Pencekalan Ilmuwan Pukulan bagi Kebebasan Akademik
Pencekalan peneliti asing oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menjadi pukulan serius bagi kebebasan akademik.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pencekalan peneliti asing oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menjadi pukulan serius bagi kebebasan akademik di Indonesia dan memicu keraguan para kolaborator. Perbedaan pendapat di kalangan ilmuwan seharusnya didiskusikan dan publik berhak mendapatkan informasi yang akurat berbasis data sains.
Hal ini mengemuka dalam diskusi daring yang diselenggarakan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Kamis (27/10/2022). Pembicara dalam diskusi ini adalah Lilis Mulyani (Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN), Erik Meijaard (profesor dari University of Queensland), dan Herlambang P Wiratraman (Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia/ALMI). Sementara perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang diundang tidak datang dalam diskusi.
Erik mengatakan, sampai saat ini ia tidak mengetahui dengan pasti alasan pencekalan dirinya dan empat peneliti asing lain. ”Saya tidak tahu kenapa dicekal. Tetapi, dugaan saya terkait dengan tulisan saya di Jakarta Post,” kata Erik yang juga Direktur Pelaksana Borneo Futures, organisasi yang menekuni riset dan konservasi orangutan, termasuk Indonesia.
Ini kontraproduktif dengan upaya yang sedang dibangun lembaga riset pemerintah. Kita ingin berkolaborasi dan membangun ekosistem riset yang baik.
Dalam artikel itu, Erik mengkritik klaim KLHK seputar populasi orangutan yang terus bertambah serta kian menjauh dari kepunahan. Dia merujuk sejumlah penelitian ilmiah di Nature (2017), Current Biology (2018), dan Current Biology (2022), yang menunjukkan bahwa ketiga spesies orangutan yang ada di Indonesia telah menurun dalam beberapa dekade terakhir dan tidak ada populasi yang tumbuh.
Sebelumnya, surat yang mengatasnamakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya yang ditandatangani Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Bambang Hendroyono pada 14 September 2022 memerintahkan para pejabat taman nasional dan balai konservasi untuk tidak memberikan pelayanan dan permohonan kerja sama kegiatan konservasi kepada Erik Meijaard, Julie Sherman, Marc Ancrenaz, Hjalmar Kuhl, dan Serge Wich.
Erik mengatakan, selama 30 tahun menjadi peneliti konservasi, ia telah sering menulis hasil riset dan juga artikel opini di media massa di Indonesia. ”Selama itu tidak ada masalah,” katanya.
Sejak 2016, Erik merasakan adanya perubahan, yaitu perizinan semakin sulit dan terasa kontrol dari pemerintah. Akhirnya dia memindahkan pusat riset di Brunei, selain karena juga bekerja di Malaysia.
Erik mengakui, Pemerintah Indonesia telah melakukan banyak progres terkait konservasi, khususnya menurunnya laju deforestasi. ”Ini berita positif. Tetapi, pemerintahan yang baik itu butuh monitoring yang baik dan ini membutuhkan saintis yang independen, bukan yang dipengaruhi oleh uang dan politik,” ujarnya.
Menurut dia, saintis harus berbicara berbasis data yang transparan dan bisa direvieu oleh sejawat. Data sains ini juga sangat penting bagi penentu kebijakan. ”Saya tidak ingin mempersoalkan pencekalan ini dalam kapasitas pribadi. Namun, hal ini pasti akan membuat para peneliti, termasuk kolaborator, ragu dengan situasi di Indonesia,” ucapnya.
Jalan keluar
Lilis Mulyani prihatin dengan pencekalan yang dialami Erik. ”Sangat menyedihkan dan prihatin apa yang terjadi pada Erik dan rekan lainnya. Ini kontraproduktif dengan upaya yang sedang dibangun lembaga riset pemerintah. Kita ingin berkolaborasi dan membangun ekosistem riset yang baik,” katanya.
Menurut Lilis, saat ini pihaknya banyak mendapat pertanyaan dari mitra asing, apakah bisa melakukan riset di Indonesia dengan independen. Misalnya, ketika izin etik dari BRIN sudah keluar, tetapi kementerian tidak memberi izin, terutama KLHK yang mengontrol wilayah hutan.
Lilis menambahkan, pencekalan terhadap peneliti asing di Indonesia sebenarnya sudah beberapa kali terjadi. Biasanya ada alasan yang kuat untuk pencekalan itu. Salah satunya karena mengambil sumber biogenetik tanpa izin. Ada juga kasus lain tidak boleh melakukan riset di daerah yang dianggap rawan, lalu peneliti bersangkutan menggunakan jalur lain.
Erik memastikan tidak melakukan pelanggaran, sebagaimana disebutkan Lilis. Dia juga bersedia mengadu data dan metodologi terkait artikel yang ditulisnya mengenai penurunan populasi orangutan di Indonesia.
”Kalau saya ambil spesimen Indonesia secara ilegal, oke kalau dicekal. Saya tidak tahu apa yang salah. Saya juga tidak pernah mendapatkan penjelasan resmi dari KLHK. Sampai sekarang tidak mengerti apa alasannya.Hanya ada surat internal di dalam KLHK, tetapi kemudian bocor itu,” tutur Erik.
Herlambang mengatakan, pencekalan terhadap Erik merupakan pukulan serius terhadap kebebasan akademik di Indonesia, yang belakangan semakin merosot. ”Kasus ini mengulang represi dan pencekalan KLHK terhadap David Gaveau (peneliti Cifor) pada 2019,” katanya.
Menurut Herlambang, kebebasan akademik tidak hanya terhadap tulisan yang dibuat di jurnal ilmiah. Ilmuwan seharusnya juga bebas menulis artikel opini di media massa, termasuk juga berbicara kepada wartawan untuk menyampaikan pendapatnya sesuai data yang dimiliki.
Herlambang menegaskan, pilar pertama kebebasan akademik adalah kebebasan berbicara, termasuk kritik terhadap institusinya sendiri. Ini sudah ada dalam Kovenan Hak Sosial Ekonomi dan Budaya Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sains seharusnya dialektik. Terkait pencekalan terhadap Erik, karena perbedaan data terkait populasi orangutan, seharusnya duduk bersama. ”Kalau tidak duduk bareng, dari mana tahu ada hal yang berbeda dan siapa yang benar? Publik juga berhak mendapatkan data yang bisa dipercaya berdasar sains,” katanya.