Kerja Sama Internasional Atasi Kendala Pendanaan Pemulihan Mangrove
Ihwal pendanaan masih menjadi kendala utama dalam pemulihan mangrove. Kendala ini coba diatasi dengan skema ”blended finance” melalui kerja sama internasional.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya memulihkan mangrove seluas 600.000 hektar di sembilan provinsi prioritas sampai saat ini masih terkendala pendanaan. Salah satu upaya untuk mengatasi kendala ini adalah dengan meningkatkan kerja sama dengan sejumlah pihak, termasuk melalui lembaga internasional dari berbagai negara.
Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Satyawan Pudyatmoko menyampaikan, tahun ini rehabilitasi mangrove melalui penanaman kembali ditargetkan mencapai 11.000 hektar. Rehabilitasi menunggu waktu penanaman yang tepat untuk mengurangi risiko rusak karena terjangan ombak.
”Hal yang menjadi tantangan besar sekarang adalah aspek pendanaan untuk merehabilitasi 600.000 hektar mangrove. Rehabilitasi sekarang masih berasal dana dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan sumber-sumber lainnya,” ujarnya dalam diskusi media di Kantor BRGM, Jakarta, Selasa (19/7/2022).
Guna mempercepat rehabilitasi mangrove, kata Satyawan, aspek pendanaan ini harus menggunakan banyak skema. Selain APBN, skema pendanaan lainnya juga harus diupayakan, seperti kerja sama dengan pihak luar negeri ataupun bentuk komitmen-komitmen lainnya.
Pendanaan untuk rehabilitasi mangrove tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga dari investor dan filantropi. Kita akan mencoba menangkap peluang ini karena estimasi merehabilitasi mangrove seluas 600.000 hektar membutuhkan Rp 23 triliun. (Kus Prisetiahadi)
Deputi Pengelolaan Perubahan Iklim dan Kebencanaan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) Kus Prisetiahadi mengakui kendala pendanaan terjadi karena belum ada sinergi antar-kementerian dan lembaga. Sebab, setiap kementerian/lembaga memiliki tugas area rehabilitasi mangrove yang berbeda-beda.
Kus menegaskan, Kemenkomarves berupaya menyelesaikan kendala ini dengan memfasilitasi BRGM untuk mendapatkan sejumlah pendanaan. Selain anggaran dari pemerintah, dilakukan juga kerja sama dengan lembaga internasional dari berbagai negara.
Pada Februari 2022, Indonesia menandatangani nota kesepahaman dengan Uni Emirat Arab untuk pengembangan mangrove di Bangka Belitung seluas 10.000 hektar. Kemudian pada Maret 2022, ada juga kerja sama dengan Singapura untuk mengembangkan riset ekonomi biru sebagai solusi mitigasi perubahan iklim. Dalam kerja sama riset ini, Indonesia mengusulkan beberapa alternatif lokasi untuk proyek percontohan.
Indonesia dengan Bank Dunia juga menjalin kerja sama dalam proyek mangrove untuk ketahanan pesisir (M4CR). Proyek ini fokus pada program rehabilitasi mangrove, konservasi, dan pengembangan masyarakat pesisir. Lokasi untuk proyek percontohan meliputi Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara.
Selain proyek yang sudah terjalin tersebut, Indonesia dan Arab Saudi juga akan bekerja sama untuk merehabilitasi 150.000 hektar mangrove. Rehabilitasi akan dilakukan di sembilan provinsi prioritas, yakni Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Aceh, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.
”Sekarang kita menuju ke pendekatan blended finance (pembiayaan campuran). Jadi, pendanaan untuk rehabilitasi mangrove tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga dari investor dan filantropi. Kita akan mencoba menangkap peluang ini karena estimasi merehabilitasi mangrove seluas 600.000 hektar membutuhkan Rp 23 triliun,” katanya.
Menurut Kus, pembiayaan campuran yang diinisiasi dalam pertemuan negara-negara G20 akan difokuskan pada aspek transisi energi. Namun, konsep ini dapat diduplikasi untuk pengelolaan mangrove. Pertemuan G20 juga akan dimaksimalkan untuk mencari investor dan komitmen bersama sejumlah negara dalam rehabilitasi ataupun pengelolaan mangrove.
Restorasi gambut
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sigit Reliantoro mengatakan, KLHK turut memberikan intervensi terhadap upaya restorasi gambut di area konsesi. Salah satu upaya itu adalah mendorong pemilik konsesi untuk membuat sekat kanal guna menjaga lahan gambut tetap basah.
”Kami terus memberikan informasi dan bukti bahwa tidak ada penurunan produktivitas apabila membuat sekat kanal ini. Jadi, sekarang membangun dan mempertahankan sekat kanal telah menjadi kebutuhan dari perusahaan. Kami terus sampaikan keberhasilan dari aspek lingkungan dan ekonomi untuk mengikis tantangan di kelompok masyarakat,” ucapnya.
Salah satu tantangan dalam merestorasi gambut di wilayah konsesi, menurut Sigit terkait pembiayaan inventarisasi dan banyaknya perizinan di setiap level pemerintahan, mulai dari kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat. Di sisi lain, mekanisme untuk menyatukan rencana kerja restorasi, khususnya pada kegiatan sawit, juga belum optimal.
Saat ini, KLHK tengah menganalisis kanal terbangun dan kebakaran di lahan gambut yang akan digunakan untuk penghitungan indeks kualitas ekosistem gambut (IKEG) di 19 provinsi. Sementara dari analisis IKEG terakhir tahun 2020, terdapat sembilan provinsi yang memenuhi target, yaitu Jambi, Kepulauan Bangka Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua, dan Papua Barat.
Berdasarkan analisis itu, seluas 15,8 juta hektar atau 65,45 persen ekosistem gambut di Indonesia berstatus rusak ringan. Kemudian 3,08 juta hektar (12,74 persen) berstatus rusak sedang dan 1 juta hektar (4,35 persen) rusak berat. Adapun 4 juta hektar (16,61 persen) ekosistem berstatus tidak rusak dan 206.935 hektar (0,85 persen) lainnya masuk rusak sangat berat.
”Restorasi gambut dan mangrove memang akan diangkat dalam pertemuan G20 untuk kelompok kerja terkait pertemuan utusan lingkungan dan iklim. Saat ini kami sedang membahas komunikenya dan juga berhubungan dengan organisasi internasional untuk membantu tukar pengetahuan pengelolaan gambut,” tambahnya.