Jurnalisme sebagai Jembatan Perdamaian
Menulis atau menyampaikan berita sesungguhnya adalah sebuah laku moral. Laku moral itulah yang membedakan wartawan dengan pencerita lainnya.
Si vis pacem, para bellum...
(Jika Anda menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang...).
Pepatah dalam bahasa Latin itu terpampang jelas pada relief pintu masuk Centro Cultural de los Ejércitos atau Pusat Kebudayaan Angkatan Bersenjata di Madrid, Spanyol. Belum ada catatan tentang penulis atau pembuat pepatah itu hingga kini.
Dalam berbagai catatan, pemikiran tentang perang sebagai ”jalan” mewujudkan perdamaian itu ada sejak sekitar tahun 370 Sebelum Masehi. Namun, ide yang serupa dituliskan penulis masa akhir Kekaisaran Romawi, Publius Flavius Vegetius Renatus, dalam bukunya, De Re Militari atau Epitoma Rei Militaris, yang berarti lambang militer, dengan kalimat yang berbeda, ”Qui desiderat pacem, bellum praeparat.” Siapa pun yang menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang.
Dalam sejarah manusia, memang banyak peperangan yang diakhiri dengan perdamaian, selain penaklukan. Bahkan, kolonialisme yang dikembangkan sejumlah negara Eropa pada masa lalu pun diyakini sebagai cara untuk menciptakan perdamaian dunia meskipun melalui penaklukan negeri lain dalam kekuasaannya. Namun, ada pula perdamaian yang terwujud karena kesadaran manusia tak bisa hidup sendiri, tetapi harus dengan sesamanya secara harmonis dan damai.
Walaupun demikian, perang sampai kini masih saja terjadi. Perdamaian terus diupayakan oleh banyak pihak, terkadang juga melibatkan mereka yang bertikai. Namun, tak jarang pihak yang berperang tidak bersedia berdamai dengan berbagai alasan, terutama untuk kepentingannya semata. Sejumlah negara di dunia ini masih terlibat dalam konflik dengan sesamanya, dan yang terakhir pada tahun ini adalah serbuan militer Rusia ke Ukraina pada Februari lalu, memecah perang dan hingga kini belum selesai.
Banyak negara mengupayakan pengakhiran perang di Ukraina. Namun, tak sedikit pula yang justru seperti menyiramkan minyak pada api yang menyala. Dan, pada Desember ini, saat sebagian manusia di Bumi merayakan hari Natal, yang lekat dengan seruan damai dan sejahtera, permintaan untuk diakhirinya perang di Ukraina dan sejumlah negara pun berkumandang kembali.
Pemimpin umat Katolik di dunia, yang juga dianggap sebagai tokoh perdamaian, Paus Fransiskus, pun pada misa Natal, Minggu (25/12/2022), dari balkon Basilika Santo Petrus, Vatikan, kembali menyerukan agar perang di Ukraina diakhiri. Dalam pesan dan berkatnya—Urbi et Orbi, Untuk Kota (Roma) dan Dunia—Paus mendesak diakhirinya penggunaan ”makanan sebagai senjata” perang pula. Perang menempatkan banyak orang dalam risiko kelaparan dan dampaknya sangat dirasakan di wilayah Afrika hingga Afghanistan (Kompas, 26/12/2022).
”Kita tahu setiap perang menyebabkan kelaparan dan mengeksploitasi makanan sebagai senjata, menghalangi distribusinya kepada orang-orang yang sudah menderita. Pada hari ini, mari kita belajar dari Raja Damai (Kristus) dan dimulai dari mereka yang memegang tanggung jawab politik, berkomitmen untuk menggunakan makanan semata-mata sebagai alat perdamaian,” kata Paus Fransiskus.
Seruan Paus agar warga dunia mengupayakan perdamaian dan pentingnya pangan bagi sesama bukan kali ini saja disampaikannya. Dalam pesan Natal tahun lalu pun ia menegaskan pesan perdamaian dan kepedulian kepada mereka yang terpinggirkan. Gerakan solidaritas dan berbagi, terutama untuk mereka yang tersisih, terutama saat pandemi Covid-19 mencengkeram dunia, perlu digelorakan dan diwujudkan sehingga semakin banyak lagi manusia selamat.
Paus Fransiskus terus menyerukan perdamaian. Ia menegaskan, perdamaian tidak mungkin dicapai dari sebuah perang, tetapi dari kesejahteraan, cinta kasih, bela rasa, berbagi, peduli kepada sesama dengan tanpa memandang latar belakang dan perbedaan. Perdamaian lebih baik daripada sekadar perang (pax melior est quam iustissimum bellum).
Sekitar tujuh tahun lalu, Paus mengubah pepatah si vis pacem para bellum menjadi si vis pacem para panem (jika menginginkan perdamaian, siapkanlah roti). Kesejahteraan dan kesediaan manusia untuk berbagi dengan sesamanya adalah inti dari peringatan 50 Tahun Dokumen Konsili Vatikan II Nostra Aetate (Pada Zaman Kita), yang dikeluarkan Paus Paulus VI pada 28 Oktober 1965.
Sekretaris Negara Vatikan Kardinal Pietro Parolin, pertengahan November lalu, dalam pertemuan dengan sejumlah wartawan asal Indonesia, menegaskan, Takhta Suci Vatikan terus memperjuangkan perdamaian dunia, termasuk antara Ukraina dan Rusia. Namun, sebenarnya tidak hanya kedua negara itu yang terlibat konflik saat ini. Masih banyak lagi negara atau komunitas di dunia ini yang terlibat konflik dan dipinggirkan. Dan, belum ada tanda-tanda pengakhiran konflik itu terjadi.
”Ini amat memprihatinkan,” kata Kardinal Parolin kepada delegasi wartawan yang dipimpin wartawan Mayong Surya Laksono dan AM Putut Prabantoro. Dalam upaya mewujudkan perdamaian dunia itu, pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Paus Fransiskus dan Sheikh Ahmad al-Tayyeb, Imam Besar Al Azhar, menerbitkan dokumen Abu Dhabi tentang ”Human Fraternity for World Peace and Living Together” atau persaudaraan manusia untuk perdamaian dunia dan kehidupan bersama. Namun, konflik masih saja terjadi di dunia ini.
Peran jurnalisme
Putut, yang juga pendiri Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia (PWKI), menyebutkan, jurnalis bisa berperan mewujudkan perdamaian dunia itu, antara lain melalui laporannya yang menggambarkan persaudaraan manusia dan pentingnya berbagi, terutama dalam situasi dunia yang dilanda krisis.
Baca juga: Jurnalisme Keberagaman Mendorong Perdamaian
Presiden Amerika Serikat (1961-1963) John Fitzgerald Kennedy mengingatkan, ”Peace is a daily, a weekly, a monthly process, gradually changing opinions, slowly eroding old barriers, quietly building new structures.” Perdamaian merupakan proses harian, mingguan, bulanan, secara bertahap mengubah pendapat, perlahan mengikis penghalang lama, diam-diam membangun struktur baru. Dan, salah satu elemen penting dalam masyarakat yang bisa membangun opini publik membentuk struktur baru dalam masyarakat adalah media massa. Media menjadi wahana hidup jurnalisme.
Mayong menambahkan, peran wartawan untuk turut mewujudkan perdamaian dunia adalah sejalan dengan amanat Pembukaan UUD 1945, selain mengikuti Dokumen Abu Dhabi 2019. Setiap warga negara Indonesia harus terlibat dalam mewujudkan perdamaian dunia.
”Wartawan atau media memiliki kekuatan untuk membangun dan mewujudkan perdamaian. Tugas pokok media atau jurnalis adalah memberitakan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Tidak peduli apa pun latar belakangnya. Itu tugas wartawan,” papar anggota Dewan Pengawas Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara tersebut.
Namun, Kardinal Parolin juga prihatin sebab tak sedikit jurnalis di dunia ini yang seharusnya mendukung perdamaian justru membuat kekacauan dengan berita negatif. Media tempat mereka bekerja pun menerbitkan berita bohong, hoaks, atau berita yang direkayasa untuk kepentingan sesaat yang justru menimbulkan konflik dan menjauhkan dari perdamaian.
Keprihatinan yang sama disampaikan Kardinal Miguel Ángel Ayuso Guixot, Presiden Dikasteri (Kantor Kepausan) untuk Dialog Antarumat Beragama, November lalu, saat menerima delegasi wartawan Indonesia. Ia mendorong jurnalis di seluruh dunia untuk terus menyuarakan perdamaian dunia, membangun jembatan bagi sesama manusia untuk bisa berdialog, dan mewujudkan persaudaraan antarmanusia.
Persaudaraan itu menjadi awal dari perdamaian, seperti yang terungkap dalam ”Bahrain Forum for Dialogue: East and West for Human Coexistence”, November 2022, yang menyimpulkan pentingnya antar-agama untuk mendorong persaudaraan manusia dan perdamaian, yang kini terkoyak oleh konflik dan perang.
Kardinal Parolin mengakui, situasi di Indonesia atau Asia yang beragam memang tidak mudah untuk melahirkan dialog dan perdamaian. Namun, jembatan persaudaraan itu harus terus dibangun, antara lain melalui peran jurnalis, yang bisa membangun gagasan dalam masyarakat, dan menghasilkan dialog antarwarga.
Baca juga: Tahun Pertaruhan Jurnalisme
Menurut Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo kepada delegasi wartawan Indonesia pada November lalu, Dokumen Abu Dhabi belum dipahami dan dilaksanakan dengan sepenuhnya di kawasan. Ia juga mendukung siapa pun di negeri ini yang ingin terus menggelorakan semangat persaudaraan antarmanusia dan perdamaian dunia, termasuk oleh wartawan melalui laporan yang dipublikasikannya.
Realitas di lapangan di Asia saja potensi konflik dengan berbagai macam alasan dan kepentingan masing-masing negara masih nyata. Di Asia Tenggara masih ada persoalan di Myanmar. ”Di antara negara yang hadir dalam pertemuan para Uskup se-Asia Tenggara, Myanmar yang paling berat masalahnya. Rezim militer tak ada diskusi apa pun. Ini keprihatinan kita semua,” kata Kardinal Suharyo.
Dalam situasi dunia saat ini, harus ada suara hati yang tak lelah mengingatkan pentingnya kemanusiaan dan perdamaian. Jurnalis dapat menyuarakannya. Dalam pengantar buku tentang elemen jurnalisme (2003), wartawan Goenawan Mohamad mengingatkan, ”Menulis atau menyampaikan berita sesungguhnya adalah sebuah laku moral. Laku moral itulah yang membedakan wartawan dengan pencerita lainnya.”
Pendiri harian Kompas, Jakob Oetama, menegaskan, ”Merumuskan berita (fakta dan kebenaran) yang ditulis seorang wartawan seharusnya tetap disandarkan pada nilai kemanusiaan.” Keinginan tertinggi manusia adalah hidup damai....