Pengasuh orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) bekerja dengan berbagai risiko. Mereka butuh dukungan masyarakat agar ODGJ bisa lekas pulih, antara lain, dengan tidak mendiskriminasi ODGJ.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengasuh orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ memiliki beban kerja yang berat sehingga berisiko mengalami burnout. Dukungan dari keluarga hingga masyarakat pun dibutuhkan, baik untuk membantu pengasuh maupun untuk pemulihan ODGJ.
”Caregiver (pengasuh) pun juga bisa burnout. Jadi, jangan hanya melihat ODGJ. Yang merawat (ODGJ) pun bisa jadi sangat butuh pendampingan, baik dari relawan, pemerhati (kesehatan jiwa), maupun kader (kesehatan),” ucap Ketua Asosiasi Psikologi Kesehatan Indonesia 2018-2022 Eunike Sri Tyas Suci saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (5/1/2023).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), burnout disebabkan oleh stres kronis di tempat kerja yang gagal dikelola. Burnout ditandai dengan kelelahan atau perasaan kehabisan energi, menurunnya efikasi profesional, serta meningkatnya jarak mental dari pekerjaan atau perasaan negatif terhadap pekerjaan.
Eunike mengatakan, ODGJ butuh perawatan jangka panjang. Selama itu, pengasuh berisiko terluka jika ODGJ yang diasuh sedang dalam kondisi tidak stabil, misalnya saat ODGJ berhalusinasi. Hal ini membuat pengasuh mesti terus siaga.
”Ini sebabnya pemasungan sering terjadi. Sebagian keluarga memasung (ODGJ) untuk keamanan ODGJ, keluarga, dan lingkungan,” ucap Eunike.
Adapun Kementerian Sosial membebaskan 51 ODGJ dari pasung pada Desember 2022 dalam rangka Hari Disabilitas Internasional. Sebelumnya pada 2021, Kemensos membebaskan sekitar 4.700 orang yang dipasung.
”Ada stigma, bahkan dari keluarga terdekat, bahwa mereka (ODGJ) tidak pantas diperlihatkan. Karena itu, tugas kita adalah bagaimana mereka bisa bebas dari pasung,” kata Menteri Sosial Tri Rismaharini, Jumat (30/12/2022).
Di sisi lain, sebagian pengasuh menanggung beban ekonomi ganda untuk menghidupi diri sendiri, anggota keluarga lain, dan ODGJ. Sebelumnya, Kementerian Kesehatan mencatat kerugian ekonomi akibat gangguan jiwa mencapai Rp 20 triliun. Kerugian itu mencakup hilangnya produktivitas serta beban ekonomi dan biaya kesehatan yang ditanggung negara dan keluarga. Padahal, pengobatan ODGJ dapat berlangsung seumur hidup (Kompas, 11/2/2012).
Di sisi lain, stigma negatif publik terhadap ODGJ juga dapat dirasakan pengasuh. Tantangan-tantangan ini tidak hanya membuat pengasuh rentan burnout, tetapi juga dapat menghambat pengasuhan. Pemahaman publik soal kesehatan jiwa pun penting untuk mengurangi stigma. Dengan stigma tersebut, ODGJ rentan didiskriminasi.
”Masalahnya, literasi di masyarakat masih rendah, termasuk literasi soal kesehatan jiwa. Penting untuk diketahui bahwa gangguan jiwa bisa diobati dan obatnya tersedia di puskesmas. Obat ini juga bisa diakses dengan BPJS Kesehatan,” kata Eunike.
Menyembunyikan ODGJ tidak menyelesaikan masalah. Hal ini bisa membuat ODGJ tidak tercatat di dokumen kependudukan sehingga tidak bisa mengakses layanan kesehatan.
Sebelumnya, Ketua Komisi Nasional Disabilitas Dante Rigmalia mengatakan, disabilitas masih dianggap sebagian orang sebagai dosa keluarga atau kutukan. Stigma negatif pun menempel ke penyandang disabilitas, termasuk penyandang disabilitas psikososial atau ODGJ. Beberapa keluarga akhirnya menyembunyikan anggota keluarganya yang difabel.
Padahal, menyembunyikan ODGJ tidak menyelesaikan masalah. Hal ini bisa membuat ODGJ tidak tercatat di dokumen kependudukan sehingga tidak bisa mengakses layanan kesehatan. Padahal, ODGJ butuh mengonsumsi obat secara reguler agar perilakunya dapat dikelola.
Dengan pemahaman tentang gangguan jiwa, publik diharapkan dapat menerima ODGJ. Penerimaan dari lingkungan sekitar diyakini mendorong ODGJ pulih lebih cepat. Pulih yang dimaksud adalah ODGJ dapat melaksanakan peran sosialnya di masyarakat.
Di sisi lain, edukasi kesehatan jiwa pun penting agar masyarakat siap menerima ODGJ yang telah menjalani rehabilitasi. Dengan ini, masyarakat dapat memperlakukan ODGJ yang telah selesai rehabilitasi sebagai anggota masyarakat biasa. Potensi diskriminasi pun dapat ditekan.