Publik Dilibatkan untuk Meningkatkan Akurasi Data DTKS
Akurasi data di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) terus ditingkatkan. Kementerian Sosial kini membuka akses bagi masyarakat untuk ikut memutakhirkan DTKS.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Masyarakat dilibatkan untuk meningkatkan akurasi dan kemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial atau DTKS. Selain untuk transparansi, pelibatan masyarakat juga diharapkan bisa menekan potensi bantuan sosial salah sasaran.
DTKS merupakan acuan pemerintah untuk menetapkan sasaran program perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan. Beberapa contohnya adalah Program Keluarga Harapan, Bantuan Sosial Tunai, dan Bantuan Langsung Tunai Bahan Bakar Minyak (BLT BBM), serta Sembako/Bantuan Pangan Nontunai. Bantuan sosial (bansos) pun disalurkan dengan mengacu pada DTKS.
Menteri Sosial Tri Rismaharini pada diskusi ”Political Leadership dalam Perubahan Kebijakan DTKS” mengatakan, masyarakat bisa berpartisipasi dengan memanfaatkan fitur ”Usul” dan ”Sanggah” pada aplikasi Cek Bansos. Aplikasi tersebut dikembangkan Kementerian Sosial.
Penyerahan wewenang pendataan ke daerah rentan terhadap nepotisme. Pemimpin daerah pun bisa jadi salah satu mata rantai kesalahan data.
”Dengan fitur ini, masyarakat yang merasa berhak mendapatkan bantuan tapi tidak mendapatkan (bantuan bisa) mengakses fitur ’Usul’. Atau (masyarakat bisa) memberi informasi bila mengetahui seseorang tidak layak (menerima bantuan) tapi mendapatkan bansos dengan mengakses fitur ’Sanggah’,” kata Risma melalui siaran pers, Jumat (16/12/2022).
Ia menambahkan, Kemensos juga menggunakan teknologi geotagging atau penanda lokasi untuk memverifikasi kelayakan penerima manfaat bansos. Dengan citra satelit, kondisi kesejahteraan penerima manfaat bisa dianalisis secara kasar, misalnya dengan melihat kondisi rumah dan kepemilikan kendaraan.
”Kami menemukan adanya data KPM (keluarga penerima manfaat) yang tidak sesuai. Misalnya, rumahnya cukup bagus dan ada mobilnya. Untuk kasus seperti ini, data tetap kami sampaikan ke daerah untuk ’ditidaklayakkan’,” lanjut Risma.
Ia menambahkan, pemutakhiran data merupakan tugas pemerintah, tetapi partisipasi masyarakat akan memperlancar upaya tersebut. Ia juga mendorong agar pemerintah daerah meningkatkan perannya untuk validasi data di lapangan.
Menurut anggota DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Iskan Qolba Lubis, penyerahan wewenang pendataan ke daerah rentan terhadap nepotisme. Pemimpin daerah pun bisa jadi salah satu mata rantai kesalahan data. Hal ini mesti diwaspadai Kemensos.
Sementara itu, menurut Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah mesti diperkuat ke depan.
Pernah terjadi
Pada pertengahan tahun 2022, Kemensos mencatat bahwa bansos pernah salah sasaran ke aparatur sipil negara (ASN). Nomor induk kependudukan (NIK) para ASN lantas dibekukan sebagai penerima bansos tahun depan.
Sejumlah ASN dan pendamping telah mengembalikan bansos tersebut ke kas negara. Per 28 Juli 2022, ada 64 ASN yang telah menyetor kembali bansos senilai Rp 109 juta, sedangkan 126 pendamping telah mengembalikan Rp 202 juta.
Itu sebabnya pemutakhiran data di DTKS penting. Data yang tidak sesuai dapat membuat bantuan tidak tepat sasaran. Menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dari bansos senilai Rp 120 triliun yang dimandatkan ke Kemensos, persentase penyimpangan dana 2,5 persen. Penyimpangan terjadi karena bansos tidak tepat sasaran (Kompas.id, 28/7/2022).
Anggota BPK, Achsanul Qosasi, sebelumnya mengatakan, ketidaksesuaian data di DTKS bisa terjadi jika daerah terlambat memasukkan data terbaru. Ketidaksesuaian data juga bisa terjadi karena NIK penerima manfaat tidak valid, duplikasi data, penerima manfaat pindah, atau lokasi penerima manfaat tidak ditemukan.