Kebebasan Ilmiah Peneliti dan Konservasionis yang Kian Terenggut
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencekal sejumlah peneliti asing tentang satwa karena dianggap mendiskreditkan pemerintah. Pencekalan ini kian merenggut kebebasan ilmiah para peneliti dan konservasionis.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·6 menit baca
Peneliti dan konservasionis orangutan sekaligus Direktur Borneo Futures yang berbasis di Brunei Darussalam, Erik Meijaard, sampai saat ini masih terus bertanya-tanya tentang kesalahannya kepada Pemerintah Indonesia sampai ia harus dicekal oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Padahal, dalam beberapa tahun terakhir, Erik belum melakukan penelitian langsung di Indonesia meski sempat menulis tentang isu-isu konservasi dari luar Indonesia.
”Sampai saat ini saya belum menerima surat apa pun secara resmi dari KLHK. Satu-satunya surat yang saya lihat adalah yang beredar di media sosial. Saya tidak tahu apakah surat itu dikeluarkan sebagai reaksi atas artikel opini saya di (The) Jakarta Post atau bukan,” ujarnya saat menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan Kompas, Jumat (23/9/2022).
Erik adalah salah satu dari lima peneliti asing yang dicekal KLHK karena publikasi mereka dianggap memberikan indikasi negatif dan dapat mendiskreditkan pemerintah. Pencekalan tersebut tertuang dalam surat bernomor S.1447/MENLHK-KSDAE/KHSS/KSA.2/9/2022 yang diterbitkan pada 14 September 2022 dan ditandatangani oleh Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) Bambang Hendroyono.
Surat KLHK tersebut tidak ditujukan kepada Erik dan empat peneliti lain, yakni Julie Sherman, Marc Ancrenaz, Hjalmar Kuhl, dan Serge Wich. Namun, surat tersebut ditujukan kepada seluruh kepala balai taman nasional dan balai konservasi sumber daya alam di Indonesia.
Dalam surat tersebut, KLHK memerintah jajarannya untuk tidak memberikan pelayanan dalam semua urusan perizinan terkait dengan kegiatan konservasi kepada Erik dan empat peneliti lainnya. KLHK juga memerintahkan agar jajarannya tidak melayani permohonan kerja sama dari Erik di tingkat tapak dalam kewenangan kepala unit pelaksana teknis.
Selain itu, poin lainnya dalam surat tersebut agar melaporkan kepada menteri dan Dirjen KSDAE atas setiap usulan kegiatan konservasi oleh peneliti asing. Laporan juga diwajibkan untuk kegiatan penelitian tentang satwa oleh peneliti asing selama 2017-2022 sekaligus melakukan pengawasan terhadap kegiatan penelitian agar dapat dijaga obyektivitasnya.
Menanggapi surat tersebut, Erik mengaku tidak mengetahui publikasi nasional dan internasional mana yang dirujuk oleh KLHK. Erik pun menyayangkan tindakan KLHK tersebut mengingat Indonesia merupakan bagian dari rencana penelitiannya ke depan meski saat ini ia tengah berada di negara lain dan terlibat dalam studi global.
Sains bukan tentang memuji atau mendiskreditkan pemerintah, tetapi tentang mengumpulkan informasi dengan cara yang bermakna secara metodologis.
Erik yang juga merupakan profesor di Durell Institute of Conservationand Ecology University of Kent, Inggris, ini menyatakan bahwa pencekalan tersebut tidak akan banyak berdampak langsung terhadap dirinya. Sebab, saat ini dia tidak sedang melakukan penelitian di Indonesia ataupun di kawasan lindung lainnya.
Selama 25 tahun tinggal dan bekerja di Indonesia pada 1992-2017, Erik melakukan penelitian dengan izin dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang saat ini melebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Ia juga sempat bekerja untuk organisasi yang memiliki perjanjian dengan pemerintah yang mencakup penelitian dan pengumpulan data atau informasi.
Akan tetapi, ia memandang bahwa pencekalan ini akan tetap berdampak terhadap peneliti atau ilmuwan lain yang tengah bekerja di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari isi surat tersebut yang menyarankan untuk melakukan pengawasan terhadap ilmuwan oleh pemerintah sehingga dapat merusak independensi dan obyektivitas ilmu pengetahuan.
”Sains bukan tentang memuji atau mendiskreditkan pemerintah, tetapi tentang mengumpulkan informasi dengan cara yang bermakna secara metodologis dan kemudian melihat apa yang disarankan oleh data tersebut,” tuturnya.
Sejak surat pencekalan peneliti asing tersebut diterbitkan sampai saat ini, pihak KLHK belum memberikan keterangan resmi ke publik. Ketika dimintai tanggapan, Jumat (23/9/2022), Plt Dirjen KSDAE Bambang Hendroyono hingga Kepala Biro Humas KLHK Nunu Anugerah tidak merespons. Tidak adanya respons dari KLHK ini membuat Erik dan peneliti lain sampai saat ini tidak mengetahui publikasi mana yang disebut dalam surat tersebut.
Bukan pertama kali
Pencekalan peneliti asing ini bukan yang pertama kali dilakukan oleh KLHK. Tercatat beberapa kali KLHK juga melakukan reaksi yang cukup keras terhadap peneliti, konservasionis, ataupun pegiat lingkungan yang berbeda pandangan.
Pada awal 2020, pemerintah mendeportasi peneliti asal Perancis, David Gaveau, yang sudah tinggal di Indonesia selama 15 tahun karena tuduhan melanggar ketentuan visa. Namun, banyak pihak menilai alasan utama deportasi ini yaitu karena David Gaveau menerbitkan laporan pendahuluan terkait angka kebakaran hutan dan lahan (karhutla) Indonesia tahun 2019 yang lebih besar dibandingkan dengan versi pemerintah.
Selain itu, respons keras juga ditunjukkan KLHK ketika Greenpeace dan pegiat lingkungan lainnya menyoroti data deforestasi Indonesia yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Ke-26 (COP-26) di Glasgow, Skotlandia, November 2021. Saat itu, Presiden menyebut, deforestasi Indonesia turun dengan angka terendah selama 20 tahun terakhir. Akan tetapi, Greenpeace menyatakan hasil analisis menunjukkan deforestasi justru meningkat selama periode waktu tertentu.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Ruandha Agung Sugardiman juga sempat menantang Greenpeace untuk menyandingkan data dan hasil analisis terkait deforestasi serta karhutla di Indonesia. Namun, sampai sekarang, tantangan tersebut tidak pernah dilaksanakan KLHK di depan publik meski Greenpeace sudah bersedia membuka data dan analisisnya.
Erik menilai, berbagai reaksi dari KLHK ini akan semakin mempersulit ilmuwan di Indonesia untuk bebas melakukan penelitian dan meublikasikan hasil penelitiannya. Erik mengakui bahwa ia juga memiliki beberapa kolaborator yang terpaksa harus menarik diri dari publikasi ilmiahnya karena khawatir akan dampak dari Pemerintah Indonesia.
”Ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah saat ini memang merenggut kebebasan ilmiah. Mereka tidak menghendaki informasi yang diverifikasi secara independen,” ucapnya.
Sikap antisains
Dewan Penasihat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Herlambang Wiratraman juga menyayangkan kebijakan atau keputusan KLHK yang mencekal para peneliti asing ini. Keputusan ini justru dinilai memperlihatkan pendekatan politik kekuasaan yang menjauhkan upaya menghargai kebebasan ilmiah atau akademik.
Herlambang juga menilai pembatasan penelitian dengan pencekalan ini memperlihatkan sikap Pemerintah Indonesia antisains. Pada akhirnya, dikhawatirkan semakin lama pendekatan politik kekuasaan yang digunakan ini akan kian eksesif, seperti pembatasan atau pengendalian hasil-hasil riset harus dikontrol negara.
Agar kekhawatiran ini tidak terjadi, Herlambang menyarankan agar pemerintah, khususnya KLHK, dapat berkaca dari negara-negara lain dalam menanggapi berbagai hasil riset dan publikasi baik nasional maupun internasional. Saat ini, ekosistem di negara lain cenderung mengedepankan ilmu pengetahuan yang transparan dan bisa diakses siapa pun (open science), termasuk data yang terkait dengan lingkungan. Padahal, open science juga merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang tertuang dalam Pasal 27 Ayat 1 dan 2 Deklarasi HAM.
Selain itu, KLHK juga diminta bersikap lebih terbuka dengan berbagai permasalahan lingkungan yang terjadi sekarang. Hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan ruang untuk saling beradu argumen dan metodologi secara ilmiah jika hasil riset para peneliti dinilai berseberangan dengan data pemerintah.
”Hal demikian jauh lebih menghargai saintis dan sains daripada mencekalnya,” ungkap Herlambang.