Dianggap Lebih Parah dari Covid-19, Pemuda Khawatirkan Dampak Krisis Iklim
Pemuda menilai ada ancaman yang lebih parah dari dampak pandemi Covid-19, yakni dampak krisis iklim. Kesadaran kolektif dibutuhkan untuk menahan krisis iklim.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pemuda menilai ada ancaman yang lebih parah dari dampak pandemi Covid-19 yang tengah melanda, yakni dampak krisis iklim. Dampak yang sudah berlangsung perlahan akan segera mencapai puncaknya jika tidak ada kesadaran kolektif.
Bertepatan dengan aksi Global Climate Strike yang akan diselenggarakan di banyak negara, Yayasan Indonesia Cerah dan Change.org Indonesia meluncurkan survei persepsi para anak muda mengenai dampak krisis iklim. Survei yang dilaksanakan dari 23 Juli hingga 8 September 2020 ini diikuti oleh 8.374 orang dari 34 provinsi di Indonesia.
Mayoritas responden memiliki rentang usia 20-30 tahun dan aktif menggunakan media sosial. Survei disebarkan melalui situs web Change.org Indonesia, kanal media sosial dan aplikasi percakapan.
Hasilnya, 88 persen dari responden khawatir dengan dampak yang terjadi akibat krisis iklim. Bahkan, 59 persen di antaranya mengaku sangat khawatir. Hampir dari semua responden percaya, dampak tersebut lebih parah dari dampak pandemi Covid-19 yang saat ini sedang terjadi.
”Sebanyak 97 persen responden setuju bahwa dampak krisis iklim bisa lebih parah atau sama parahnya dengan dampak pandemi Covid-19,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah Adhityani Putri melalui konferensi pers daring, Jumat (25/9/2020).
Ada tiga dampak yang paling dikhawatirkan oleh para responden. Pertama adalah krisis sumber air bersih, yakni 15 persen. Selanjutnya adalah krisis pangan karena gagal panen (13 persen) dan munculnya penyakit atau wabah mematikan baru (10 persen).
Anehnya, dampak krisis iklim yang saat ini sudah terasa di sejumlah daerah di Indonesia justru kurang dikhawatirkan. Banjir bandang, badai, dan topan yang semakin sering terjadi menduduki peringkat paling bawah (1 persen).
”Ternyata korelasi antara fenomena cuaca ekstrem dan perubahan iklim ini masih rendah di kalangan anak muda,” tambah Adhityani.
Sebanyak 97 persen responden setuju bahwa dampak krisis iklim bisa lebih parah atau sama parahnya dengan dampak pandemi Covid-19.
Sementara itu, solusi yang paling banyak dipilih oleh para responden dalam menghadapi ancaman tersebut adalah menghentikan penebangan serta pembakaran hutan dan lahan, yakni 28 persen. Solusi terbaik kedua adalah mengakhiri ketergantungan energi fosil dan mulai dengan energi baru terbarukan (26 persen). Solusi ketiga adalah memulai perilaku hidup ramah lingkungan (19 persen).
Sebanyak 70 persen responden rupanya sudah memahami bahwa energi bersih yang ada di Indonesia cukup melimpah. Sumber energi yang mereka anggap paling potensial untuk menggantikan sumber energi konvensional adalah matahari, yakni 28 persen, air (20 persen), angin (16 persen), gelombang laut (15 persen), dan panas bumi (14 persen).
”Sumber-sumber energi yang dipilih mungkin yang paling dekat dengan responden dan ketersediaannya yang mulai banyak,” lanjut Adhityani.
Warga muda aktif, begitu Adhityani menyebut para responden, menganggap komitmen pemerintah, DPR, dan perusahaan masih buruk dalam menangani krisis iklim. Sebanyak 63 persen menilai kinerja pemerintah menghambat penanganan krisis iklim. Di sisi lain, 24 persen lainnya menilai kesadaran publik yang rendah menjadi penghambatnya.
”Tiga dari lima responden berpendapat bahwa krisis iklim harus ditangani oleh menteri atau presiden. Sepertinya anak-anak muda ingin isu ini mewarnai agenda politik di tingkat yang lebih tinggi,” katanya.
Menurut influencer sekaligus pegiat kebun rumah, Rara Sekar, hasil dari survei tersebut sesuai dengan kegelisahan anak-anak muda sepertinya. Survei ini juga semakin membuktikan bahwa krisis iklim adalah hal mendesak yang perlu ditangani bersama.
Rara juga menyoroti krisis air bersih dan pangan yang menjadi kekhawatiran dari para anak muda. Menurut dia, hal ini tidak terlepas dari pandemi Covid-19 yang juga memicu terjadinya dua krisis tersebut.
”Krisis pangan sempat terjadi di beberapa titik karena pasokannya terhenti akibat pandemi,” katanya.
Mengenai dampak krisis iklim yang paling banyak dikhawatirkan oleh responden, Rara menduga hal tersebut dipengaruhi oleh demografi kelas sosial dari para responden. Kemungkinan, responden berasal dari kalangan menengah ke atas sehingga kurang peka terhadap banjir bandang, badai, dan angin topan.
Perlahan, tetapi pasti
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ruandha Agung Sugadirman mengatakan, kekhawatiran anak muda mengenai dampak krisis iklim yang lebih parah dibanding Covid-19 sesuai dengan yang selama ini selalu ia sampaikan. Dampak dari krisis iklim memang berjalan lambat tapi pasti.
”Pada satu titik tertentu pasti akan membahayakan bagi seluruh makhluk hidup di muka bumi,” katanya.
Dengan adanya survei ini, Ruandha menilai komunikasi mengenai isu perubahan iklim harus lebih diintensifkan lagi dengan para anak muda. Pemerintah, melalui KLHK, berkomitmen melakukan hal ini. Komunikasi akan menggunakan bahasa yang lebih sederhana agar mudah dipahami oleh anak muda.
”Karena bahasa-bahasa dalam perubahan iklim ini sangat teknis sekali. Ini harus diterjemahkan dengan bahasa yang lebih sederhana,” katanya.
Menurut Ruandha, KLHK bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat ini juga berencana memasukkan materi perubahan iklim ke dalam kurikulum sekolah. Materi-materi tersebut nantinya akan diselipkan pada mata pelajaran yang sudah ada, seperti IPA, Bahasa Indonesia, dan IPS.
”Hari ini kami ada di Gorontalo untuk memberikan lokakarya kepada guru-guru SD dan SMP mengenai isu perubahan iklim. Sebelumnya, lokakarya serupa sudah kami lakukan di Jakarta, Surabaya, dan Semarang,” katanya.