Satelit mati milik Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat, Earth Radiation Budget Satellite, akan jatuh dan memasuki kembali atmosfer Bumi pada Senin (9/1/2023) pagi waktu Indonesia.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
Satelit mati milik Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat akan jatuh ke bumi pada Minggu (8/1/2023) malam waktu AS atau Senin (9/1/2023) pagi waktu Indonesia. Meski peluang benda tersebut jatuh menimpa manusia hanya 1 banding 9.400 atau 0,01 persen, peristiwa itu menunjukkan rentannya bumi terhadap sampah antariksa.
Bekas satelit Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) yang akan jatuh itu adalah Earth Radiation Budget Satellite (ERBS) dengan bobot 2.450 kilogram. Departemen Pertahanan AS memperkirakan satelit itu akan kembali memasuki atmosfer bumi pada Minggu pukul 18.40 waktu pantai timur AS atau Senin pukul 06.40 WIB dengan rentang ketidakpastian lebih kurang 17 jam.
”Sebagian besar bagian satelit itu diperkirakan akan terbakar di udara saat bergerak melintasi atmosfer bumi, tetapi beberapa komponen satelit diprediksi tidak akan habis terbakar. Risiko bagian satelit yang tidak habis terbakar itu jatuh menimpa seseorang di bumi sangat rendah, sekitar 1 banding 9.400,” ungkap pejabat NASA pada Jumat (6/1) malam, seperti dikutip Space.
Namun, dari perhitungan di situs penjejak satelit Satview pada Kamis (5/1) tengah malam waktu Indonesia, sampah antariksa satelit ERBS itu baru akan memasuki atmosfer bumi pada Rabu (11/1) pukul 22.18 waktu universal atau Kamis (12/1) pukul 05.18 WIB dengan rentang ketidakpastian kurang lebih 8 jam. Sampah antariksa ini akan memasuki atmosfer bumi di atas wilayah Australia dan terus bergerak ke Samudra Pasifik bagian utara.
Prediksi berbeda diunggah Aerospace Corporation, perusahaan antariksa yang sering membuat prediksi masuknya kembali sampah antariksa ke bumi. Dari perhitungan mereka pada Jumat (6/1), bekas satelit ERBS akan masuk kembali ke bumi pada Senin (9/1) pukul 03.49 waktu universal atau pukul 10.49 WIB dengan waktu ketidakpastian lebih kurang 13 jam. ERBS diprediksi memasuki atmosfer bumi di atas Laut China Timur.
Beragamnya prediksi waktu jatuhnya ERBS merupakan hal yang wajar karena dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama. Semakin sempit jeda waktu antara prediksi dilakukan dan waktu masuk kembalinya sampah antariksa itu ke Bumi, prediksinya akan semakin akurat.
ERBS diluncurkan pada 5 Oktober 1984 sebagai bagian dari eksperimen untuk mempelajari radiasi bumi. Misi ini mengirimkan tiga satelit ke orbit rendah bumi pada ketinggian antara 572 kilometer dan 599 kilometer dari Bumi. Ketiga satelit itu diluncurkan menggunakan pesawat ulang-alik Challenger. Mereka dirancang hanya beroperasi selama dua tahun, tetapi kenyataannya satelit itu masih bekerja hingga 2005.
Sebagian besar bagian satelit itu diperkirakan akan terbakar di udara saat bergerak melintasi atmosfer bumi, tetapi beberapa komponen satelit diprediksi tidak akan habis terbakar.
Satelit-satelit ERBS memiliki tiga instrumen ilmiah. Sebanyak dua instrumen digunakan untuk mempelajari bujet energi di atmosfer bumi, yaitu keseimbangan antara jumlah energi Matahari yang diserap dan dipancarkan kembali oleh bumi. Keseimbangan energi ini penting untuk memahami kondisi iklim serta memprediksi pola cuaca.
Sementara satu instrumen yang lain, seperti dikutip dari situs NASA, Sabtu (7/1), digunakan untuk mempelajari ketebalan lapisan ozon di stratosfer atau atmosfer bagian atas. Pemantauan lapisan ozon penting untuk menjaga kehidupan bumi dari radiasi sinar ultraviolet yang merusak.
Selain itu, instrumen ini digunakan untuk mengukur kandungan uap air, nitrogen dioksida, dan aerosol di atmosfer bumi. Pengukuran aerosol dan gas-gas di stratosfer itu untuk memastikan besaran penurunan ketebalan lapisan ozon dalam skala global. Data dari ERBS ini yang digunakan untuk membuat Protokol Montreal, yaitu perjanjian internasional untuk menurunkan penggunaan gas klorofluorokarbon yang bisa merusak ozon.
Setelah bertugas 21 tahun atau lebih dari 10 kali lipat dari waktu kerja yang direncakanan, satelit ERBS akhirnya mati. Kondisi ini membuat ERBS akhirnya menjadi bongkahan sampah luar angkasa yang besar dan kuat. Namun, gaya tarik atau drag atmosfer bumi secara bertahap membuat sampah itu semakin turun hingga akhirnya masuk kembali ke atmosfer bumi.
Lebih jelas
Proses masuknya kembali ke atmsofer bumi pada benda-benda yang diluncurkan dari bumi ke luar angkasa sering terjadi. Potensi masuknya kembali benda-benda tersebut akan makin besar apabila benda tersebut diletakkan di orbit rendah bumi atau pada ketinggian kurang dari 1.000 kilometer dari bumi. Pada jarak tersebut, gaya tarik atmosfer bumi masih cukup besar.
Pada 2022, dua inti roket Long March 5B milik China dengan bobot masing-masing sekitar 21 metrik ton juga jatuh kembali ke bumi, yaitu pada Juli dan November. Roket peluncur itu jatuh bebas alias tidak terkendali setelah meluncurkan modul baru untuk stasiun luar angkasa China, Tiangong, yang sedang dalam proses pembangunan.
Repotnya, informasi yang disampaikan China terkait proses jatuhnya kedua bekas roket itu sangat terbatas. Akibatnya, sejumlah lembaga penjejak sampah antariksa ataupun pemantau obyek-obyek di dekat bumi yang berpotensi membahayakan bumi harus menyisir langit dan memprediksi kapan dan di mana benda itu akan memasuki atmosfer bumi.
Kondisi itu mengundang keprihatinan dan protes dari sebagian besar komunitas luar angkasa. Seharusnya, roket yang telah diluncurkan dirancang untuk jatuh secara terkendali, jatuh pada tempat di permukaan bumi yang tidak memiliki banyak populasi. Proses pengendalian jatuhan sampah antariksa itu merupakan teknik yang umum untuk meminimalkan risiko jatuhnya korban.
Seiring makin banyaknya satelit diluncurkan, potensi jatuhnya sampah antariksa akan semakin besar. Karena itu, kehati-hatian setiap negara dan lembaga antariksa yang mengirimkan wahana ke luar angkasa diperlukan demi mengurangi risiko membahayakan saat obyek-obyek tersebut jatuh kembali ke bumi.
Demikian pula lembaga pemantau sampah antariksa di setiap negara, seperti Indonesia. Wilayah Indonesia yang ada di Khatulistiwa membuat potensi jatuhnya sampah tersebut di Indonesia sangat besar. Berbagai temuan sampah antariksa juga membuktikan besarnya risiko tersebut.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) atau dulu Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) telah memiliki sistem yang memantau potensi jatuhnya sampah antariksa tersebut. Namun, masyarakat yang menemukan sampah antariksa pun bisa melaporkan temuan tersebut ke kepolisian terdekat yang nantinya akan bekerja sama dengan peneliti BRIN untuk memastikan keamanan sampah antariksa tersebut.