Pengelolaan program Jaminan Kesehatan Nasional masih menghadapi sejumlah kendala terkait pembiayaan. Sejumlah intervensi dibutuhkan untuk menjaga keberlanjutan program tersebut.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketimpangan fasilitas dan mutu layanan serta masalah pembiayaan program Jaminan Kesehatan Nasional masih terjadi di masa pandemi Covid-19. Agar penerapan program itu berkelanjutan, sejumlah strategi perlu diterapkan, meliputi pemanfaatan pajak dosa, penerapan prinsip farmaekonomi, dan pemanfaatan mahadata.
Direktur SMERU Research Institute Widjajanti Isdijoso dalam diskusi daring bertajuk ”Menuju Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang Berkelanjutan”, Selasa (20/10/2020), di Jakarta, mengemukakan, sejumlah upaya pemerintah untuk mengatasi masalah pembiayaan JKN belum optimal. Hal ini ditandai dengan masih defisitnya pembiayaan JKN.
Sejumlah solusi yang dapat diterapkan untuk mengatasi permasalahan ini dalam jangka pendek, yaitu pemanfaatan pajak dosa (sin tax) dan pelibatan swasta dalam skema koordinasi manfaat. Strategi ini dapat dioptimalkan untuk memperluas ruang fiskal pembiayaan JKN.
Pemanfaatan pajak dosa bersumber dari cukai tembakau, alkohol, dan konsumsi lain untuk pembiayaan JKN dipandang menjadi salah satu solusi perbaikan tercepat. Sebagai gambaran, target penerimaan cukai pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 dipatok di angka Rp 178,5 triliun. Nilai ini lebih besar daripada anggaran kesehatan senilai Rp 130 triliun pada 2020.
Ketua Perkumpulan Ahli Ekonomi Kesehatan Indonesia Hasbullah Thabrany mengemukakan, untuk solusi jangka menengah dan panjang, strategi yang dapat diambil yakni penerapan prinsip farmakoekonomi. Solusi ini diterapkan untuk meningkatkan efektivitas perawatan dan terapi.
”Prinsip ini merujuk pada perhitungan manfaat dan biaya penggunaan suatu obat berdasarkan hasil uji klinis yang akurat. Sebagai contoh, penggunaan farmakoekonomi digunakan untuk menilai obat infeksi paling efektif dengan harga paling rendah untuk dimasukkan ke dalam e-catalog JKN,” ujarnya.
Prinsip ini merujuk pada perhitungan manfaat dan biaya penggunaan suatu obat berdasarkan hasil uji klinis yang akurat.
Peneliti SMERU, Nurmala Selly, menyatakan, solusi jangka panjang lain yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah pembiayaan JKN adalah dengan pendekatan know your customer (KYC) berbasis big data. Pendekatan ini diterapkan untuk menganalisis lebih lanjut karateristik kesehatan peserta JKN, mengontrol mutu, dan mengendalikan biaya dalam bentuk pemantauan anti-penipuan.
Menurut dia, rekam medis pasien merupakan salah satu sumber data penting yang perlu diperhitungkan dalam menentukan kebijakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan meningkatkan efisiensi pembiayaan. Namun, saat ini sistem pencatatan data medis masih bersifat manual serta belum bersinergi dengan baik antara satu fasilitas kesehatan (faskes) dan faskes lainnya.
”Tidak adanya sinergi ini membuat data yang sangat kaya tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Ke depan, peran para pemangku kepentingan sangat diperlukan dalam mendorong integrasi big data kesehatan di Indonesia disertai dengan kerangka regulasi yang tepat guna menjamin privasi dan keamanan data masyarakat,” ungkapnya.
Strategi pemerintah
Direktur Harmonisasi Peraturan Penganggaran Kementerian Keuangan Didik Kusnaini mengatakan, terdapat tiga hal atau strategi untuk menjaga keberlanjutan JKN, yakni tarif iuran yang optimal, kolektibilitas yang tinggi, dan pemanfaatan yang rasional. Strategi tersebut juga telah diupayakan pemerintah dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Pada awal Juli 2020, BPJS Kesehatan menaikkan kembali tarif JKN untuk 13 juta peserta mandiri kelas I dan kelas II atau 6 persen dari jumlah total peserta program JKN. Sementara kenaikan tarif untuk 21 juta peserta kelas III baru akan diberlakukan pada Januari 2021.
Terkait dengan strategi lainnya, Didik memandang bahwa pemanfaatan earmarked tax atau pajak pengeluaran tertentu untuk membiayai asuransi kesehatan sosial merupakan praktik umum di sejumlah negara. Namun, untuk implementasi di Indonesia masih perlu proses legislasi yang didorong oleh berbagai pihak.
Ia mencontohkan, hukum pajak dosa (sin tax law/STL) di Filipina berhasil mereformasi earmarking terhadap produk tembakau dan alkohol untuk mempromosikan kesehatan dan memperluas cakupan peserta asuransi PhilHealth. Adapun di Australia, earmarked tax pada tembakau digunakan untuk membiayai promosi pelayanan kesehatan di Victoria, Australia Barat, dan Australia Selatan.
Kendati demikian, Didik menegaskan, penerapan dana dosa harus didampingi dengan alternatif lain, yakni kerja sama pemerintah dan swasta terkait koordinasi manfaat. Gagasan ini juga telah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Akan tetapi, regulasi ini dinilai masih memerlukan peninjauan lebih lanjut.
Selain meningkatkan akses terhadap jumlah fasilitas kesehatan, kata Didik, skema kerja sama pemerintah dan swasta memungkinkan selisih biaya penanganan kesehatan ditanggung oleh asuransi komersial sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku.