Tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia pada 2021 mencapai 4 persen. Adapun pemerintah menargetkan untuk menghapus kemiskinan ekstrem pada 2024, lebih cepat enam tahun dari target SDGs.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Target pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan ekstrem hingga nol persen pada 2024 hanya dapat dicapai jika ada upaya progresif. Untuk itu, akurasi data penduduk miskin ekstrem pun mesti dibenahi agar bantuan sosial tepat sasaran.
”Kunci mempercepat penghapusan kemiskinan ekstrem di Indonesia adalah konvergensi program (pemerintah), kemudian peningkatan akurasi sasaran (penduduk miskin ekstrem penerima bantuan sosial),” kata Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Kantor Wakil Presiden, Suprayoga Hadi, pada diskusi daring ”Mewujudkan Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem Tahun 2024”, Rabu (21/9/2022).
Kemiskinan ekstrem, menurut definisi Bank Dunia, adalah ketika pengeluaran penduduk per hari di bawah 1,9 dollar AS PPP (purchasing power parity). Standar kemiskinan ekstrem ini lebih rendah dari yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu 2,5 dollar AS per orang per hari.
Adapun karakteristik umum penduduk miskin antara lain berpendidikan rendah, minim akses ke pekerjaan dan sanitasi yang layak, serta mayoritas tinggal di rumah yang tidak layak huni. Anak balita dari keluarga miskin ekstrem umumnya belum mendapat imunisasi dasar lengkap dan cenderung punya masalah gizi.
Menurut data BPS, proporsi penduduk miskin ekstrem di Indonesia menurun dari 7,2 persen pada 2015 menjadi 3,7 persen pada 2019. Namun, angka ini naik jadi 3,8 persen pada 2020 akibat pandemi Covid-19. Pada Maret 2021, angka penduduk miskin ekstrem naik lagi menjadi 4 persen atau setara dengan 10,86 juta jiwa.
Kemiskinan ekstrem, menurut definisi Bank Dunia, adalah ketika pengeluaran penduduk per hari di bawah 1,9 dollar AS.
Suprayoga menambahkan, tingkat kemiskinan ekstrem nasional memang turun. Penurunan ini terjadi di 20 provinsi, antara lain Bengkulu, Aceh, Sulawesi Tengah, dan DI Yogyakarta. Namun, masih ada 14 provinsi yang tingkat kemiskinan ekstremnya naik, seperti Jawa Barat, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
Salah satu strategi pemerintah untuk menekan angka kemiskinan ekstrem adalah mengurangi beban pengeluaran masyarakat. Cara lain adalah meningkatkan pendapatan masyarakat miskin ekstrem. Ini bisa dicapai dengan pemberian bantuan sosial, misalnya melalui Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan Program Sembako.
Penambahan bansos dan dampaknya terhadap penurunan kemiskinan ekstrem pernah diuji coba BPS pada 2021. Survei Efektivitas Program Bantuan Sosial (SEPBS) ini dilakukan di 35 kota/kabupaten di tujuh provinsi. Hasilnya, kemiskinan ekstrem turun dari 7,24 persen pada Maret 2021 menjadi 7,06 persen pada Desember 2021.
Walakin, penurunan kemiskinan ekstrem tidak terjadi di semua daerah. Suprayoga mengatakan, ini karena ada exclusion error. Artinya, ada penduduk miskin ekstrem yang tidak dapat bansos, sementara penduduk tidak miskin dapat bansos.
”Ternyata 5,24 persen rumah tangga miskin ekstrem belum menerima bansos, seperti PKH atau BPNT. Sebaliknya, 2,5 persen rumah tangga pada kelompok kaya mendapat bansos,” ujar Suprayoga.
Akurasi data penerima bansos, utamanya penduduk miskin ekstrem, sangat penting. Selama ini, bansos disalurkan berbasis data dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Direktur Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Sosial Arif Nahari mengatakan, data di DTKS kini diverifikasi dan divalidasi setiap bulan. Kementeriannya juga bekerja sama dengan dinas sosial dan pemerintah kabupaten/kota untuk menempatkan tenaga verifikasi data lapangan.
Data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dapat dimanfaatkan. Data ini berisi informasi karakter sosial-ekonomi 66,2 juta keluarga di 507 kabupaten/kota di Indonesia. Data telah disinkronkan dengan nomor induk kependudukan (NIK).
Data ini juga mencakup peringkat kesejahteraan keluarga. Data BKKBN dapat menjadi alternatif untuk mempertajam sasaran program penghapusan kemiskinan ekstrem.
”Data itu sifatnya saling melengkapi, bukan jalan sendiri-sendiri,” ucap Suprayoga. ”Kita menuju Satu Data Indonesia (integrasi data antarsistem dan aplikasi pemerintah). Saya harap data yang selama ini terserak di berbagai kementerian/lembaga bisa diintegrasikan, kemudian menjadi semacam registry sosial-ekonomi Indonesia,” ucapnya.
Menurut Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Laksana Tri Handoko, percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem akan menantang. Pada level makro, pemerintah mesti mempertimbangkan inflasi, menciptakan pertumbuhan ekonomi inklusif, menciptakan lapangan kerja produktif, hingga menjaga iklim investasi.
”Kita dihadapkan pada kenaikan harga, terutama komoditas pangan dan energi, akibat situasi geopolitik (perang Rusia-Ukraina) yang belum menunjukkan tanda berakhir,” katanya.
Sementara itu, pada level mikro, kebijakan untuk menurunkan beban pengeluaran dan meningkatkan pendapatan kelompok miskin dinilai tidak mudah.
”Dua isu strategis yang menjadi tantangan pada level mikro adalah akurasi data dan sinergi antarprogram yang melibatkan kementerian/lembaga dan dunia usaha,” ujarnya.