Alunan Indah Nada Anak Bangsa Ukir Sejarah di Pentas Dunia
Gelar juara European Grand Prix membuktikan paduan suara Tanah Air tidak lagi dipandang sebelah mata. Tekad kuat, kerja keras, dan konsistensi berlatih telah membawa suara anak bangsa mengalun indah di pentas dunia.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Nada-nada indah suara anak bangsa kembali mengukir sejarah. Paduan suara asal Indonesia, Batavia Madrigal Singers (BMS), menjuarai European Grand Prix (EGP) for Choral Singing 2022. Prestasi ini mengulang catatan manis yang ditorehkan The Resonanz Children’s Choir empat tahun lalu saat menjadi juara di ajang serupa.
Riuh tepuk tangan mengiringi langkah 44 anggota paduan suara BMS saat turun dari panggung di Balai Resital Kertanegara, Jakarta, Sabtu (9/7/2022). Tepuk tangan penonton tidak hanya untuk mengapresiasi penampilan memesona mereka sore itu, tetapi juga ganjaran karena telah mengharumkan nama bangsa dalam EGP, kompetisi paduan suara tertua dan tersulit di dunia yang telah berlangsung selama 33 tahun.
BMS menjuarai EGP 2022 di Tours, Perancis, Sabtu (18/6/2022) pukul 23.00 waktu setempat atau Minggu pukul 04.00 WIB. Penampilan memukau saat acara syukuran di Balai Resital Kertanegara membuktikan prestasi itu tidak diraih secara kebetulan.
Tampil dengan busana kebesarannya, merah-hitam, BMS menyanyikan enam lagu yang dibawakan dalam EGP 2022. Vokal prima dan harmonisasi dalam memecah suara menjadi kekuatan paduan suara yang dikonduktori oleh Avip Priatna itu. Keunggulan lainnya adalah produksi musik internal lewat irama tepuk tangan dan entakan kaki yang teratur.
Keenam lagu itu berjudul ”Paroles Contre L’oubli” karya Thierry Machuel, ”Deus in Adiutorium Meum Intende” (Juan Gutiérrez de Padilla), ”Love’s Tempest” (Edward Elgar), ”Stabat Mater” (József Karai), ”Der Frühlingswind” (Toyotaka Tsuchida), dan ”Hentakan Jiwa” (Ken Steven). Lagu tersebut mewakili musik dari tiga zaman, yaitu renaisans, zaman romantik abad ke-19 serta zaman modern pada abad ke-20 dan ke-21.
BMS mengungguli peserta asal Indonesia lainnya, yaitu Paduan Suara Mahasiswa Universitas Padjadjaran dan dua kontestan asal Latvia. Tiket tampil di EGP 2022 diperoleh BMS setelah meraih juara umum pada Certamen Coral de Tolosa 2019.
”Prestasi ini menunjukkan posisi Indonesia di panggung musik klasik dunia. Tidak banyak negara yang bisa menjuarai kompetisi ini (EGP). Kami sangat terharu,” ujar Avip.
Ucapan Avip tak berlebihan. Empat tahun lalu, ia juga menjadi dirigen paduan suara anak The Resonanz Children’s Choir ketika menjuarai kompetisi serupa di Maribor, Slovenia. Lulusan Magister Artium University of Music and Performing Art, Vienna, Austria, ini menjadi orang Indonesia pertama yang menorehkan prestasi tersebut.
Kemenangan di EGP menjadi prestisius karena ajang itu mempertandingkan juara umum dari enam kompetisi paduan suara paling bergengsi di Eropa. Kompetisi itu meliputi Concorso Polifónico Guido d'Arezzo (International Guido d'Arezzo Polyphonic Contest) di Arezzo, Italia; Béla Bartók International Choir Competition di Debrecen, Hongaria; International Choral Competition Gallus Maribor di Maribor, Slovenia; Certamen Coral de Tolosa (Tolosa Choral Competition) di Tolosa, Spanyol; Florilège Vocal de Tours (Tours Vocal Competition) di Tours, Perancis, dan International May Choir Competition “Prof. G. Dimitrov” di kota Varna, Bulgaria.
Berdasarkan laman egpchoral.com, sejak pertama kali digelar pada 1989, pemenang EGP didominasi negara-negara Eropa. Hanya tiga negara Asia yang pernah menjadi juara, yaitu Jepang, Filipina, dan Indonesia.
Keterbatasan pertemuan fisik akibat pandemi menjadi tantangan dalam berlatih. Avip dan anggota tim mengatasi hal itu dengan menggelar konser secara daring sehingga tetap dapat memantau perkembangan setiap penyanyi.
Avip berharap, prestasi itu menjadi pelecut semangat bagi paduan suara Tanah Air untuk tampil di ajang internasional. Menurut dia, kualitas dan teknik suara serta modifikasi musik anak bangsa tidak kalah dibandingkan negara-negara di Eropa sebagai barometer musik klasik.
”Musik itu universal. Musik bisa dipelajari layaknya ilmu pengetahuan. Cita rasa musik itu harus diolah. Saya yakin, orang Indonesia juga dibekali insting musik yang kuat,” katanya.
Penampilan BMS sore itu memukau penonton. Hampir semua penonton tidak beranjak dari tempat duduknya selama 1,5 jam menikmati pertunjukan.
”Bulu kuduk saya berdiri, merinding. Mereka (BMS) membawakan karya dari komposer Jepang dan negara lainnya sampai karya komposer anak bangsa. Prestasi ini patut disyukuri dan diapresiasi,” ujar Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno yang duduk di kursi paling depan.
Menurut Sandiaga, penampilan BMS tidak cuma menunjukkan kualitas musik Indonesia, tetapi juga subsektor ekonomi kreatif lainnya, seperti mode dan kriya yang dipakai penyanyi. Ia berharap, prestasi BMS memacu generasi muda untuk berkreasi di bidang ekonomi kreatif.
”Prestasi ini, maknanya buat kita, paduan suara Indonesia sudah diperhitungkan di tingkat dunia. Kita bisa menjuarai kompetisi tersulit,” ucapnya.
Konsistensi berlatih
Sebagai kampiun Certamen Coral de Tolosa 2019, BMS berhak tampil pada EGP 2020. Namun, pandemi Covid-19 membuat ajang itu ditunda hingga dua tahun.
Imbasnya, tim paduan suara tersebut dibubarkan. Avip membentuk tim baru dan menyusun program latihan dua kali seminggu.
Keterbatasan pertemuan fisik akibat pandemi menjadi tantangan dalam berlatih. Avip dan anggota tim mengatasi hal itu dengan menggelar konser secara daring sehingga tetap dapat memantau perkembangan setiap penyanyi.
Hal itu membuatnya bisa mengenal lebih detail karakter, keunggulan, dan kelemahan vokal masing-masing penyanyi. ”Yang penting adalah konsistensi dalam berlatih. Dengan begitu, akan terlihat siapa yang potensial untuk bergabung,” ujarnya.
Anggota BMS berasal dari beragam latar belakang, mulai dari mahasiswa, guru, dokter, karyawan swasta, dan pegawai negeri sipil. Agnatasha T Putri Siahaan, penyanyi suara sopran di BMS, mengatakan, setiap anggota tim berlatih keras dan berjuang untuk memberikan penampilan terbaik dalam EGP.
”Dengan latihan secara online, kami jadi bisa mempelajari suara satu sama lain secara lebih detail karena diulang-ulang. Ketika bertemu dan latihan bersama, langsung nyambung karena proses latihannya memang sudah cukup lama,” ujarnya.
Pembina BMS, Widowati atau lebih dikenal Giok Hartono, menuturkan, anggota paduan suara itu telah menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya untuk giat berlatih. Pengorbanan itu dibayar tuntas dengan meraih juara di tingkat dunia sehingga mengharumkan nama bangsa.
”Perjuangan ini tidak mudah. Banyak rintangan dan cobaan. Sudah mencoba berkali-kali, tetapi baru bisa juara sekarang. Pesannya kepada generasi muda, kalau kita berlatih, berjuang, dan berusaha terus, cita-cita pasti tercapai,” jelasnya.
Dua gelar juara dalam kompetisi EGP tiga edisi terakhir membuktikan paduan suara Tanah Air tidak lagi dipandang sebelah mata. Tekad kuat, kerja keras, dan konsistensi berlatih telah membawa suara anak bangsa mengalun indah di pentas dunia.