Akses terhadap fasilitas cuci tangan di Indonesia masih terbatas. Akibatnya, praktik menjaga kebersihan tangan untuk mencegah penularan penyakit lebih sulit dilakukan.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan perilaku masyarakat, termasuk kebiasaan mencuci tangan, menjadi salah satu cara efektif untuk mencegah penularan Covid-19 dan berbagai penyakit lain. Namun, perubahan perilaku itu sulit terbentuk lantaran akses warga terhadap fasilitas cuci tangan masih terbatas.
”Ada 40 persen dari populasi dunia atau sekitar 3 miliar orang tak memiliki akses terhadap sarana cuci tangan, di rumah, sekolah, tempat kerja, dan ruang publik lain yang menjadi tempat orang berkumpul,” kata Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari dalam acara peringatan Hari Cuci Tangan Sedunia, Kamis (15/10/2020), di Jakarta.
Sekitar 35 persen risiko penularan penyakit bisa dicegah dengan mencuci tangan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, tangan bisa menjadi sarana penularan Covid-19. Penyebabnya, tangan paling sering bersentuhan dengan wajah, terutama mata, hidung, dan mulut. Bagian wajah menjadi pintu bagi virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 untuk masuk ke dalam tubuh.
Meski manfaatnya besar dan mudah dilakukan, kedisiplinan warga mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 menunjukkan, ada 5,37 persen warga tak pernah atau jarang mencuci tangan saat berada di luar rumah. Selain itu, 19,25 persen warga mengaku jarang mencuci tangan.
Perubahan perilaku warga untuk terbiasa mencuci tangan sulit terbentuk jika akses pada sarana yang dibutuhkan sulit dijangkau. Karena itu, Direktur Perumahan dan Permukiman Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Tri Dewi Virgiyanti menuturkan, perlu keterlibatan semua pemangku kepentingan untuk mendukung ketersediaan sarana cuci tangan pakai sabun (CTPS) di fasilitas publik.
Data BPS menyebutkan, secara nasional tingkat ketersediaan fasilitas CTPS di rumah tangga sekitar 50 persen. Sementara ketersediaan sarana CTPS di pasar 48,59 persen, tempat ibadah 25 persen, tempat kerja 18 persen, dan pusat perbelanjaan, seperti mal, baru 23 persen.
”Kondisinya jauh dari harapan. Seharusnya ketersediaan sarana ini mencapai 80 persen. Penting untuk memastikan ketersediaan air bersih dan perilaku yang baik. Dari 50 persen rumah tangga yang memiliki fasilitas CTPS, keluarga yang sering mencuci tangan baru sekitar 30 persen,” kata Tri.
Menurut Perwakilan Unicef Indonesia Debora Comini, dari data yang ada, sekitar 60 juta warga Indonesia, atau 1 dari 4 orang, tak memiliki akses kepada sarana cuci tangan umum. Jumlah sarana ini pun amat kurang di tempat penting, seperti sekolah, kantor, fasilitas kesehatan, dan ruang publik.
Cara sederhana
”Pandemi Covid-19 mengingatkan kita bahwa cara efektif membantu mencegah penularan penyakit amat sederhana. Untuk mengalahkan Covid-19 dan menurunkan risiko terjadi wabah lain, akses kepada sarana cuci tangan dengan sabun harus dimiliki tiap warga Indonesia,” katanya.
Upaya meningkatkan akses masyarakat kepada sarana cuci tangan dan mengubah perilaku kebersihan dinilai krusial. Kampanye dan sosialisasi perilaku bersih dan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun harus dilakukan semua pemangku kebijakan.
Menurut Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Suprapto, gerakan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir menjadi investasi jangka panjang ketahanan kesehatan masyarakat. Kebiasaan mencuci tangan tak hanya efektif mencegah penularan Covid-19, tetapi juga isu kesehatan lain, seperti diare dan malnutrisi.
Untuk mengalahkan Covid-19 dan menurunkan risiko terjadi wabah lain, akses kepada sarana cuci tangan dengan sabun harus dimiliki tiap warga Indonesia.
Karena itu, kesadaran mencuci tangan harus ditanamkan sejak anak-anak. Konsep mencuci tangan yang diajarkan harus baik dan benar. Mencuci tangan sebelum makan, setelah buang air, setelah menyentuh benda di tempat umum, serta sebelum menyentuh wajah.
Erwin Simangunsong, Chief Program Operation Save the Children di Indonesia, menambahkan, meski mencuci tangan bukan hal baru, kebiasaan itu bermanfaat bagi kebersihan individu. Pada masa pandemi, kebiasaan ini bisa menyelamatkan jiwa. Berbagai studi menyebut, cuci tangan menurunkan risiko diare 30-48 persen, mengurangi risiko infeksi saluran pernapasan akut 20 persen, dan menekan risiko penularan patogen terkait wabah seperti Ebola.
”Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir dimulai dari usia anak. Kebersihan diri memacu produktivitas. Artinya, anak-anak lebih jarang absen di sekolah karena sakit, seperti diare dan kolera. Sekolah perlu menyediakan fasilitas air dan sabun,” ucapnya.
Sementara itu, Menurut Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Kamis (15/10), ada 4.411 kasus baru Covid-19 sehingga total 349.160 kasus. Pasien meninggal bertambah 112 orang sehingga total 12.268 kematian. Pasien sembuh bertambah 5.810 orang sehingga total ada 273.661 pasien yang dinyatakan sudah terbebas dari Covid-19.
Layanan primer
Dalam kesempatan terpisah, Yoni Syukriani, mantan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, menilai, pandemi Covid-19 menunjukkan lemahnya sistem layanan primer dan dominasi pendekatan kuratif berbasis rumah sakit. Belajar dari kesuksesan Thailand mengatasi Covid-19, sistem layanan primer menjadi garda terdepan dalam mencegah meluasnya wabah melalui pendekatan kesehatan publik.
”Banyak negara, serta WHO, lebih mencurahkan energi untuk kesiapan rumah sakit, termasuk dokter. Artinya, fokus ke layanan sekunder dan tersier. Namun, makin disadari pandemi membuat kita melupakan pentingnya pelayanan di tingkat primer,” tuturnya.
Menurut Yoni, masalah pandemi terbesar berada di tingkat primer. ”Pelayanan di tingkat primer harus menjadi benteng untuk mencegah penderita menjadi makin sakit dan butuh pelayanan lebih lanjut. Kalau mau mengatasi pandemi secara komprehensif, pelayanan primer harus lebih siap,” katanya. (DEONISIA ARLINTA/SONYA HELLEN SINOMBOR/AHMAD ARIF)