Kesepakatan ”Kehilangan dan Kerusakan” untuk Wujudkan Keadilan Iklim
Hasil COP27 menyepakati tentang komitmen negara maju dalam menyiapkan pendanaan untuk kehilangan dan kerusakan. Kesepakatan ini diharapkan dapat membantu negara berkembang termasuk Indonesia mengatasi krisis iklim.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil akhir Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Ke-27 atau COP27 di Sharm El-Sheikh, Mesir, menyepakati tentang komitmen negara maju dalam menyiapkan pendanaan untuk kehilangan dan kerusakan akibat dampak dari krisis iklim. Kesepakatan ini dapat menjadi momentum untuk mewujudkan keadilan iklim sekaligus bisa meningkatan upaya adaptasi dan mitigasi khususnya di negara berkembang.
Persiapan pendanaan kehilangan dan kerusakan (loss and damage) akibat krisis iklim untuk negara-negara berkembang ini disepakati oleh setiap negara saat penutupan COP27, Minggu (20/11/2022) pagi waktu Mesir. Poin tersebut disepakati setelah melalui serangkaian perundingan yang cukup panas selama dua pekan.
Pendanaan kehilangan dan kerusakan ini dikumpulkan oleh negara-negara maju dan akan diberikan kepada negara miskin ataupun pulau-pulau kecil yang selama ini terkena dampak krisis iklim. Namun, daftar negara yang harus menyediakan pendanaan ini belum disepakati dan akan dibahas dalam COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, tahun depan.
Kita masih memiliki pekerjaan rumah memastikan negara-negara dan perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab atas krisis iklim memberikan kontribusi terbesar untuk pendanaan kehilangan dan kerusakan.
Komitmen yang disepakati ini akan sedikit berbeda dari dana iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pendanaan untuk kehilangan dan kerusakan akan mengumpulkan uang dari sumber yang jauh lebih luas, termasuk bank pembangunan dan sumber keuangan inovatif lainnya, seperti pajak bahan bakar fosil atau maskapai penerbangan.
Para delegasi khususnya dari negara miskin dan pulau-pulau kecil memandang bahwa kesepakatan tentang pendanaan kehilangan dan kerusakan merupakan langkah penting dalam menuju keadilan iklim. Sebab, selama ini dampak perubahan iklim, seperti meningkatnya tinggi permukaan air laut dan bencana hidrometeorologi, paling dirasakan di wilayah mereka.
Oleh karena itu, mereka terus menuntut tanggung jawab dan komitmen negara maju sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar. Tuntutan ini terus disampaikan dalam setiap konferensi perubahan iklim bahkan sejak puluhan tahun lalu.
Menanggapi hal ini, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong menyebut bahwa pengaturan pendanaan untuk menangani kehilangan dan kerusakan merupakan salah satu hasil kesepakatan terpenting dalam COP27. Pendanaan tersebut juga diharapkan banyak membantu negara-negara berkembang termasuk Indonesia dalam mengatasi kehilangan dan kerusakan akibat dampak perubahan Iklim.
”Hasil kesepakatan ini tentu mempunyai dampak positif bagi Indonesia karena kita negara kepulauan dan sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologi. Dengan adanya kesepakatan ini, Indonesia dapat mengakses penggunaan dan pemanfaatan dana tersebut untuk mengatasi kehilangan dan kerusakan akibat dampak perubahan iklim,” ujarnya di Jakarta, Senin (21/11/2022).
Selain itu, disepakatinya kelembagaan Santiago Network juga membuat Indonesia bisa lebih mudah mengakses dan mendapatkan bantuan teknis untuk implementasi penanganan kehilangan dan kerusakan. Santiago Network merupakan jaringan untuk mengatalisasi bantuan teknis dari organisasi, badan, jaringan, dan pakar untuk penerapan pendekatan yang relevan dalam mencegah, meminimalkan, serta menangani kehilangan dan kerusakan di tingkat lokal, nasional, dan regional.
Menurut Alue, kesepakatan tentang pendanaan untuk kehilangan dan kerusakan nantinya akan ditindaklanjuti dengan pembentukan komite transisi Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Komite transisi akan membuat rekomendasi terkait operasionalisasi dari pengaturan pendanaan baru untuk kehilangan dan kerusakan yang akan dibahas dalam COP28 tahun depan.
Catatan perundingan
Meski hasil perundingan ini cukup menjanjikan, Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menyatakan bahwa masih terdapat sejumlah catatan yang perlu menjadi perhatian. Catatan tersebut khususnya terkait dengan masih adanya keengganan negara-negara pengemisi karbon utama untuk membayar biaya kerusakan iklim akibat emisi yang mereka hasilkan selama ini.
”Kita masih memiliki pekerjaan rumah memastikan negara-negara dan perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab atas krisis iklim memberikan kontribusi terbesar untuk pendanaan kehilangan dan kerusakan,” kata Leonard dalam siaran pers.
Leonard menekankan, kesepakatan COP27 harus memastikan negara-negara maju menepati janji mereka. Hal ini diperlukan mengingat sampai saat ini komitmen mereka untuk mengalokasikan pendanaan hingga 100 miliar dollar AS per tahun untuk membantu negara-negara berkembang menghadapi krisis iklim belum terpenuhi.
Selain itu, Greenpeace juga menyayangkan COP27 tidak menyepakati tindakan mitigasi yang lebih ambisius dari hasil COP26 di Glasgow, Skotlandia, tahun lalu. Dalam kesepakatan ini juga tidak ada komitmen untuk mengakhiri penggunaan semua bentuk energi fosil, seperti batubara, minyak, dan gas bumi, termasuk seluruh subsidi untuk energi tersebut.
Greenpeace juga kembali menegaskan bahwa kesepakatan tentang pendanaan tentang kehilangan dan kerusakan harus ditindaklanjuti dengan serangkaian aksi nyata guna melawan para penghambat aksi iklim. Aksi tersebut dapat dilakukan dengan mendorong kebijakan yang lebih berani untuk mengakhiri ketergantungan pada bahan bakar fosil, meningkatkan energi terbarukan, dan mendukung transisi energi yang adil.