Jakob Oetama, Bekerja dengan Hati
Dengan bersyukur, Pak Jakob bahagia. Dasarnya kesederhanaan hati. Semua terjadi karena penyelenggaraan Ilahi. Kerendahan hati, jati diri Pak Jakob. ”Nguwongke wong”, salah satu representasinya. Bekerja dengan hati.
Kepastian Pak Jakob Oetama dan Ibu Jakob sakit saya terima dari Mas Lilik Oetama, Minggu (23/8/2020) siang. Minggu (6/9) pagi, Mas Lilik kirim WA, ”Terima kasih untuk doa dan support-nya”. Senin (7/9) sekitar pukul 09.00, Mas Lilik kirim kabar, ”Bapak kritis”.
Selama dua minggu, karyawan Kompas Gramedia, tergabung dalam grup WA, terutama Redaksi Kompas dan Keluarga Kompas, yang masih aktif atau purnakarya, mempertanyakan kepastian sakitnya Pak Jakob.
Tuhan yang Mahakuasa dan Penguasa Kehidupan berkehendak lain. Pak Jakob dipanggil pulang beberapa hari menjelang berusia 89 tahun. Pak Jakob sowan Gusti. Segala persiapan kepulangannya, seperti penerimaan sakramen perminyakan, dan upaya lain sudah dilakukan semaksimal mungkin. Seperti kehidupan, kematian adalah keniscayaan. Sesuai iman Katolik—Pak Jakob dibaptis dengan pelindung Santo Jakobus—kematian bukan akhir segalanya, melainkan pintu gerbang kebahagiaan kekal.
Sudah merambah sejumlah negara dan kota, Pak Jakob senang ketika bisa mengunjungi Flores, Februari 2005. ”Inilah pertama kali saya ke Flores,” kata Pak Jakob ketika bersama Pak Frans Seda yang merayakan 79 tahun usianya di sana.
Berkeliling ke pelosok bumi Flores, Pak Jakob berkali-kali menyatakan kekaguman pada bumi Flores. Satu keinginan Pak Jakob yang belum terpenuhi, karena faktor kesehatan, ke Yogyakarta lewat darat dengan mobil.
Syukur tiada akhir
Mengenang Pak Jakob berarti memutar kehadiran dan jasanya bagi banyak orang, terutama sejak bersama Pak Petrus Kanisius (PK) Ojong (alm) mendirikan Intisari tahun 1963, harian Kompas tahun 1965, dan sejumlah usaha di bawah payung Kompas Gramedia. Dia sosok seorang bapak dan guru. Pernyataan Romo Van der Putten SJ, Rektor Seminari Mertoyudan, 70 tahun lalu kepadanya, terus ia ingat. ”Kowe bisa ngemong”, dalam arti luas Pak Jakob memiliki bakat dan bawaan sebagai guru, yang membimbing, yang tahu kelebihan dan kekurangan muridnya.
Baca Juga: Kompas, Pedoman Tanpa Menggurui
Bawaan seorang guru yang baik adalah kepedulian bahwa orang memiliki kelebihan dan kekurangan. No angel in the world. Guru meningkatkan kekurangan yang dimiliki muridnya dan membagikan kelebihan yang dimiliki murid lainnya. Kerja sama berkembang berkat berbaurnya kelebihan dan kekurangan. Dalam pekerjaan apa pun, utamanya media massa, kerja sama adalah keharusan. Setiap bagian memiliki peran dan kontribusi sendiri. Bagian redaksi, bisnis, sirkulasi, dan percetakan sama-sama penting. Bekerja bersama, saling memberi dan menguatkan. Pekerjaan media adalah organik yang organis, organis yang organik. Kompas Gramedia berkembang dan terberkati berkat kerja sama, dalam situasi terang bulan ataupun awan gelap, bergandengan tangan memikul beban bersama.
Bakat Pak Jakob sebagai guru, profesi yang beberapa tahun dijalani di SMP Mardi Yuwana Cipanas dan SMP Van Lith Jakarta, serta beberapa tahun sebagai dosen di Universitas Indonesia, yang membimbing dan mengarahkan, tecermin pula dari nasihat dan cara menyampaikannya. Nasihat yang paling sering disampaikan adalah agar selalu bersyukur dalam keadaan apa pun, suka atau duka. Pak Jakob memberi contoh, sepanjang hidupnya selalu bersyukur dan berterima kasih.
Sosok Pak Jakob identik tangan bersidekap dengan muka tengadah tanda syukur tiada henti. Being grateful atau full with gratitude atas semua anugerah Tuhan. Buku Syukur Tiada Akhir: Jejak Langkah Jakob Oetama yang terbit pertama tahun 2011, bertepatan syukuran 80 tahun usianya, selalu tergeletak di atas meja kerjanya di lantai 6 Gedung Kompas Gramedia, Palmerah Selatan.
Sebelum pandemi Februari 2020, ketika paling tidak Pak Jakob menengok ruang kerjanya pada hari Senin, Selasa, Kamis, dan Jumat, buku itu selalu tersedia. Mas Wandi, sopir pribadi yang setia, dan rekan security yang mengantarkannya ke ruang kerja selalu lebih dulu menaruh buku bersampul putih-kuning dengan wajah Pak Jakob mengatupkan dua tangan tanda bersyukur itu di atas meja. ”Itu milik saya, kan? Nanti saya bawa pulang,” katanya.
Kesederhanaan hati
Dengan bersyukur, Pak Jakob bahagia. Dasarnya kesederhanaan hati. Semua terjadi karena penyelenggaraan Ilahi. Berbagai penamaan menyanjung pernah diterima, di antaranya Press Baron dari Rosihan Anwar (alm), sebab berhasil membangun industri media, A Living Hero oleh tokoh media di Hawaii, sebab bisa mengembangkan harian Kompas dengan menandatangani ”pernyataan kesetiaan” pada pemerintah Orde Baru sehingga boleh terbit lagi pada 6 Februari 1978, tidak membuatnya jadi jemawa.
Baca Juga: Mengenang Sang Kompas, Jakob Oetama
Kerendahan hati, jati diri Pak Jakob. Nguwongke wong, salah satu representasinya. Ketika badan masih kuat, dia rajin mengunjungi karyawan yang sakit, memenuhi undangan karyawan yang menikah, melayat karyawan atau kerabat dekatnya yang meninggal. Semua adalah reperkusi kerendahan hati yang tulus, cermin sikap menghargai dan meningkatkan harkat manusia dan kemanusiaan. Bahwa roh humanisme transendental atau kemanusiaan yang beriman tak hanya jadi napas dalam berbisnis media, eksplisit dalam harian Kompas, tetapi mewujud dalam keseharian, menyatu dalam dirinya.
Setiap menerima penghargaan, seperti saat mendapat Bintang Mahaputera Utama dari Pemerintah RI (1973), memperoleh gelar doktor kehormatan dari UGM (2003) dan dari UNS Surakarta (2014)—tiga dari 15 lebih penghargaan yang diterimanya—Pak Jakob selalu menyelipkan kalimat, ”Semua ini berkat kerja keras, sinergi, dan kejujuran teman-teman yang dilandasi roh kemanusiaan yang beriman.”
Namanya berkibar sebagai usahawan, tetapi selalu Pak Jakob menyatakan dan bangga sebagai wartawan. Padahal, wartawan, usahawan, atau ilmuwan bukanlah cita-citanya. Awalnya, ingin jadi pastor, beralih ingin menjadi guru dan dosen, akhirnya menjadi wartawan. Menjadi pengusaha? ”Itu kebetulan saja,” katanya.
Intuisi intelektual
Minat utama Pak Jakob sebenarnya bidang politik, yang identik dengan media massa umum. Dia merendah tidak begitu tahu tentang bisnis, apalagi keuangan, tetapi bisa menempatkan dan memilih karyawan atau rekan kerja yang ahli di bidangnya. Manajemen, menurut Pak Jakob, pada dasarnya adalah common sense. Dengan nalar sehat orang bisa melihat kemampuan sendiri, mengakui kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pengakuan akan keterbatasan diri, modal membangun kerja sama yang kohesif. Saling memberikan kelebihan pada usaha bersama. Bekerja tuntas selalu diingatkan kepada wartawan dan karyawannya, tidak dia pungut dari buku manajemen, tetapi dari praksis (praktik dan refleksi) sehari-hari.
Profesi wartawan, kata Pak Jakob, adalah paduan kerja antara otak dan hati. Paduan itu mengarah pada penghargaan martabat manusia sebagai embrio demokratisasi. Paduan itu membuat wartawan adalah profesi dan bukan tukang. Cara kerja wartawan mirip ilmuwan, terutama dalam sikap curiosity, keingintahuan, terus gelisah, selalu bertanya, dan terus menggoyangkan diri. Menurut Pak Swantoro (alm), setiap kali ada persoalan yang sedang berkecamuk dalam dirinya, Pak Jakob tak bisa tidur semalaman.
Sebegitu intens bawaan hidupnya yang reflektif, Pak Jakob dikenal memiliki intuisi intelektual. Talenta ini terlihat sehari-hari. Awak Redaksi Kompas tentu mengingat, Pak Jakob selalu menemukan solusi dan bahan liputan investigatif di luar dugaan. Banyak hal yang disampaikan terbukti benar di kemudian hari, beberapa langkah lebih dulu dari yang lain.
Pak Jakob memiliki indera keenam. Kepekaan dan kepeduliannya pada persoalan, ditunjang kuatnya bacaan dan kepekaan hatinya, berbuah selalu menemukan hal baru, melakukan pilihan dan keputusan yang cerdas dengan mempertimbangkan faktor dihargainya harkat dan martabat, serta kemaslahatan bersama sebagai kompas. Dan, itulah salah satu warisan berharga bagi banyak orang: bekerja dengan hati, mengutip judul buku yang ditulis Nor Islafatun (Buku Pintar, Yogyakarta: 2013).
Di saat menjelang wafat pun, Pak Jakob menunggu, mempertimbangkan faktor kerepotan keluarga, karyawan, dan kerabatnya mempersiapkan kepergiannya sowan Gusti.
Selamat jalan, Pak Jakob!