan kepada anak. Sebab, konten permainan ini sangat relevan dengan situasi pandemi Covid-19.
Hindari permainan yang bernuansa kalah menang dan pilih permainan yang memberi pesan melindungi sesama. ”Tema kontennya diisi pesan agar anak memiliki sensitivitas pada kemanusiaan,” katanya.