Konten Pemeliharaan Monyet Meningkat Selama Pandemi
Penyebaran konten video terkait satwa liar, khususnya monyet, di media sosial makin marak. Hal itu dipicu antara lain sejumlah pemengaruh kerap membagikan konten video monyet peliharaannya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Aktivitas pemeliharaan primata jenis monyet ekor panjang dijumpai di berbagai kanal media sosial. Bahkan, sepanjang 2020, konten terkait satwa liar ini meningkat dibanding tahun sebelumnya. Perlu upaya masif untuk meningkatkan edukasi di masyarakat terkait pemeliharaan satwa liar ini.
Berdasarkan temuan Yayasan Penyelamatan Satwa Internasional (IAR) Indonesia, terdapat 334 video monyet ekor panjang telah diunggah 204 saluran di Youtube sepanjang 2020.
Temuan ini meningkat lebih dari 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang berkisar 180 unggahan video. Peningkatan jumlah unggahan konten dimulai pada Februari 2020 dan peningkatan paling signifikan terjadi pada Oktober 2020.
Manajer Kampanye IAR Indonesia Ismail Agung menyampaikan, IAR mengumpulkan konten video tersebut ke dalam dua kategori utama yaitu video yang mencitrakan monyet dengan kehidupan liar dan video yang mencitrakan monyet dalam penanganan manusia.
Dari kedua kategori tersebut, IAR menempatkan kembali konten-konten video berdasarkan sub kategori seperti dokumenter, berita, kebun binatang, peliharaan, perdagangan, penyelamatan, hingga topeng monyet.
Hasil dari pembagian kategori konten tersebut, konten monyet sebagai peliharaan jauh mendominasi dibandingkan konten bersifat positif dan mendukung upaya konservasi. Kategori monyet sebagai peliharaan dilihat dari bagaimana interaksi antara manusia dan monyet yang ada di dalam video.
“Berdasarkan kesejahteraan satwa, terutama yang berkaitan dengan satwa bebas untuk mengekspresikan diri, maka konten pemeliharaan menyiksa satwa. Bahkan, 93 persen monyet yang dipelihara adalah bayi yang masih membutuhkan induknya,” ujarnya di Jakarta, Jumat (5/2/2021).
Konten pemeliharaan menyiksa satwa. Bahkan, 93 persen monyet yang dipelihara adalah bayi yang masih membutuhkan induknya.
Menurut Agung, selama 2018-2020, tren konten video pemeliharaan monyet di kanal Youtube meningkat hingga 100 persen. Konten video juga diduga lebih banyak karena pengambilan data dari IAR baru sebatas menggunakan kata kunci “monyet” dalam fitur pencarian.
Agung menilai, meningkatnya konten video ini salah satunya terjadi akibat sejumlah pemengaruh atau influencer kerap membagikan konten monyet peliharaannya di media sosial.
Semua kegiatan yang dilakukan influencer ini memengaruhi persepsi publik bahwa monyet merupakan obyek peliharaan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan banyak publik yang pada akhirnya ikut memelihara monyet karena terpengaruh oleh influencer.
Menguntungkan pemburu
Maraknya konten pemeliharaan monyet ini, lanjut Agung, juga akan menguntungkan pemburu dan pedagang satwa ilegal. Masyarakat akan terdorong untuk mencari dan membeli monyet untuk dijadikan hewan peliharaan.
Meningkatnya permintaan terhadap monyet akan mendorong pemburu untuk mengambil lebih banyak satwa liar dari alam. Pedagang akan menyediakan stok monyet di kandang-kandang sempit dan kotor agar calon pemelihara merasa iba dan membawanya pulang.
“ Di tengah statusnya tidak dilindungi, alasan itu kerap disalahartikan sebagai izin untuk mengeksploitasi dalam bentuk jual beli dan pemeliharaan. Kenyataan ini jadi ancaman dan eksploitasi bagi kehidupan monyet ekor panjang di alam,” ungkapnya.
Guna mengurangi praktik pemeliharaan satwa liar ini, Agung mendorong agar status monyet ekor panjang dan semua primata lainnya dapat diubah menjadi dilindungi. Jika hal tersebut sulit dilakukan, dalam waktu dekat pemerintah perlu membuat regulasi untuk mengatur dan memantau perdagangan monyet.
“Terkait media sosial, pemerintah harus mendorong penyedia platform untuk memblokir konten-konten tersebut. Hingga saat ini, Youtube menyediakan pelaporan untuk konten animal abuse tapi hanya melalui browser komputer. Sedangkan dari aplikasi ponsel, pelaporan tersebut tidak ada,” katanya.
Sebelumnya, Koordinator Perlindungan Satwa Jakarta Animal Aid Network (JAAN) Merry F Wain menyatakan, menjadikan primata sebagai hewan peliharaan merupakan praktik kejam yang mengancam kehidupan satwa tersebut. Sebab, bayi primata yang diburu berisiko tinggi mati dalam perjalanan dari habitat aslinya menuju tempat pembeli.
“ Memelihara satwa liar tidak hanya memberi makan dan minum, tetapi juga ada indikator lain sebagai kebutuhan dasar kesejahteraan hewan. Memelihara satwa liar tidak serta merta melindungi mereka dari kepunahan. Penghitungan kepunahan satwa dari Badan Konservasi Dunia itu merupakan populasi yang ada di alam, bukan di perumahan,” katanya.