Bumi Alami Kepunahan Massal Keenam Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati di Bumi saat ini tengah mengalami pemusnahan massal keenam. Jika lima pemusnahan massal sebelumnya dipicu faktor alam, saat ini hal ini lebih disebabkan ulah manusia.
JAKARTA, KOMPAS — Sejarah kehidupan di Bumi telah merekam lima kali kepunahan massal keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh fenomena alam ekstrem. Kini, semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa kepunahan massal keenam keanekaragaman hayati tengah berlangsung dan ini sepenuhnya disebabkan oleh aktivitas manusia.
Laporan komprehensif tentang peristiwa kepunahan yang sedang berlangsung ini diterbitkan di jurnal Biological Review edisi 10 Januari 2022 oleh ahli biologi dari Universitas Hawai'i (UH) di Mānoa dan Muséum National d'Histoire Naturelle di Paris, Perancis.
”Tingkat kepunahan spesies yang meningkat secara drastis dan penurunan kelimpahan banyak populasi hewan dan tumbuhan didokumentasikan dengan baik, tetapi beberapa menyangkal bahwa fenomena ini sama dengan kepunahan massal,” kata Robert Cowie, penulis utama studi dan profesor di UH Mānoa Pacific Biosciences.
Penyangkalan ini, menurut Cowie, didasarkan pada pandangan yang bias terhadap krisis yang berfokus pada mamalia dan burung serta mengabaikan invertebrata. Padahal, invertebrata merupakan mayoritas besar keanekaragaman hayati.
Dengan mengekstrapolasi data tentang moluska, filum terbesar kedua dalam jumlah spesies yang diketahui, Cowie dan tim memperkirakan bahwa sejak tahun 1500, Bumi sudah kehilangan antara 7,5 dan 13 persen dari 2 juta spesies yang diketahui. Ini berarti ada 150.000 hingga 260.000 spesies yang telah punah.
Manusia adalah satu-satunya spesies yang mampu memanipulasi biosfer dalam skala besar.
”Invertebrata adalah kunci untuk mengonfirmasi bahwa kita memang menyaksikan awal kepunahan massal keenam dalam sejarah Bumi,” kata Cowie.
Penelitian tersebut juga menemukan, situasi kepunahan ini tidak sama di semua tempat. Meskipun spesies laut menghadapi ancaman yang signifikan, tidak ada bukti bahwa krisis tersebut memengaruhi lautan pada tingkat yang sama seperti daratan.
Di darat, spesies yang berada di kepulauan, seperti yang ada di Kepulauan Hawaii, jauh lebih terpengaruh daripada spesies kontinental. Selain itu, tingkat kepunahan tumbuhan tampaknya lebih rendah daripada hewan darat.
Baca juga:Indonesia Lebih Cepat Alami Kepunahan Hayati
Dalam penelitian ini, para peneliti menyoroti peran penting manusia dalam memicu kepunahan massal ini. ”Manusia adalah satu-satunya spesies yang mampu memanipulasi biosfer dalam skala besar,” ucap Cowie. ”Kita bukan hanya spesies lain yang berevolusi dalam menghadapi pengaruh eksternal. Sebaliknya, kita adalah satu-satunya spesies yang memiliki pilihan sadar mengenai masa depan kita dan keanekaragaman hayati Bumi.”
Untuk melawan krisis, berbagai inisiatif konservasi telah berhasil dilakukan untuk hewan tertentu. Namun, inisiatif ini tidak dapat menargetkan semua spesies dan mereka tidak dapat membalikkan tren kepunahan spesies secara keseluruhan. Meskipun demikian, penting untuk melanjutkan upaya tersebut, untuk terus menumbuhkan keajaiban alam, dan untuk mendokumentasikan keanekaragaman hayati sebelum punah.
Ornitologis dari The Cornell Lab of Ornithology Edwin Scholes menunjukkan jenis dan ciri berbagai cenderawasih dalam diskusi daring Defending Paradise, Mari Cerita Papua Maluku, Selasa (28/9/2021). Cenderawasih dan keanekaragaman hayati lainnya diperkirakan masih banyak tersimpan di wilayah Papua. Akan tetapi, warisan biodiversitas ini menghadapi ancaman deforestasi dan sejumlah tantangan lainnya.
”Terlepas dari retorika tentang gawatnya krisis dan meskipun solusi perbaikan ada dan menjadi perhatian para pembuat keputusan, jelas bahwa kemauan politik kurang,” kata Cowie. ”Menyangkal krisis, menerimanya tanpa bereaksi, atau bahkan mendorongnya merupakan pencabutan tanggung jawab bersama umat manusia dan membuka jalan bagi Bumi untuk melanjutkan lintasannya yang menyedihkan menuju kepunahan massal keenam.”
Hewan vertebrata
Sekalipun kehilangan terbesar spesies terjadi pada hewan invertebrata atau tidak bertulang belakang, kepunahan juga dialami hewan vertebrata atau bertulang belakang. Penelitian ekolog Gerardo Ceballos dari Universitas Nasional Autonomous Meksiko, Paul R Ehrlich dari Universitas Stanford, dan Peter H Raven dari Missouri Botanical Garden di jurnal PNAS pada 1 Mei 2020 menyebutkan, 515 spesies hewan vertebrata darat berada di ambang kepunahan dan 77 spesies mamalia serta burung hilang pada satu abad terakhir.
Kajian ini menyebutkan, tingkat kepunahan di antara spesies vertebrata darat lebih tinggi daripada perkiraan sebelumnya. ”Kita mengikis kemampuan planet ini untuk mempertahankan kehidupan, termasuk juga kehidupan manusia,” kata Gerardo Ceballos.
Dalam kajian ini, peneliti juga memeriksa kondisi populasi 29.400 spesies vertebrata yang berada di ambang kepunahan sesuai daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN). Ditemukan 515 spesies di tepi jurang kepunahan atau 1,7 persen dari vertebrata yang dievaluasi. Sebagian besar fauna ini di wilayah tropis. Spesies ini dianggap berada di jurang kepunahan karena anggota populasinya kurang dari 1.000 individu dan dipastikan tidak akan bisa lagi bertahan di masa depan.
Baca juga:Sepertiga Spesies Pohon di Dunia Terancam Punah, Termasuk di Indonesia
Ancaman kepunahan spesies fauna juga terjadi di Indonesia. Setidaknya sudah ada lima taksa di Indonesia yang punah. Tiga di antaranya mamalia, yaitu harimau jawa (Panthera tigris sondaica), harimau bali (Panthera tigris balica), dan tikus raksasa timor (Coryphomys buehleri).
Mengacu data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)-BRIN dan daftar merah IUCN, dari 720 spesies mamalia di Indonesia, 193 di antaranya terancam punah. Sementara untuk burung, dari 1.605 spesies yang ada di Indonesia, 160 di antaranya terancam punah. Untuk amfibi, dari 385 spesies di Indonesia, 37 terancam punah, reptil dari 723 sebanyak 30 terancam punah, dan ikan dari 4.724 sebanyak 168 yang terancam punah.
Tiga kriteria burung yang lebih rentan punah, terutama karena ulah manusia. Sumber: Fromm dan Meiri (Journal of Biogeography, 2021).
Kekhawatiran global
Peringatan tentang ancaman kepunahan massal di Bumi telah mengemuka sejak 1990-an. Pada November 1992, lebih dari 1.700 ilmuwan terkemuka dunia, termasuk sebagian besar peraih Nobel yang tergabung dalam Union of Concerned Scientist, mengeluarkan seruan bersama untuk mengetuk kemanusiaan penduduk Bumi. Seruan itu berisi peringatan tentang ancaman kehancuran planet ini yang mendekat akibat ulah manusia.
Dalam manifesto itu, mereka menunjukkan, kehancuran Bumi disebabkan ulah manusia yang mengeksploitasi alam di luar batas kemampuannya. Mereka mengungkapkan kekhawatiran akan kerusakan yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi di masa depan di planet ini, akibat penipisan ozon, menciutnya ketersediaan air tawar, munculnya zona mati di laut (ocean dead zone), kehilangan hutan, kerusakan biodiversitas, perubahan iklim, dan pertumbuhan populasi manusia yang terus berlanjut.
Baca juga:Satu Juta Spesies Menuju Kepunahan
Disebutkan, ”... dibutuhkan langkah radikal untuk menjaga Bumi dan kehidupan di dalamnya, jika kita ingin menghindarkannya dari tragedi besar.”
Pada November 2017, sebanyak 15.364 ilmuwan dari 184 negara kembali mengeluarkan peringatan kedua. Peringatan itu ditulis dalam jurnal BioScience untuk kembali menggedor kesadaran kita tentang ancaman itu.
Dalam seruan kedua yang diprakarsai ekolog dari Oregon State University, William Ripple, ini disebutkan, sebentar lagi kita sampai pada titik akhir di mana laju kehancuran Bumi tak bisa lagi dicegah. Perubahan iklim jadi kekhawatiran utama. Rata-rata emisi karbon dioksida meningkat sampai 62 persen sejak 1992 sehingga laju kenaikan suhu atmosfer dan lautan susah direm.