Kolom Letusan Gunung Api Hunga Tonga Melebihi Tambora 1818
Letusan gunung api Hunga Tonga-Hunga Ha'apai di selatan Samudera Pasifik pada Januari 2022 mengeluarkan ”plume” atau kolom letusan hingga setinggi 57 kilometer, dan merupakan yang tertinggi dalam catatan sejarah.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penelitian terbaru menunjukkan, letusan gunung api Hunga Tonga-Hunga Ha'apai di selatan Samudera Pasifik pada Januari 2022 mengeluarkan plume atau kolom letusan hingga setinggi 57 kilometer. Ketinggian kolom letusan ini menjadi yang tertinggi yang tercatat, melebihi saat erupsi Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat pada 1818.
Dengan memakai gambar yang diambil oleh satelit, para peneliti University of Oxford's Department of Physics and RAL Space telah mengonfirmasi bahwa letusan gunung berapi Hunga Tonga-Hunga Ha'apai pada 15 Januari 2022 mengeluarkan kolom letusan, yaitu gumpalan abu bersuhu sangat tinggi hingga mencapai 57 kilometer dari permukaan laut. Hal ini berarti ketinggiannya menembus lapisan mesosfer atmosfer. Hasil riset ini dipublikasikan di jurnal Science pada Jumat (4/11/2022).
Kajian sebelumnya yang diterbitkan di jurnal Ocean Engineering pada Agustus 2022 lalu menyebutkan, letusan Hunga Tonga merupakan yang paling kuat yang pernah teramati. Letusan gunung ini mengirim gelombang kejut ke seluruh dunia, serta gelombang tsunami yang mencapai ketinggian 90 meter.
Dalam studi terbaru ini, para peneliti fokus pada ketinggian kolom erupsi. Biasanya ketinggian kolom erupsi ini dapat diperkirakan dengan mengukur suhu yang direkam di bagian atas oleh satelit berbasis inframerah dan membandingkannya dengan profil suhu referensi vertikal. Hal ini karena di troposfer (lapisan pertama dan terendah dari atmosfer bumi) suhu menurun dengan ketinggian.
Namun, jika letusannya begitu besar sehingga asapnya menembus ke lapisan atmosfer berikutnya (stratosfer), metode ini menjadi ambigu. Sebab, suhu mulai meningkat lagi dengan ketinggian (karena lapisan ozon menyerap radiasi ultraviolet matahari).
Untuk mengatasi masalah ini, para peneliti menggunakan metode baru berdasarkan fenomena yang disebut ”efek paralaks”. Ini adalah perbedaan nyata dalam posisi obyek jika dilihat dari beberapa garis pandang. Anda dapat melihat ini sendiri dengan menutup mata kanan Anda, dan mengulurkan satu tangan dengan ibu jari terangkat ke atas.
Jika Anda kemudian beralih mata, sehingga kiri Anda tertutup dan kanan Anda terbuka, ibu jari Anda akan tampak sedikit bergeser ke latar belakang. Dengan mengukur perubahan posisi yang nyata ini dan menggabungkannya dengan jarak yang diketahui antara mata Anda, Anda dapat menghitung jarak ke ibu jari Anda.
Lokasi gunung berapi Tonga ditutupi oleh tiga satelit cuaca geostasioner sehingga para peneliti dapat menerapkan efek paralaks pada gambar udara yang diambil. Yang terpenting, selama letusan itu sendiri, satelit merekam gambar setiap 10 menit, memungkinkan perubahan cepat dalam lintasan gumpalan untuk didokumentasikan.
Animasi letusan yang dilihat oleh satelit cuaca GOES-17.
Hingga 57 kilometer
Hasil studi ini menunjukkan plume mencapai ketinggian 57 kilometer pada tingkat tertinggi. Ini secara signifikan lebih tinggi dari pemegang rekor sebelumnya: letusan Gunung Pinatubo tahun 1991 di Filipina (40 km pada titik tertingginya), dan letusan El Chichón tahun 1982 di Meksiko (31 km).
Sebelumnya, erupsi Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, pada 1818 diperkirakan mengeluarkan kolom erupsi hingga 43 km (Kompas, 17 September 2021).
Hal ini juga menjadikan kolom erupsi dari Hunga Tonga menjadi erupsi pertama dari letusan gunung berapi yang menyuntikkan material melalui stratosfer dan langsung ke mesosfer, yang dimulai pada ketinggian sekitar 50 km di atas permukaan bumi.
Penulis utama penelitian ini, Simon Proud dari University of Oxford, mengatakan, ”Ini adalah hasil yang luar biasa karena kami belum pernah melihat kolom awan setinggi ini sebelumnya. Selain itu, kemampuan untuk memperkirakan ketinggian seperti yang kami lakukan (menggunakan metode paralaks) hanya mungkin sekarang karena kami memiliki jangkauan satelit yang baik. Itu tidak mungkin terjadi sekitar satu dekade yang lalu.”
Ini adalah hasil yang luar biasa karena kami belum pernah melihat kolom awan setinggi ini sebelumnya.
Para peneliti Oxford sekarang bermaksud untuk membangun sistem otomatis untuk menghitung ketinggian kolom gunung berapi menggunakan metode paralaks.
Rekan penulis Andrew Prata dari Subdepartemen Fisika Atmosfer, Kelautan, dan Planet menambahkan, ”Kami juga ingin menerapkan teknik ini pada letusan lain dan mengembangkan kumpulan data ketinggian gumpalan yang dapat digunakan oleh ahli vulkanologi dan ilmuwan atmosfer untuk memodelkan penyebaran abu vulkanik di atmosfer.”
Prata menambahkan, dalam riset ke depan, timnya ingin mencari tahu mengapa kolom erupsi Hunga Tonga begitu tinggi dan apa dampak iklim dari letusan ini.