Banyak Pekerjaan Rumah untuk Mencapai FOLU ”Net Sink” 2030
Progres menuju FOLU ”net sink” 2030 oleh KLHK masih terkendala sejumlah masalah. Beberapa di antaranya adalah regulasi, keterlibatan masyarakat, dan transparansi.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Optimisme Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK dalam menurunkan emisi gas rumah kaca pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan atau forestry and other land use pada 2030 perlu dibarengi dengan ide yang realistis. Sebab, pada tataran lokal, masih ada beberapa hal yang menghambat implementasinya, seperti masalah regulasi dan tidak adanya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan.
Profesor kebijakan kehutanan IPB University, Hariadi Kartodihardjo, Senin (24/10/2022), di Jakarta, menjelaskan, upaya mengurangi emisi karbon pada sektor forestry and other land use (FOLU) dan mengubahnya menjadi net sink pada 2030 masih akan terhambat beberapa hal. Net sink merupakan kondisi ketika angka serapan karbon lebih tinggi daripada emisi yang dihasilkan. Pemerintah menargetkan pengurangan emisi karbon dari FOLU net sink 2030 sebesar 17 persen dari 31,89 persen dalam Nationally Determined Contributions (NDC) tahap awal pada 2030.
Menurut dia, salah satu hambatan pencapaian target FOLU net sink 2030 adalah kebijakan yang sentralistik, khususnya setelah pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Dalam kasus kesatuan pengelolaan hutan (KPH), dukungan kepada pemerintah daerah berkurang karena banyak kewenangan yang diambil oleh pemerintah pusat, termasuk dukungan anggaran. Padahal, pemda dan masyarakat lokal merupakan garda terdepan dalam pelestarian hutan.
”Sebelum UU Ciptaker berlaku, banyak KPH yang berhasil meningkatkan tutupan kawasan hutan. Di Indonesia bagian timur, misalnya, KPH melakukan perlindungan terhadap penebangan liar, perambahan, hingga penanaman sawit dalam kawasan hutan. Sebelum ditetapkan UU Ciptaker pada 2021, upaya ini cukup intensif, sekarang terhambat karena tidak ada dananya,” katanya.
Target FOLU net sink 2030 juga perlu memperhatikan kondisi hutan yang beraneka ragam di Indonesia. Hariadi mencontohkan, untuk kondisi hutan di Papua, deforestasi berpotensi terjadi karena adanya pemekaran wilayah yang membangun infrastruktur dengan membuka lahan. Kondisi ini berbeda dengan hutan di Sumatera yang banyak terkonversi karena sawit.
Sifat penanganan hutan yang kontekstual pada setiap daerah ini menyebabkan pemerintah pusat tidak bisa melepaskan peran masyarakat daerah dan pemda dalam pengambilan keputusan hingga kebijakan penerapan FOLU net sink 2030. Hariadi menekankan, hubungan antara hutan dan masyarakat di daerah sangat erat.
”Walaupun di peta tidak ada yang memanfaatkan, tetapi secara de facto, masyarakat lokal memanfaatkan dan mengelola hutan untuk kehidupan sehari-hari. Kedekatan dan modal sosial ini yang perlu ditanam saat akan mengimplementasikan kebijakan dari pemerintah pusat. Hal ini agar tercipta pengelolaan dan pelestarian hutan yang berkelanjutan,” imbuhnya.
Salah satu hambatan pencapaian target FOLU net sink 2030 adalah kebijakan yang sentralistik, khususnya setelah pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja.
Forest Campaigner Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik mengutarakan, FOLU net sink memang disusun ahli dan dalam pembuatannya menggunakan hitung-hitungan teknis, seperti perhitungan mengenai deforestasi dan restorasi. Akan tetapi, hal yang perlu diperhatikan adalah pelibatan masyarakat sipil, akademisi, dan peneliti di daerah.
”FOLU net sink 2030 jangan hanya dibawa dari Jakarta dan disosialisasikan ke daerah. NDC merupakan target yang ambisius, tapi hal ini belum bisa diimplementasikan jika tidak menyelesaikan permasalahan antara masyarakat dan hutan di daerah. Misalnya, kebakaran hutan, konflik adat, dan pengakuan atas hak masyarakat adat. Dokumen FOLU net sink 2030 tidak menyebut masyarakat adat sama sekali, padahal mereka garda terdepan yang menjaga pelestarian hutan,” kata Iqbal.
Hal yang krusial bagi pemerintah pusat untuk mencapai target FOLU net sink 2030 adalah kemauan untuk menurunkan deforestasi. Menurut Iqbal, salah satunya dengan mengeluarkan konsesi perizinan dari hutan alam.
”Di dokumen NDC yang FOLU net sink merupakan turunannya, total ada 10,8 juta hektar (ha) hutan alam yang wilayahnya masuk dalam konsesi hak guna usaha, hak tanaman industri, dan hak pengusahaan hutan. Dari total ini, 5,2 juta lahan akan menjadi hutan lindung, sedangkan 4,8 juta lainnya akan terdeforestasi,” ujarnya.
Terkait permasalahan izin konsesi, lanjutnya, hal ini juga merupakan ranah dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Maka, diperlukan kebijakan yang tersinkronisasi dan koordinasi antar-kementerian untuk menanggulangi deforestasi yang lebih lanjut akan mencapai tujuan FOLU net sink 2030.
Selain itu, pemerintah perlu lebih transparan terhadap target FOLU net sink 2030. Hal ini termasuk perhitungan total hutan yang akan diselamatkan hingga luasan gambut yang akan direstorasi.
Ambisi Indonesia untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen dengan usaha sendiri pada 2030 dalam NDC juga mengatur penurunan dari beberapa sektor. Sektor yang paling besar adalah kehutanan dan penggunaan lahan sebesar 17,4 persen. Kemudian disusul oleh sektor energi sebesar 15,5 persen dan sisanya merupakan gabungan dari sektor pengelolaan sampah, pertanian, dan proses industri. Indonesia bisa mencapai target lebih tinggi sebesar 43,20 persen dengan bantuan internasional pada 2030.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dhewanthi dalam pembukaan Festival Iklim 2022, Senin, menyebutkan, ada belasan aktivitas utama untuk mencapai FOLU net sink 2030. Keberhasilan aktivitas tersebut, di antaranya, bergantung pada pengurangan emisi dari deforestasi dan lahan gambut, peningkatan kapasitas hutan alam dalam menyerap karbon melalui pengurangan degradasi hutan dan peningkatan regenerasi alami, penerapan praktik pengelolaan hutan lestari, serta rehabilitasi hutan.
Upaya KLHK untuk mencapai FOLU net sink 2030 dilakukan dengan restorasi gambut, terutama menjaga agar kubah karbon tidak terbuka, menurunkan emisi gas rumah kaca akibat kebakaran hutan, serta menurunkan luasan hutan dan lahan yang terbakar. ”Saat ini kita sudah menurunkan laju deforestasi secara signifikan. Buktinya, tidak ada kebakaran hutan yang menyebabkan perpindahan asap antarnegara,” tambah Laksmi.
Sekretaris Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Hanif Faisol Nurofiq menjelaskan, saat ini KLHK telah menyusun perencanaan FOLU net sink 2030 tingkat subnasional di 12 provinsi di Sumatera dan Kalimantan. Sementara 22 provinsi lain akan disusulkan pada pertengahan 2023.
”Di dalam perencanaan FOLU net sink 2030, kita memang mengakurasi sumber daya dan target secara nasional, tetapi implementasinya pada subnasional. Kemarin saat penyusunan dokumennya kita melibatkan otoritas kehutanan tingkat subnasional hingga tapak. Saat ini satu-satu kita susun komitmennya terlebih dahulu,” ucapnya.