Keresahan Warga pada Gelandangan Kalah oleh Rasa Iba
Rasa iba masih tersimpan di benak warga Jakarta saat melihat gelandangan. Dengan berbagai pertimbangan, mereka masih kerap mengulurkan tangan untuk memberikan rupiah saat berpapasan dengan gelandangan di jalanan.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski keberadaan gelandangan di Jakarta tidak pernah diharapkan, warga tetap menaruh rasa iba terhadap mereka dengan memberikan uang. Padahal, santunan yang didasari belas kasihan ini dapat menjadi candu bagi mereka untuk terus menggelandang.
Hampir setiap hari, Nandung (47), warga Pademangan, Jakarta Utara, selalu menjumpai gelandangan. Kebetulan, dia cukup rutin bepergian dari rumahnya ke kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, menggunakan transportasi umum. Nandung biasanya menjumpai mereka di sekitar halte dan trotoar.
”Mereka biasanya ngamen atau ngemis. Sejauh ini, sih, tidak ada yang begitu mengganggu. Tidak ada yang sampai minta sambil maksa-maksa,” ujarnya saat ditemui, Selasa (2/1/2021) siang.
Nandung mengaku kerap memberikan uang kepada para gelandangan ini. Meski begitu, bukan sembarang gelandangan yang dia santuni. Dia hanya akan memberikan uang kepada gelandangan yang memiliki keterbatasan fisik.
”Saya juga pilih-pilih kalau ngasih. Misalnya yang kakinya tidak sempurna atau yang matanya enggak bisa melihat,” katanya.
Nandung mengaku tidak kuasa menahan rasa iba jika bertemu gelandangan semacam ini. Dia menduga, keterbatasan fisik tersebut memaksa para gelandangan ini mengemis di jalanan. Hal ini sekaligus mengajarkannya untuk bersyukur, termasuk ketika dia mengalami pemutusan hubungan kerja oleh perusahaannya pada tahun lalu.
”Mungkin kalau kondisi fisik mereka seperti kita, tidak akan minta-minta. Kalau yang sehat bugar, saya biasanya enggak ngasih,” ujarnya.
Secara pribadi, Nandung mengaku tidak begitu terganggu dengan keberadaan para gelandangan. Namun, menurut dia, keberadaan mereka yang kerap tidur di taman atau kolong-kolong jembatan dapat mencoreng estetika Ibu Kota.
Oleh sebab itu, Nandung berharap agar gelandangan-gelandangan ini dapat ditampung secara layak oleh pemerintah. Setidaknya, mereka diberikan bekal keterampilan agar dia bisa mencari penghasilan dengan cara yang lebih bermartabat.
Dodi (29), karyawan swasta asal Bogor, Jawa Barat, juga cukup sering bersinggungan dengan para gelandangan di jalan raya. Dia biasanya menjumpai mereka mengamen atau mengemis di lampu merah.
Akan tetapi, tidak semua gelandangan mampu menarik simpatinya. Dia hanya akan memberikan uang kepada gelandangan yang terlihat kumal. Itu pun jika dia memiliki uang berlebih di sakunya.
”Saya lihat-lihat dulu, nih. Kalau badannya bersih, saya enggak kasih. Tapi, kalau yang kumal atau bajunya lusuh gitu, baru deh ngasih,” kata pria yang sehari-hari berkendara dari Bogor menuju Jakarta ini.
Dodi beranggapan, bantuan-bantuan tunai yang diberikan langsung oleh warga membuat gelandangan tetap bisa makan. Dodi mengaku tidak pernah menyalurkan bantuan melalui lembaga atau yayasan khusus. Selain keterbatasan waktu yang dimiliki, dia juga kesulitan menjangkau lembaga-lembaga terkait.
Sementara Slamet (50), karyawan swasta asal Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, mengaku hanya memberikan santunan kepada gelandangan pada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya, setelah gajian atau saat bulan Ramadhan.
”Pas puasa itu, kan, biasanya sering muncul gelandangan-gelandangan di pinggir jalan. Biasanya ngasih saja seadanya,” katanya.
Saking seringnya berjumpa dengan gelandangan, Slamet mengaku hafal dengan gelandangan yang benar-benar kesulitan mencari uang atau hanya malas bekerja. ”Keliatan biasanya dari caranya minta. Kalau ada (uang), saya kasih,” katanya.
Menurut pendiri sekaligus Ketua Yayasan Erbe yang berbasis di Duren Sawit, Jakarta Timur, Abdul Rohim (36), penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) biasanya lebih sering menampakkan diri pada hari besar keagamaan. Sebut saja pada bulan Ramadhan, Lebaran, atau Natal.
Maka, tidak mengherankan banyak PMKS berkeliaran di Ibu Kota pada periode tersebut. Mereka memanfaatkan momentum ini untuk mendapatkan sedekah dari warga. Sebab, di hari-hari besar keagamaan itu biasanya jiwa solidaritas warga cenderung memuncak.
”Tren semacam ini yang dilakukan oleh para pemulung di Rawadas, Duren Sawit, Jakarta Timur. Mereka sengaja tidur di jalanan atau gerobak pemulung untuk menarik simpati warga,” katanya.
Bahkan, beberapa pemulung rela memberdayakan anak-anak mereka yang masih belia. Anak-anak mereka yang tinggal di kampung halaman diboyong ke Jakarta pada periode tersebut. Mereka secara khusus diminta menggelandang di jalan raya agar mendapatkan santunan dari warga.
”Anak-anak itu biasanya dibekali karung terus, disuruh pergi ke lampu-lampu merah atau pinggir jalan. Tidak untuk memulung, tapi untuk menarik simpati warga,” ujarnya.
Bahkan, menurut Abdul, ada kecenderungan di kalangan ibu yang memulung untuk saling meminjamkan anak balitanya untuk dibawa keliling oleh pemulung lain agar warga merasa kasihan dan akhirnya memberikan uang. Beberapa di antaranya tega memberikan obat tidur kepada si anak balita supaya tidak rewel selama diajak berkeliling.
Berbeda halnya dengan Gani (75), pemulung yang sejak delapan tahun terakhir tinggal di kolong Jalan Layang Tomang, Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Selama hidup menggelandang, haram baginya meminta-minta kepada orang lain. Meski tidak memiliki tempat tinggal, dia mengaku malu mencari uang dengan cara tersebut.
”Kalau dikasih, saya terima. Tapi kalau minta-minta, enggak pernah. Saya saja enggak pernah protes pas tidak dapat bantuan sosial dari pemerintah walaupun saya punya KTP Jakarta dan sudah didata pihak RT,” ujarnya.