Orang dengan gangguan jiwa memiliki hak yang sama dengan warga negara lain. Pemasungan dinilai melanggar hak tersebut.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KLUNGKUNG, KOMPAS — Sebanyak 51 orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ di sejumlah daerah dibebaskan dari pasung pada Desember 2022. Pembebasan dilakukan untuk mendorong kesetaraan hak penyandang disabilitas. Pemasungan pun diharapkan tidak terjadi lagi karena melanggar hak asasi manusia.
Pembebasan dilakukan oleh 31 sentra rehabilitasi sosial di bawah Kementerian Sosial. Pada 2021, Kemensos membebaskan sekitar 4.700 orang yang dipasung. Adapun pemerintah menargetkan Indonesia bebas pasung pada 2019. Namun, target yang ditetapkan pada 2014 ini tidak tercapai.
Menteri Sosial Tris Rismaharini mengatakan, salah satu kendala eliminasi pasung adalah stigma negatif dari masyarakat. Sebagian ODGJ dinilai mengganggu atau membahayakan masyarakat sehingga dipasung.
”Faktor kedua adalah ketidakmengertian (masyarakat) karena sebetulnya ini seperti penyakit lain yang bisa diobati,” kata Risma di Kabupaten Klungkung, Bali, Selasa (20/12/2022), pada peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) dan Hari Disabilitas Internasional (HDI). HKSN diperingati setiap 20 Desember, sementara HDI pada 3 Desember.
Ia menambahkan, pemasungan merampas hak ODGJ yang juga penyandang disabilitas mental. Agar dapat pulih, ODGJ mesti mendapat pengobatan secara rutin. Mereka juga butuh perawatan dan perlakuan yang setara dengan pasien penyakit lain.
ODGJ juga kerap ditelantarkan oleh keluarga. Beberapa pihak beralasan mereka tidak punya biaya untuk merawat anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. Masyarakat diminta melapor kepada pemerintah daerah jika butuh bantuan. Laporan juga bisa disampaikan ke Command Center Kemensos di nomor 171.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, proporsi rumah tangga yang memiliki anggota dengan gangguan jiwa berat sebanyak 7 persen. Dari jumlah ini, cakupan pengobatan bagi ODGJ berat termasuk rendah. Sekitar 15 persen ODGJ berat tercatat tidak berobat.
Dari 85 persen yang berobat, 51 persen tidak minum obat secara rutin. Beberapa alasannya ialah tidak mampu rutin membeli obat, merasa dosis obat tidak sesuai, dan merasa sudah sehat.
Adapun pembebasan ODGJ dari pasung tidak hanya untuk mengembalikan hak mereka. ODGJ juga diharapkan pulih dan memiliki akses terhadap kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.
”(Mereka) Dipasung di ruangan yang menurut saya tidak manusiawi. Itu tidak boleh terjadi lagi,” ujar Risma.
Agar dapat pulih, ODGJ mesti mendapat pengobatan secara rutin. Mereka juga butuh perawatan dan perlakuan yang setara dengan pasien penyakit lain.
Ketua Psikiatri RSUD dr M Soewandhie, Surabaya, Agung Setiawan mengatakan, seseorang dapat dikatakan mengalami disabilitas psikososial jika memenuhi tiga syarat. Pertama, mengalami kekacauan pikiran, perasaan tidak wajar (seperti sedih ekstrem berkepanjangan), dan perilaku yang tidak biasa.
Kedua, stres. Ketiga, adanya distres atau gangguan yang menurunkan kualitas hidup seseorang. ”Jika memenuhi tiga aspek ini, maka seseorang mengalami gangguan atau disabilitas psikososial dan butuh bantuan psikiater,” kata Agung pada diskusi Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS), Oktober 2022.
Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kemensos Pepen Nazaruddin menambahkan, HDI tahun ini merupakan momentum untuk mewujudkan hak-hak disabilitas. Selain pembebasan dari pasung, sejumlah penyandang disabilitas juga diberi bantuan berupa, antara lain, alat penuntun adaptif, alat bantu dengar, kursi roda, alat bantu jalan (walker), motor roda tiga, hingga kaki dan tangan palsu.
”Acara ini juga menjadi upaya menegaskan kembali komitmen menciptakan pembangunan inklusif bagi penyandang disabilitas. Ini demi mendukung terciptanya dunia yang aksesibel dan setara,” kata Pepen secara tertulis.