Kain tenun Sumba sudah terkenal. Namun, nasib perajin kain tenun di Sumba masih jauh dari sejahtera. Penjualan tenun ikat masih terbatas. Padahal pembuatannya memakan waktu berbulan-bulan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Puluhan lembar kain tenun ikat dari Sumba dengan berbagai motif ditampilkan dalam pameran disela-sela Konferensi Tingkat Menteri G20 tentang Pemberdayaan Perempuan (MCWE), di Nusa Dua, Bali, pada 24-25 Agustus 2022. Tak hanya indah, kain tenun ikat mereka seolah berisi harapan para perempuan Sumba.
Tak hanya menampilkan kain tenun ikat, pameran itu juga menghadirkan petenun beserta peralatan tenunnya. Perajin tenun itu Carolina Konda Ngguna (51) dan Ednan Ngalla Pulungtana (23) dari Desa Mbatakapidu, Waingapu, Sumba Timur, NTT. Hadir di pameran bertaraf internasional merupakan “kesempatan langka” bagi keduanya.
Kali itu, untuk pertama kalinya kedua perajin tenun ikat tersebut keluar dari kampung halamannya dan membawa misi pameran kain tenun Sumba. “Ini baru pertama ikut pameran. Senang sekali,” ujar Carolina yang disapa dengan Mama Carolina, saat ditemui Rabu (24/8/2022).
Dia tidak menyangka bisa hadir di hotel berbintang di Bali dan mempromosikan tenun Sumba. Pameran menjadi pengalaman berharga bagi perajin tenun ikat dari Sumba seperti Mama Carolina. Sebagai petenun di pelosok desa, sungguh kesempatan langka baginya untuk keluar dari desa. Apalagi sampai terbang ke Pulau Dewata.
Kami sangat bersyukur, sebab sewaktu kunjungan ke Sumba Ibu Menteri berdialog dengan para ibu petenun dan Menteri langsung tertarik serta memberikan apresiasi atas karya tenun para ibu. Lalu kemudian mengajak mama Carolina ikut pameran di acara Konferensi Tingkat Menteri G20 tentang Pemberdayaan Perempuan.
Sejak kecil Carolina hanya hanya lulus sekolah dasar dan tumbuh di keluarga perajin tenun ikat. Sang ibu yang mengajarkannya menenun. Ketika menikah, keterampilan yang diturunkan dari ibunya itu menjadi kekuatan bagi Carolina. Tenun kini berkontribusi dalam ekonomi keluarganya.
Tak hanya dirinya, Carolina juga menggerakkan ibu-ibu di kampungnya untuk melestarikan tenun Sumba dan sekaligus menjadikan kekuatan ekonomi keluarga. Pelan-pelan dia menurunkan keterampilannya menenun kepada beberapa ibu hingga akhirnya mereka membentuk komunitas perempuan petenun.
”Awalnya, hanya empat orang yang bersama saya, sekarang sudah 32 anggotanya. Semua adalah ibu-ibu,” ujar Carolina.
Kendati sudah puluhan tahun menjadi perajin atau petenun, Mama Carolina mengaku belum pernah ikut pameran seperti di Bali. Dia menyebutnya sebagai sebuah kebetulan saat Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati berkunjung ke Sumba dan bertemu dengannya dan para perempuan petenun kain Sumba.
Kesempatan langka
Kehadiran petenun Sumba di pameran di sela-sela forum G20 MCWE, menurut Arianti, merupakan momentum bagi mereka untuk mempromosikan karya-karya tenun Sumba yang kaya dengan berbagai motif dan warna. Kegiatan ini sekaligus mendorong mereka untuk terus melestarikan kerajinan tenunan Sumba
”Ini adalah kesempatan yang langka bagi perajin tenun untuk membagikan pengetahuan dan praktik mereka yang selama ini ”tersembunyi”. Mereka sering terlupakan oleh perajin yang lebih besar atau pengepul yang lebih memiliki akses untuk mempromosikan dan memasarkan produk dari perajin kecil,” kata Arianti yang juga Ketua Pusat Penelitian dan Studi Gender, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah.
Namun, Arianti menegaskan, kesempatan mengikuti pameran dalam Forum G20 tidak serta-merta membuat akses pemasaran bisa terpecahkan. Mereka masih membutuhkan kebijakan afirmatif yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan perempuan perajin tenun. Mereka juga membutuhkan intervensi dan kolaborasi yang konkret, serta sinergi sejumlah pihak untuk membantu perajin dapat terus berkarya.
”Mereka orang-orang kecil. Bagaimana mereka mau meminjam, caranya bagaimana dan kepada siapa juga mereka masih sangat terbatas. Mereka membutuhkan intervensi konkret dari pemerintah maupun pihak lain, untuk membantu mereka agar produknya bisa dijual. Hasilnya sesungguhnya untuk kebutuhan sehari-hari,” ujar Arianti yang dikenal dengan sapaan Ina Hunga.
Kondisi perempuan petenun di Sumba akhirnya mendorong Ina Hunga dan teman-temannya untuk menguatkan kapasitas mereka. Mama Carolina dan mama-mama petenun yang selama ini bekerja dalam ”diam” dirangkul dan diajak bergabung dalam Sekolah Tenun Berbasis Komunitas.
Tenun ikat dan pahikung merupakan karya kreatif perempuan Sumba Timur yang dikenal sejak lama dan sudah dikenal luas. Kerajinan tersebut termasuk industri di Sumba Timur yang perkembangannya relatif cepat.
Dalam 10 tahun terakhir, tenun ikat dan pahikung berkembang dari 20 desa/kluster menjadi 35 desa/kluster yang melibatkan banyak pekerja. Namun, sumber daya tenun ikat dan pahikung belum mampu mendorong kehidupan perempuan petenun yang sebagian besar sebagai motor dari usaha mikro, kecil, dan menengah di Sumba Timur.
Meski pameran hanya berlangsung beberapa hari, Menteri Bintang Darmawati berharap kehadiran di Bali akan memberikan motivasi bagi Carolina dan perajin tenun ikat dari Sumba untuk maju dan mengembangkan kreativitas.
Tentu saja promosi atas hasil tenun tersebut sangat penting agar pasar penjualan kain-kain tenun ikat itu semakin luas. Lalu, para perempuan perajin bisa berdaya dan mandiri secara ekonomi.