Jembatan Bambu Penyambung Kekerabatan Antaranak Suku
Laju kemajuan zaman tak membuat warga adat Wolowea tergiur mengganti jembatan bambu di kampungnya. Meski hanya benda mati, pembuatan jembatan sarat dengan nilai gotong royong dan kekerabatan yang berarti bagi kehidupan.
Empat jembatan bambu di Kampung Wolowea, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, bukan sekadar penghubung untuk mendukung mobilitas warga. Jembatan yang dibangun tanpa paku itu juga menjadi simbol penyambung kekerabatan antaranak suku Wolowea yang diwariskan turun-temurun.
Jembatan bambu sepanjang 30 meter membentang di atas sungai yang membelah hutan bambu di Kampung Wolowea, Rabu (22/6/2022). Tanpa menggunakan fondasi semen, jembatan itu bertumpu pada delapan pilar batang bambu setinggi 15 meter.
Meski tidak memakai paku, jembatan itu tetap kokoh dengan menggunakan pasak dan ijuk sebagai pengikat. Lebih dari sepuluh orang yang menyeberang bersamaan menguji kekuatan jembatan yang dinamai so padha tersebut.
Empat jembatan bambu di kampung itu dibangun dalam waktu berbeda, yaitu pada April-Juli. Setiap pembuatan jembatan dibarengi dengan ritual adat dan makan bersama yang melibatkan sembilan anak suku Wolowea, yaitu Ulu Labo, Gaja, Pigajawa, Tuwa, Meli, Nakaoka, Analaga, Lunawaju, dan Wajuwawo.
Setiap jembatan diganti setiap tahun. Hal ini menjadi momentum bagi warga untuk bergotong royong dan memperteguh kekeluargaan.
Baca juga : Tangguh “Mama Bambu“ Pulihkan Ekonomi dan Ekologi
”Dengan membuat jembatan bambu, kami mempererat kekerabatan antaranak suku. Tradisi ini sudah berjalan turun-temurun dan akan terus disambungkan ke anak cucu,” tutur Lourdes Bhaya (51), tokoh adat Kampung Wolowea.
Bambu, kayu, dan ijuk bekas jembatan lama tidak boleh dibuang dan digunakan untuk kepentingan pribadi. Bahan-bahan tersebut dikumpulkan di tempat tertentu untuk dipakai sebagai bahan bakar memasak saat acara adat.
Lourdes, yang berasal dari anak suku Meli menyebutkan, setiap jembatan dibangun dengan kebersamaan. Jadi, bahan pembuatannya juga harus dihabiskan untuk kepentingan bersama.
”Jika melanggar, tanggung sendiri risiko adatnya. Sejauh ini belum ada yang pernah melanggar karena antaranak suku saling menghormati,” ujarnya.
Meskipun jembatan bambu wajib diganti setiap tahun, warga Wolowea tidak pernah khawatir ketersediaan bambu akan habis. Sebab, bambu untuk membangun jembatan diambil dari kebun khusus di lahan adat.
Bambu dari kebun itu juga tidak boleh dipakai untuk keperluan lain. Meski tidak dijaga, ketentuan ini masih ditaati oleh masyarakat adat.
Lourdes tidak tahu persis kapan pertama kali ritual pembangunan jembatan bambu setiap setahun sekali itu dimulai. Namun, leluhurnya berpesan, jembatan itu harus tetap dipertahankan meski suatu saat nanti generasi penerus suku Wolowea membangun jembatan besi ataupun beton di kampung itu.
”Jika suatu saat nanti keturunan kami membangun jembatan modern, jembatan bambu ini harus tetap ada. Jembatan ini punya makna penting dalam budaya gotong royong dan saling menolong,” jelasnya.
Baca juga: Ketika Masyarakat Adat Misool Utara Menjaga Perairannya
Severinus Do (68), warga Kampung Wolowea dari anak suku Wajuwawo, mengatakan, pembangunan jembatan bambu merupakan bagian ritual adat dalam menyambut puncak pesta adat yang disebut Zoka. Acara ini berlangsung selama empat malam dan diikuti oleh semua anak suku.
Menurut Severinus, Zoka mengandung banyak nilai yang diturunkan leluhur mereka, seperti kedisiplinan dan tanggung jawab. Dalam acara itu, setiap orang harus bersikap sopan, berpikiran bersih, serta tidak boleh memakai alas kaki dan meludah.
Jika suatu saat nanti keturunan kami membangun jembatan modern, jembatan bambu ini harus tetap ada. Jembatan ini punya makna penting dalam budaya gotong royong dan saling menolong
Akan tetapi, warga yang melihat pelanggaran ketentuan ini dilarang untuk menegur. ”Kalau menegur, dosanya justru lebih besar. Pelanggaran aturan adat ditanggung sendiri dan akan dihukum oleh leluhur,” jelasnya.
Severinus mengatakan, dalam perayaan Zoka di tahun-tahun sebelumnya, tidak jarang warga yang melanggar aturan mengakui sendiri kesalahannya tanpa harus dipaksa. Mereka biasanya datang membawa seekor ayam sebagai simbol menebus kesalahan.
”Jadi, setelah warga bekerja sama membangun jembatan, kami juga bersama-sama berpesta. Namun, meskipun berpesta, aturan adat tetap tidak boleh dilanggar,” katanya.
Bagi Severinus, empat jembatan bambu ibarat lambang keharmonisan antaranak suku di kampung itu. Pembuatannya dilandasi dengan rasa syukur dan sukacita. Oleh karena itu, warga juga menggelar ritual adat dan makan bersama.
Mengurangi risiko bencana
Pembangunan so padha di Kampung Wolowea tidak sebatas membuat jembatan. Warga juga wajib menjaga lingkungan di sekitarnya, termasuk di daerah aliran sungai.
Sempadan sungai di kampung itu dipenuhi pepohonan, terutama bambu. ”Jika ada (lahan) yang kosong, warga akan tanam bambu,” ujar Donatus Diwa (53), warga dari anak suku Tuwa.
Donatus yang juga anggota Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Kabupaten Nagekeo mengatakan, penanaman bambu di pinggir sungai sangat penting untuk menahan erosi. Dengan begitu, kapasitas sungai tetap terjaga sehingga ketersediaan air bagi masyarakat tidak terganggu.
Baca juga: Masyarakat Adat di Kawasan IKN Khawatirkan Perampasan Lahan
”Bambu di sini juga tidak boleh ditebang sembarangan, terutama di daerah bertebing. Hal ini dilakukan untuk mencegah longsor,” ucapnya.
Pelestarian hutan bambu di Wolowea juga sangat krusial untuk meminimalkan dampak bencana lainnya. Pada April 2021, wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), termasuk Kabupaten Nagekeo, dilanda siklon tropis Seroja.
Siklon ini menyebabkan banjir bandang, tanah longsor, dan angin kencang di NTT. Donatus mengatakan, tidak ada korban di Kampung Wolowea akibat bencana itu. Namun, sejumlah pohon bambu tumbang diterpa angin kencang.
”Hutan bambu menahan angin sehingga tidak merusak permukiman warga. Jadi, bambu punya manfaat yang sangat penting untuk kehidupan kami,” ucapnya.
Pembibitan bambu
Ketersediaan bambu di Wolowea menapaki masa depan cerah melalui program pembibitan yang dilakukan oleh mama-mama di kampung tersebut. Program yang dicanangkan Pemerintah Provinsi NTT bersama Yayasan Bambu Lestari (YBL) ini memberdayakan 25 ”mama bambu” di Wolowea.
Para ”mama bambu” itu membibitkan 200.000 pohon bambu dalam setahun terakhir. Sekitar 10.000 bibit sudah ditanam di pinggir sungai di desa ini. Sebagian lainnya diangkut ke desa-desa lain untuk penghijauan.
Awalnya, mereka ragu mengikuti program itu. Sebab, bambu tumbuh subur di sana. ”Mengapa kami harus tanam lagi kalau sudah banyak (bambu) yang tersedia? Namun, kami mencoba ikuti arahan dari fasilitator dan hasilnya tidak mengecewakan,” ujar Raimunda Mogi (53), salah satu ”mama bambu”.
Baca juga : Arkilaus Kladit Menjaga Hutan untuk Masa Depan
Tekad melawan ragu di awal program pembibitan tersebut berbuah manis. Setiap mama bambu mendapatkan insentif Rp 15 juta-Rp 20 juta.
Uang itu dipakai untuk beragam keperluan, mulai dari memenuhi kebutuhan keluarga, membiayai pendidikan anak, hingga modal usaha. Koordinator YBL Kabupaten Nagekeo, Juruslan Ndima, mengatakan, selain mendapatkan manfaat ekonomi, para ”mama bambu” juga berkontribusi memulihkan lingkungan untuk mendukung kehidupan di masa depan.
”Mereka ikut berperan menghadirkan lingkungan yang lebih baik di masa mendatang. Tentu hal ini juga penting untuk kehidupan anak cucu mereka,” ujarnya.
Laju kemajuan zaman tak membuat masyarakat adat Wolowea tergiur mengganti jembatan bambu di kampungnya. Meski hanya benda mati, pembuatan jembatan itu sarat dengan nilai gotong royong, kekerabatan, dan menjaga lingkungan yang berarti bagi kehidupan mereka.