Teori Konspirasi dan Kebohongan Kematian Brigadir J dalam Otak Kita
Informasi yang tidak utuh dan terkesan ditutupi membuat teori konspirasi berkembang dalam kasus kematian Brigadir J. Teori konspirasi muncul agar masyarakat merasa aman dan memiliki kendali diri di tengah ketidakpastian.
Informasi yang tidak utuh dan terkesan ditutupi terkait kematian Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat membuat publik menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi. Narasi konspirasi pun dikembangkan guna memenuhi rasa ingin tahu masyarakat. Keingintahuan itu pula mendorong upaya pengungkapan hal yang dianggap publik tidak logis.
Kasus bermula dari suara tembakan di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, 8 Juli 2022. Tiga hari kemudian, polisi baru mengumumkan suara itu merupakan tembak-tembakan antara J dan Bhayangkara Dua E alias Richard Eliezer Pudihang Lumiu di rumah dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. J tewas dalam peristiwa itu.
Namun, masyarakat menilai ada kejanggalan dalam kronologi yang disampaikan polisi. Kamera pengawas (CCTV) di rumah dinas pun tidak berfungsi. Semula, keluarga J tidak diperkenankan melihat jenazah. Setelah pemakaman, sejumlah polisi datang ke rumah J, terus menutup pintu dan gorden jendela.
Kejanggalan itu justru memunculkan kesimpangsiuran informasi. Masyarakat pun mencoba menerka apa yang sebenarnya terjadi dengan mengaitkan satu informasi dengan informasi lain. Otak-atik gathuk. Akibatnya, berkembanglah berbagai teori konspirasi tentang kematian J yang tidak jelas asal-usulnya, tetapi menyenangkan pikiran masyarakat.
Baca juga : Kasus Brigadir J Momentum Benahi Internal Polri
Penyidikan polisi akhirnya menyimpulkan suara itu bukan tembak-tembakan, melainkan penembakan. Sambo pun jadi tersangka pembunuhan J pada 9 Agustus 2022. Namun, motif pembunuhan belum diungkap. Ucapan seorang pejabat yang menyebut motif pembunuhan bersifat sensitif dan hanya bisa dikonsumsi orang dewasa makin membuat pikiran awam ke mana-mana.
Jika semula dugaan terfokus pada hubungan antara J dan istri Sambo, gosip pun merambah ke relasi asmara Sambo dengan perempuan lain, bahkan hubungan sejenis Sambo dan J. Tak hanya itu, isu media sosial juga dikaitkan dengan penembakan di Jalan Tol Jakarta-Cikampek Kilometer 50 pada Desember 2020 hingga perjudian yang dikira dibekingi Sambo dan kroninya.
Tentu, dugaan dan sangkaan di media sosial itu sulit dipastikan kebenarannya. Namun, beredarnya berbagai narasi konspirasi dan aneka isu yang menunggangi kasus ini menunjukkan, semakin tidak jelas informasi yang disampaikan, makin liar pula persepsi masyarakat.
Munculnya teori konspirasi yang mempertaruhkan kredibilitas Polri dalam kasus kematian Brigadir J merupakan hal yang sulit dihindari. Bukan perkara benar atau salahnya narasi konspirasi tersebut, melainkan masyarakat butuh narasi konspirasi untuk memberi mereka kepastian.
Profesor psikologi sosial Universitas Kent, Inggris, Karen Douglas, kepada Livescience, 3 Juli 2022, menyebut teori konspirasi sebagai keyakinan bahwa dua atau lebih aktor saling berkoordinasi secara rahasia untuk mencapai hasil tertentu. Mengungkap teori konspirasi itu dianggap sebagai upaya memperjuangkan kepentingan publik.
Senada dengan itu, profesor teori politik Universitas Nottingham, Inggris, Hugo Drochon, menambahkan, inti teori konspirasi adalah adanya keyakinan bahwa sekelompok kecil orang sedang berusaha mengendalikan dunia.
”Teori konspirasi menawarkan solusi sederhana untuk masalah yang kompleks,” tambah profesor psikologi sosial Universitas Nottingham, Inggris, Daniel Jolley.
Teori konspirasi tumbuh dan berkembang dalam kondisi yang penuh ketidakpastian. Situasi itu membuat orang merasa khawatir dan terancam hingga ingin memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam sebuah krisis.
Otak manusia tidak menyukai kekacauan. Karena itu, otak akan mencari informasi pembanding untuk membuatnya tenang dan senang. The Psychology Today menyebut, dengan meyakini teori konspirasi, meski belum jelas kebenarannya, seseorang merasa mampu mengendalikan hidupnya dan mengendalikan situasi yang terjadi hingga tercipta rasa aman untuknya.
Baca juga : Menemukan Titik Terang Kasus Kematian Brigadir J
Soal kendali diri itulah yang membuat banyak orang tidak nyaman naik kendaraan yang dikemudikan orang lain. Mereka akan lebih yakin jika dirinya yang mengemudikan kendaraan. Padahal, pengemudi terbaik di dunia pun tetap punya peluang mengalami kecelakaan.
Selain itu, manusia lebih suka merasa kuat daripada merasa tidak berdaya. Sementara pengetahuan atau informasi adalah sumber kekuatan. Karena itu, memercayai teori konspirasi juga membuat manusia puas dan berdaya serta merasa lebih mengetahui sesuatu di tengah ketidakjelasan informasi dan kerumitan masalah.
Jolley menambahkan, teori konspirasi harus menarik bagi orang yang ingin memercayainya, muncul tepat pada saat orang membutuhkannya, serta ada kelompok atau organisasi yang harus disalahkan.
Teori konspirasi mendorong ego, membuat seseorang merasa bagian dari kelompok tertentu, minimal kelompok yang merasa tidak bisa diperdaya atau ditipu oleh informasi kelompok lain. Munculnya kelompok sepenanggungan ini mudah ditemukan di media sosial terkait konten-konten yang mengunggah seputar kasus kematian Brigadir J.
Kepolisian sebenarnya berusaha menetralkan teori-teori konspirasi yang beredar, khususnya seputar isu perjudian, dengan menangkap sejumlah kelompok penjudi. Namun, belajar dari penyebaran informasi untuk menandingi hoaks, informasi penangkal itu tidak akan pernah efektif, penyebaran dan efeknya kalah jauh dibandingkan hoaksnya.
Bias kognitif
Kondisi itu terjadi karena otak manusia memiliki bias kognitif. Manusia cenderung menyukai informasi yang mereka sukai saja, yang cocok dengan prasangka mereka, serta menguatkan pandangannya. Manusia cenderung menafikan informasi yang dianggap bisa menggoyahkan keyakinannya meski bisa jadi informasi itu yang benar.
Kuatnya tekanan publik, baik yang berpegang pada informasi akurat terkonfirmasi di media tertentu atau yang didorong oleh keyakinan akan teori konspirasi yang beredar di media sosial, memang telah berhasil mendorong pengungkapan kematian Brigadir J lebih baik dan adil. Namun, kuatnya teori konspirasi itu juga bisa menimbulkan jebakan.
Tekanan teori konspirasi bisa membuat proses penyidikan berjalan tidak adil, penuh tekanan, hanya untuk memenuhi keinginan publik yang belum tentu benar. Narasi konspirasi juga bisa memicu munculnya persekusi terhadap pihak-pihak yang terkait dengan pelaku meski tidak terlibat dalam pembunuhan, seperti penyebutan polisi di sejumlah daerah yang terlibat dalam pawai peringatan HUT Ke-77 Kemerdekaan RI sebagai anak buah Sambo.
Douglas menambahkan, teori konspirasi akan lebih menarik bagi orang-orang yang mengalami frustrasi atau kecewa akibat kebutuhan psikologisnya tidak terpenuhi.
Kebutuhan psikologis yang gagal dipenuhi itu bisa berupa kebutuhan epistemik untuk mengetahui kebenaran, kejelasan, dan kepastian; kebutuhan eksistensial untuk merasa aman dan memiliki kendali diri; hingga kebutuhan sosial untuk menjaga harga diri atau sikap positif terhadap kelompok yang diikuti.
Karena itu, literasi digital perlu terus dikembangkan untuk memahami informasi apa pun. Teori konspirasi bisa dibuat dan dipercayai siapa pun, termasuk mereka yang berpendidikan tinggi. Sikap skeptis, kemampuan menalar dan bukan sekadar menghafal, serta memaparkan diri dengan informasi berbeda bisa menjaga diri lebih baik dari tipu daya teori konspirasi.
Berbohong
Di sisi lain, pengungkapan kasus kematian Brigadir J yang berjalan hampir dua bulan terakhir juga menunjukkan tidak ada kebohongan yang sempurna. Sekali kebohongan dibuat, manusia akan terus membuat kebohongan baru untuk menutupi kebohongan sebelumnya.
Psikolog sosial dari Fakultas Psikologi Universitas Surabaya, Ananta Yudiarso, di Kompas, 6 Oktober 2018, menyebut berbohong adalah mekanisme atau cara manusia bertahan hidup dan itu menjadi tujuan dasar atau alamiah manusia berbohong. Berbohong dilakukan untuk menutupi kesalahan diri yang dia tak sanggup menanggung konsekuensi atas kesalahan itu.
Berbohong merupakan perilaku yang sudah dilakukan manusia sejak kanak-kanak, saat fungsi eksekutifnya berkembang. Makin dewasa, kemampuan manusia berbohong kian berkembang. Tujuannya pun kian beragam, bukan untuk menjaga harga diri saja, melainkan untuk mencapai kepentingan politik, ekonomi, dan sosial dengan memanipulasi dan menyesatkan publik.
Berbohong merupakan perilaku yang sudah dilakukan manusia sejak kanak-kanak, saat fungsi eksekutifnya berkembang. Makin dewasa, kemampuan manusia berbohong kian berkembang.
Di sisi lain, ahli otak dan perilaku sosial yang kini menjadi Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Taufiq Pasiak, menyebut manusia adalah makhluk manipulatif. Kondisi itu membuat semua manusia pasti pernah berbohong, termasuk bohong putih atau berbohong demi tujuan yang positif.
Cara paling umum dari kebohongan publik adalah membentuk disinformasi atau informasi keliru lewat hoaks atau data tandingan. Jika disampaikan berulang-ulang, kebohongan akan menjadi kebenaran. Karena itu, kebohongan yang menyesatkan publik perlu diwaspadai, khususnya di era digital saat batas antara kebohongan dan kebenaran makin sulit dibedakan.
Saat berbohong, sistem limbik otak manusia yang mengatur emosi akan lebih aktif. Kondisi itu membuat orang yang berbohong umumnya akan merasa cemas, denyut nadi meningkat, gugup, suka menggaruk hidung meski tidak gatal, kulit tegang, hingga tidak berani menatap mata lawan bicara.
Namun, tanda-tanda fisik dan psikis berbohong itu tidak akan muncul atau mudah dipalsukan oleh orang yang ahli berbohong. Bahkan, tanda kebohongan itu sulit dideteksi dengan poligraf atau alat pendeteksi kebohongan. Kondisi ini terjadi karena otak manusia bersifat plastis atau mudah beradaptasi.
Aktifnya sistem limbik saat berbohong akan diikuti oleh melemahnya fungsi korteks prefrontal di otak bagian depan yang berperan dalam penalaran atau logika. Meski pengatur logika melemah, orang yang berbohong akan tetap memaksa agar korteks prefrontal bekerja demi memproduksi kebohongan baru.
Selain itu, berbohong membutuhkan energi lebih besar bagi otak dibandingkan jujur. Orang yang berbohong menjadi cepat lelah hingga memengaruhi kemampuan dalam memproduksi kebohongan baru. Di sinilah kebohongan rentan terbongkar. Sedikit kesalahan dalam penyusunan skenario kebohongan bisa membuka semua kebohongan yang dilakukan.
Karena itu, pengungkapan kasus kematian Brigadir J yang semula karena tembak-menembak hingga kemudian berubah menjadi penembakan menunjukkan, secanggih apa pun kebohongan dirancang dan sekuat apa pun kelompok pembuat kebohongan, kebenaran pasti akan terungkap.
Harga yang harus dibayar dari kebohongan pun tak main-main. Bukan hanya anjloknya reputasi dan kepercayaan masyarakat terhadap polisi dan penegakan hukum di Indonesia, hal itu juga mencederai logika masyarakat. Selain itu, penting menyampaikan informasi yang utuh dan benar kepada publik agar tidak berkembang rumor dan teori konspirasi yang justru menjauhkan masyarakat dari nalar.