Menikah Dulu, Menyesal Kemudian
Kerentanan perkawinan anak bukan isapan jempol belaka. Dari segi sosial, pernikahan anak tak henti-hentinya menimbulkan persoalan besar.
Indahnya kehidupan setelah menikah pernah membayangi Anggraini (28), sebelas tahun silam. Saat usia menginjak 17 tahun, dia rela meninggalkan masa remajanya dan memutuskan menikah. Alih-alih menjalani kehidupan yang menyenangkan, kini dia harus membanting tulang seorang diri untuk menghidupi kedua putrinya.
Senin (15/2/2021) siang, Anggraini sibuk mengasuh kedua putrinya, Novi (10) dan Jihan (6), di sebuah lapak minuman semipermanen berukuran 3 meter x 2 meter di Jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Di saat yang bersamaan, Anggraini harus melayani para pembeli. Saat pembeli sedang ramai, tanpa pikir panjang, Novi ikut membantu sang ibu.
Sekilas, keluarga kecil ini tampak ceria. Padahal, Anggraini tengah memendam luka. Sejak 2017, suaminya mantap menjalani kehidupan baru bersama perempuan lain. Berbagai upaya telah ditempuh Anggraini agar suami mau kembali ke tengah-tengah keluarga. Sayangnya, semua sia-sia.
”Kalau dibilang ikhlas, sih, sampai sekarang masih enggak, ya. Tapi, mau gimana lagi. Saya nangis-nangis sampai kering air mata juga enggak mau balik dianya,” ungkap perempuan yang tinggal di Bendungan Hilir, Tanah Abang, Jakarta Pusat, itu saat ditemui.
Masalah ekonomi menjadi pemicu utama keretakan rumah tangga keduanya. Sulitnya mencari uang untuk sekadar makan dan membayar sewa kontrakan membuat suami Anggraini memilih jalan pintas. Dia tega meninggalkan Anggraini dan menjalin hubungan dengan perempuan yang lebih mapan.
”Suami kepincut karena dikasih mobil sama perempuan itu. Terus mobilnya dipakai buat narik taksi daring. Saya waktu itu memang enggak kerja. Masih repot juga mengurus Jihan yang masih umur 3 tahun,” ujar Anggraini.
Baca juga: Diduga Mengarah Perdagangan Anak, Polisi Diminta Selidiki Promo Perkawinan Anak
Saat itu Anggraini merasa tak punya nilai tawar. Tanpa keterampilan apa pun, dia tidak sanggup membantu suami mencari nafkah. Hal itu yang membuat rengekannya agar sang suami kembali sama sekali tak mempan. Malahan, perlakuan kasar kerap dia terima.
Hingga saat ini, status pernikahan keduanya masih menggantung. Secara de jure, keduanya belum bercerai. Namun, de facto, tidak ada nafkah yang diberikan suami kepada Anggraini dan anak-anaknya.
Pahitnya kehidupan yang dijalani Anggraini saat ini sama sekali tidak terpikirkan ketika memutuskan menikah pada tahun 2010. Saat itu, Anggraini masih berusia 17 tahun, sedangkan suami berusia tiga tahun lebih tua.
Pernikahan terjadi tidak lama setelah pertemuan pertama mereka di tempat mengaji. Anggraini yang saat itu tidak lulus SD dipersunting seorang pengemudi ojek pangkalan yang juga tidak pernah mengenyam pendidikan. Anak pertama mereka, Novi, lahir setahun kemudian. Empat tahun setelahnya, menyusul Jihan.
”Awal-awal nikah sampai punya anak, baik-baik saja hubungannya. Petakanya mulai 2017 itu,” kenang Anggraini.
Namun, jalan sudah dia pilih. Anggraini tak mau terus larut dalam duka. Kini, dia ingin fokus membesarkan Novi dan Jihan. Keduanya menjadi alasan Anggraini untuk melanjutkan hidup. Dia mengaku rela bekerja keras agar kedua putrinya bisa menjangkau pendidikan setinggi-tingginya. Dia tidak ingin keduanya bernasib sama sepertinya. Dengan pendidikan yang mumpuni, dia berharap kedua putrinya tidak diremehkan oleh pasangannya kelak.
”Pengennya sampai SMK seenggaknya. Biar gampang cari kerja. Biar saja emaknya yang begini,” katanya.
Suami kepincut karena dikasih mobil sama perempuan itu. Terus mobilnya dipakai buat narik taksi daring. Saya waktu itu memang enggak kerja. Masih repot juga ngurus Jihan yang masih umur 3 tahun.
Menyesali
Menikah di usia belia juga disesali oleh Sunarti (49), warga RT 001 RW 004 Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan. Tidak ada masalah yang mendera rumah tangga Sunarti, hanya saja menikah di usia 14 tahun membuatnya harus merelakan masa-masa ceria saat remaja. Saat menikah, Sunarti bahkan belum melewati fase datang bulan.
”Kalau lihat teman-teman sekolah dulu, rasanya nyesel kawin duluan. Sekarang mereka ada yang jadi guru, ada yang jadi pegawai. Saya mau lanjut sekolah enggak ada uang,” ungkapnya.
Pernikahan menjadi satu-satunya pilihan Sunarti kala itu. Orangtuanya yang bermatapencarian sebagai nelayan kesulitan membiayai sekolahnya. Setelah lulus SD, Sunarti memutuskan pergi dari rumahnya di Pandeglang, Banten, untuk mengadu nasib ke Jakarta bersama bibinya. Tiga tahun setelahnya, dia dipersunting oleh suaminya yang bekerja sebagai pemulung.
”Dulu saya jadi petugas kebersihan. Suami mulung di tempat kerja saya, jadi sering ketemu. Sering dibeliin makan, akhirnya demen,” kenangnya.
Penyesalan Sunarti untuk menikah muda terbawa hingga sekarang. Dia tidak ingin empat anaknya mengikuti jejak kedua orangtuanya. Terbukti, anak pertamanya menikah di usia yang cukup matang, yakni 27 tahun.
”Anak saya yang pertama dulu ikut sama orangtua saya di Pandeglang. Lulus sekolah baru ke Jakarta. Jangan sampai anak saya nikah muda, takut entar anaknya enggak keurus,” katanya.
Sementara itu, Sawitri (28), warga RT 002 RW 003 Pondok Kopi, Duren Sawit, Jakarta Timur, memutuskan menikah dengan Sanenkin (30) saat Sawitri berusia 16 tahun. Alasannya, dia ingin meninggalkan rumah karena tidak tahan dengan perlakuan kasar ibu tirinya. Dia tidak pernah memikirkan apakah kehidupan rumah tangganya akan lebih baik.
Keduanya mengaku, menikah di usia muda sarat dengan konflik rumah tangga. Namun, mereka beruntung masih dipersatukan sampai sekarang. Anak mereka bahkan sudah berusia 10 tahun.
”Ya, kalau ribut-ribut mah pasti ada. Semua keluarga pasti gitu juga. Tapi, teman-teman saya yang nikah muda kebanyakan sudah cerai sekarang. Kami doang yang langgeng,” ungkapnya.
Sawitri dan Sanenkin yang berasal dari keluarga pemulung tidak memiliki KTP saat akan menikah. Keduanya bahkan tidak tercatat dalam kartu keluarga orangtua masing-masing. Meski begitu, pernikahan tetap dapat dilangsungkan di kantor urusan agama (KUA).
”Saya nembak waktu itu. Bayar Rp 1,5 juta. Janjinya dikasih KTP, KK, sama buku nikah. Enggak tahunya cuma dikasih buku nikah. Sampai sekarang enggak ada itu KTP sama KK,” katanya.
Salah satu fase terberat yang Sanenkin ingat setelah menjalani pernikahan di usia dini adalah saat Sawitri melahirkan putranya. Saking beratnya menanggung biaya persalinan Rp 900.000, dia sampai mencicil dua kali. Masalah berlanjut karena dia harus menanggung kebutuhan anak balitanya.
”Untung ada saudara-saudara yang bantuin. Bisa buat bayar macam-macam,” ujarnya.
Masalah kultural
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tentang perkawinan anak, tahun 2018, mencatat, 1,22 juta anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Hal ini menempatkan Indonesia di urutan ke-8 di dunia dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia (Kompas, 13 Februari 2021).
Baca juga: Lindungi Anak dari Informasi yang Menyesatkan
Direktur Rumah Kita Bersama (KitaB) Lies Marcoes mengatakan, tingginya angka perkawinan anak di sejumlah daerah kerap dipicu permasalahan kultural di lingkup keluarga dan masyarakat. Pacaran masih dianggap sebagai hal yang tabu sehingga perkawinan dijadikan jalan keluar.
”Orangtua banyak mengajukan dispensasi nikah karena gerah melihat anak mereka pacaran. Meski saat ini harus menyertakan syarat-syarat penguat, tapi disetujui oleh hakim (pengadilan agama),” katanya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, laki-laki dan perempuan diizinkan menikah jika sudah berusia 19 tahun. Namun, dispensasi dapat diberikan jika ada masalah yang sangat mendesak disertai bukti-bukti yang kuat.
Selain masalah kultural, Lies juga menemukan bahwa perkawinan anak masih dianggap sebagai jalan keluar untuk mengatasi permasalahan ekonomi keluarga. Di beberapa daerah, perkawinan anak bukan hal yang tabu.
Perkawinan anak yang telanjur terjadi akan sarat dengan masalah. Dalam hal ini, kedewasaan fisik dan mental calon pengantin menjadi hal krusial yang perlu disiapkan sebelum menikah. ”Ada kecenderungan perkawinan anak berakhir dengan perceraian di batas waktu satu tahun. Hal yang bisa membuat mereka bertahan adalah adanya daya dukung ekonomi. Misal, kalau punya anak akan diasuh neneknya,” kata Lies.
Lies mengangga maraknya kampanye-kampanye larangan pacaran sangat memengaruhi angka perkawinan anak. Menurut dia, kampanye ini perlu dilawan. Seperti halnya promosi yang dilakukan penyedia jasa penyelenggara pernikahan (wedding organizer) Aisha Weddings.