Tradisi minum jamu telah dijalankan masyarakat Indonesia secara turun-temurun. Di tengah tren gaya hidup kembali ke alam, tradisi ini perlu diperkuat dengan beragam riset untuk mengoptimalkan khasiat jamu bagi kesehatan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tradisi minum jamu telah dijalankan masyarakat Indonesia secara turun-temurun. Di tengah tren gaya hidup kembali ke alam atau back to nature, tradisi ini perlu diperkuat dengan berbagai riset untuk mengoptimalkan khasiat jamu bagi kesehatan.
Kepala Organisasi Riset Kesehatan (ORK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indi Dharmayanti mengatakan, seiring era globalisasi, pemanfaatan obat herbal terus meluas ke seluruh dunia. Melimpahnya keanekaragaman hayati menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk mengembangkan industri herbal.
Oleh karena itu, budaya mengonsumsi jamu perlu dilestarikan dan dikembangkan. Dengan berbagai inovasi riset yang mengimplementasikan teknologi terkini, produk jamu tradisional Indonesia diharapkan semakin aman, bermutu, dan berkhasiat.
”Dibutuhkan landasan riset yang kuat dari berbagai aspek. Di bagian hulu perlu didorong riset dalam penyediaan bahan baku yang cukup, bermutu, dan berkelanjutan,” ujarnya dalam webinar bertema ”Saintifikasi Jamu: Mengungkap Warisan Budaya untuk Menyehatkan Bangsa”, di Jakarta, Sabtu (20/8/2022).
Menurut Indi, riset dapat dimulai dengan memetakan penggunaan jamu, obat herbal terstandar (OHT), dan fitofarmaka di sarana fasilitas kesehatan. Hasil pemetaan tersebut akan menjadi basis data pengembangan formula untuk mendukung penggunaan regimen terapi konvensional. Selain itu, 11 ramuan jamu saintifik yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dapat dikembangkan menjadi OHT atau fitofarmaka dengan riset lanjutan. Salah satunya dengan meningkatkan ketersediaan dan komersialisasi produk.
Indi menambahkan, dengan terbitnya Keputusan Menteri Kesehatan tentang Formularium Fitofarmaka, penggunaan fitofarmaka dalam pelayanan kesehatan formal akan masuk dalam skema pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN. ”Momentum ini penting untuk direspons melalui intensifikasi riset melalui pengembangan fitofarmaka guna menyediakan banyak pilihan yang masuk ke formularium nasional,” ucapnya.
Riset dapat dimulai dengan memetakan penggunaan jamu, obat herbal terstandar (OHT), dan fitofarmaka di sarana fasilitas kesehatan. Hasilnya akan jadi basis data pengembangan formula untuk mendukung penggunaan regimen terapi konvensional.
Sementara itu, Perekayasa Ahli MadyaPusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional BRIN Chaidir Amin mengatakan, dukungan riset sangat dibutuhkan untuk mendukung ketersediaan Bahan Baku Obat Bahan Alam (BBOBA) bermutu baik. Aspek lainnya adalah meningkatkan keamanan penggunaan dan daya saing industri.
Menurut Chaidir, sebesar 85 persen sumber tanaman obat diperoleh dari alam sebagai tumbuhan liar. Produsen tanaman obat didominasi oleh petani pengumpul, bukan penanam, sehingga akan berdampak terhadap keberlanjutan pasokan.
”Karena itu, harus ditingkatkan produsennya dan membuka sentra-sentra produksi di tempat lain,” katanya.
Chaidir menambahkan, selain riset ilmu hayati dan keteknikan, diperlukan juga riset sosial ekonomi untuk menghasilkan kebijakan dan regulasi bagi intervensi di bidang ekonomi mikro, perdagangan, dan kelembagaan dalam bisnis BBOBA. Hal ini dapat dilakukan lewat kerja sama dengan perguruan tinggi dan pemerintah.
”Untuk meningkatkan difusi dan adopsi iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), produksi BBOBA dapat digunakan model konsorsium kemitraan quadruple helix (kolaborasi pemerintah, industri, perguruan tinggi, dan komunitas masyarakat sebagai pengguna) yang sudah kita laksanakan sampai saat ini,” ujarnya.
Peneliti Ahli Muda Kementerian Kesehatan, Danang Ardiyanto, mengutarakan, saintifikasi jamu dimulai sejak 2010. Problem utama penggunaan jamu di pelayanan kesehatan formal terkait dengan bukti ilmiah dari manfaat jamu tersebut.
”Saintifikasi bisa menjadi jembatan untuk menyediakan bukti ilmiah dari jamu-jamu yang sudah lama digunakan masyarakat. Harapannya, dengan adanya bukti ini, pelayanan kesehatan bisa menggunakannya,” ucapnya.