Tsunami di Selatan Jawa Bisa Lebih Tinggi dari Aceh 2004, Lalu Bagaimana?
Perubahan persepsi masyarakat terhadap ancaman bencana di selatan Jawa memang penting, namun tanpa perubahan kebijakan, model pembangunan dan tata ruang di zona rentan, risiko yang ditanggung bakal terus meningkat.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
Tak ada lagi peneliti yang diperiksa polisi setelah menyampaikan temuannya tentang potensi tsunami di selatan Jawa yang bisa mencapai puluhan meter sebagaimana terjadi empat tahun lalu. Namun, tanpa perubahan kebijakan, terutama penataan ruang, perubahan persepsi risiko di masyarakat tidak akan cukup untuk memadai menekan jumlah korban jika terjadi tsunami.
Penelitian terbaru yang diterbitkan Pepen Supendi, dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan tim di jurnal Natural Hazards pekan ini telah menunjukkan, zona kegempaan di selatan Jawa bagian barat dan tenggara Sumatera menyimpan sumber potensial gempa megathrust di masa depan dengan kekuatan hingga M 8,9. Dengan gempa sebesar ini, potensi ketinggian tsunami maksimum mencapai 34 meter (m).
Pepen Supendi, yang saat ini menjadi peneliti paska-doktoral di University of Cambridge, pada Selasa (1/11) mengatakan, daerah yang berpotensi dilanda tsunami dengan ketinggian maksimum itu adalah Ujung Kulon, Banten. Sementara ketinggian tsunami rata-rata di sepanjang pantai Sumatera dan pantai Jawa, masing-masing adalah 11,8 m dan 10,6 m.
Padahal, berdasarkan survei lapangan yang dilaporkan Jose C. Borrero dalam Seismological Research Letters (2005), ketinggian tsunami akibat gempa bumi berkekuatan M 9,1 di Aceh pada 2004 dan menewaskan lebih dari 150.000 orang saat itu berkisar 20-30 meter. Ini berarti potensi tinggi tsunami maksimum yang disebabkan gempa di selatan Jawa bagian barat bisa lebih tinggi dari Aceh, sekalipun kekuatan gempanya sedikit lebih kecil.
Pepen mengatakan, magnitudo gempa hanyalah salah satu faktor dalam menentukan ketinggian tsunami maksimum. "Tinggi tsunami bisa dipengaruhi oleh batimetri dan kedekatannya dengan sumber gempa. Pemodelan yang kita buat berdasarkan skenario terburuk jika kedua segmen megathrust dan back-thrust lepas bersamaan," kata dia.
Temuan ini melengkapi kajian sebelumnya yang ditulis Sri Widiyantoro dan tim di jurnal Nature (2020). Menurut laporan kajian yang didasarkan pada perhitungan data GPS di Jawa ini, tinggi tsunami di selatan Jawa maksimum hingga 20 meter dan rata-rata 4,5 meter.
Sebelumnya, Widjo Kongko, ahli tsunami eks Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang sekarang dilebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), juga pernah memodelkan potensi tsunami di selatan Jawa. Dari pemodelan yang kemudian dipresentasikannya di BMKG pada Maret 2018 itu, potensi tsunami maksimum hingga 57 m bisa terjadi di Pandeglang, Banten.
Hasil pemodelan Widjo, yang kemudian ditulis di sejumlah media daring itu kemudian memicu kegaduhan. Media kemudian daring mewawancarai warga untuk minta tanggapan soal akurasi prediksi tsunami 57 meter itu. Disebutkan, ”Prediksi tsunami itu hoaks.”
"Perbedaan hasil pemodelan terkait tinggi tsunami bisa disebabkan karena perbedaan skenario parameter sumber dan data batimetri. Tetapi, secara umum batimetri di pantai selatan Jawa-Sumatera lebih dalam ketimbang pantai barat Sumatera Utara - Aceh, sehingga potensi tsunaminya memang bisa lebih tinggi," kata Widjo.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hingga polisi menyatakan akan memanggil Widjo dan panitia seminar dari BMKG, karena dianggap menyebarkan kabar bohong yang membuat gaduh. Seperti dilaporkan Irina Rafliana, dkk dalam "A Tsunami of Anxiety - the 57 metre Wave that Shook Jakarta and Western Java", chapter buku Coastal Urbanities (2022),
Kegaduhan ini dimulai oleh media yang diperhamba klik (clickbait) yang keliru mengutip hasil kajian ini, bahkan memelintir istilah ”potensi” jadi ”prediksi” tsunami.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), prediksi merupakan ramalan atau prakiraan. Sementara potensi merupakan daya atau kesanggupan. Ramalan mengarah pada apa yang akan terjadi di masa depan, sedangkan potensi lebih melihat kemampuan energi yang tersimpan dan didasarkan pada analisis historisnya.
Perubahan persepsi risiko
Lepas dari kesalahan media yang salah tulis, hingga saat itu, persepsi risiko publik memang cenderung menyangkal terhadap risiko gempa bumi dan tsunami dari selatan Jawa. Bahkan, pada 2015, BMKG pernah melakukan sosialisasi kerentanan gempa dan tsunami di Pandeglang, Banten. Namun, kegiatan itu ditentang para pelaku wisata setempat karena dianggap bakal menganggu kegiatan wisata (Kompas, 3 Januari 2019).
Widjo mengatakan, setelah tsunami Krakatau pada akhir 2018, mulai terjadi perubahan sikap masyarakat di zona rentan tsunami di selatan Jawa. Apalagi, belakangan berbagai kegiatan sosialisasi juga gencar dilakukan. "Dalam enam bulan terakhir ini saya sudah dua kali diundang oleh komunitas untuk menyosialisasikan pengurangan risiko bencana di selatan Jawa. Satu diundang kelurahan dan satu PCNU (Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama) Cilacap," kata Widjo, Jumat (4/11/2022).
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cilacap Wijonardi mengatakan, saat ini masyarakat di pesisir selatan Cilacap, sudah memahami risiko gempa bumi dan tsunami yang bisa terjadi sewaktu-waktu. "Indikatornya dalam setiap kegiatan terkait dengan ancaman gempa dan tusnami di pantai selatan selalu dapat respons positif. Tidak ada lagi yang menyangkal," ujarnya.
Untuk mengatisipasi risiko ini, BPBD Cilacap juga sudah menyiapkan dokumen kebencanaan, mulai dari tahap prabencana, saat darurat, dan paskabencana. "Kami juga berulang kali melakukan sekolah lapang bencana kolaborasi dengan BMKG, memelihara dan merevitalisasi sistem peringatan dini tsunami, pemasangan rambu evakuasi, hingga melakukan simulasi evakuasi," ungkapnya.
Namun Wijonardi mengakui, hal ini masih belum cukup jika tidak ada perubahan sikap di level pembuat kebijakan, terutama dalam menata ruang. "Belum semua pimpinan OPD (organisasi perangkat daerah) menyadari pentingnya mengurangi risiko bencana," katanya.
Dia mencontohkan, Kantor Dinas Perikanan Cilacap yang justru dibangun di pinggir pantai dan banyak pembangunan infrastruktur publik lain yang masih dibangun di zona merah. Hal ini juga terjadi di wilayah lain di selatan Jawa, seperti Bandar Udara Internasional Yogyakarta juga dibangun di tepi pantai Kulonprogro, yang pada akhirnya memicu bangkitan ekonomi baru, padahal di sekitar tapak bandara ini telah ditemukan jejak tsunami kuno.
Belum semua pimpinan OPD (organisasi perangkat daerah) menyadari pentingnya mengurangi risiko bencana.
Menurut pemodelan yang pernah dibuat Widjo, dengan skenario gempa M 8,8 yang berpotensi terjadi lepas di segmen selatan Jawa Tengah, tsunami bisa melanda dengan ketinggian maksimal 12 meter (m) hingga sejauh 5 kilometer (km) ke daratan Cilacap.
Dengan pemodelan ini, menurut perhitungan BPBD Cilacap berdasarkan kepadatan populasi di eksisting, setidaknya 300.000 ribu orang bisa terdampak. Bahkan, jika proses evakuasi berjalan lancar, tetap ada 10 persen atau sekitar 30.000 orang yang sulit menyelamatkan diri.
Hal ini baru di Cilacap, dengan tren pembangunan yang memadat di pantai selatan Jawa, risiko jatuhnya banyak korban jika terjadi gempa bumi dan tsunami raksasa di kawasan ini memang sangat tinggi. Perubahan persepsi masyarakat terhadap ancaman bencana di selatan Jawa memang penting, namun tanpa perubahan kebijakan, terutama model pembangunan dan tata ruang di zona rentan, risiko yang ditanggung bakal terus meningkat.