Cegah dan Antisipasi Berbagai Risiko Penyakit Zoonosis di Masa Depan
Meredanya pandemi Covid-19 tidak serta-merta menghilangkan potensi penyakit lainnya untuk mewabah, khususnya zoonosis di masa depan. Langkah pencegahan penting untuk mempersiapkan diri di masa mendatang.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 diharapkan membuka wawasan masyarakat terhadap penyakit yang berpotensi merebak dan mewabah secara luas di masa depan. Potensi terbesarnya dari zoonosis atau penyebaran penyakit dari hewan ke manusia. Untuk itu diperlukan langkah preventif dalam upaya mencegah berbagai potensi penyakit di masa mendatang.
Pendekatan penanggulangannya memerlukan integrasi dari aspek lingkungan, hewan, dan manusia. Sistem One Health memadukan konsep kesehatan dari berbagai aspek diharapkan dapat menjadi solusi menghadapi berbagai potensi penyakit.
Country National Veterinary Advisor Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases pada Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO ECTAD) Farida Camallia Zenal menyebutkan, sejak 2021 Indonesia memprioritaskan penanganan enam jenis zoonosis, di antaranya flu burung, coronavirus, rabies, antraks, leptospirosis, dan zoonotic tuberkulosis.
”Penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan cairan dari hewan yang menempel, proses pengolahan daging, darah, dan lainnya,” ujar Farida dalam diskusi One Health: Rencana Jitu Melawan Penyakit di Masa Depan di Jakarta, Sabtu (7/1/2023).
Sejumlah penyakit zoonosis itu bahkan masih minim riset, penelitian, dan pemahaman masyarakatnya, seperti zoonotic tuberkulosis. Perhatian dunia, kata Farida, terhadap potensi penyakit itu masih minim. Padahal, tuberkulosis juga dapat disebabkan oleh Mycobacterium bovis. Selain itu, penyakit leptospirosis sering kali muncul dan merebak pada wilayah yang rawan banjir.
Perwakilan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Syafrison Idris mengatakan, perilaku manusia memegang peran penting dalam penyebaran virus atau bakteri zoonosis. Dia mencontohkan perburuan dan pengolahan hewan secara tidak higienis memperbesar potensi zoonosis.
Penggunaan antibiotik harus sesuai dosisnya. Mengingat Indonesia masih rentan terhadap patogen seperti bakteri, virus, dan parasit, yang memerlukan antibiotik untuk menanganinya.
”Pola konsumsi masyarakat yang wajar-wajar saja, tidak perlu makan hal-hal yang ekstrem. Misalnya pembuat konten yang ingin viral dengan makan sushi monyet. Jangan main-main seperti itu,” ucapnya.
Perilaku tersebut dapat memicu bencana penyakit baru yang lebih parah dari Covid-19. Dia menambahkan, penyakit zoonosis di Indonesia masih banyak dan tidak perlu ditambah jumlahnya.
Pandemi senyap
Selain potensi zoonosis di masa mendatang, resistensi antibiotik (AMR) yang biasa disebut dengan pandemi senyap semakin parah setiap tahunnya. Selain potensi zoonosis di masa mendatang, resistensi antibiotik (AMR) yang biasa disebut dengan pandemi senyap semakin parah setiap tahunnya. Laporan jurnal The Lancet, Rabu (19/1/2022), mencatat setidaknya ada 4,95 juta orang meninggal pada 2019 karena penyakit yang disebabkan resistensi antimikroba dan 1,27 juta kematian sebagai akibat langsung infeksi (Kompas.id, 21/1/2022).
Peneliti senior Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) Lab, Ariel Pradipta, mengatakan, penggunaan antibiotik berlebihan dapat menyebabkan bakteri semakin resisten terhadap antibiotik sehingga tidak mempan untuk diobati. Ini karena bakteri selalu berkembang setiap interaksi dengan antibiotik.
”Penggunaan antibiotik ini harus sesuai dosisnya, mengingat Indonesia masih rentan terhadap patogen seperti bakteri, virus, dan parasit, yang memerlukan antibiotik untuk menanganinya,” katanya.
Untuk menghadapi AMR, hal utama perlu peningkatan kesadaran masyarakat bahwa obat untuk penyakit itu tidak sepenuhnya sama. Hal selanjutnya adalah meminum obat sesuai dosis dan anjuran dokter. Dia mencontohkan, ketika dokter meminta antibiotik dihabiskan dalam waktu dua bulan, harus dilakukan sesuai anjurannya.
”Jadi, ketika sudah sembuh terus berhenti diminum antibiotiknya itu berbahaya," ujarnya.