Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dinilai masih mengungkap ”puncak gunung es”. Masih banyak kasus lain yang belum terungkap. Walakin, laporan itu dapat menjadi bahan evaluasi ke depan.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyatakan kekerasan pada anak sudah masuk dalam tahap darurat dan mengkhawatirkan. Kondisi ini dipicu faktor kompleksitas kekerasan pada anak yang semakin meningkat. Keterlibatan semua pihak semakin krusial perannya dalam upaya penindakan dan pencegahan.
Merujuk data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terdapat 4.683 aduan sepanjang tahun 2022. Dari jumlah itu, sebanyak 2.113 aduan terkait perlindungan khusus anak, sebanyak 1.960 aduan terkait lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, 429 aduan terkait sektor pendidikan dan budaya, 120 aduan terkait sektor kesehatan dan kesejahteraan, serta 41 aduan terkait pelanggaran hak kebebasan anak.
Sebanyak 65,2 persen aduan berasal dari 10 provinsi. Jawa Barat menempati jumlah pelanggaran terbanyak (929 kasus), diikuti DKI Jakarta (769 kasus), Jawa Timur (345 kasus), Banten (312 kasus), Jawa Tengah (286 kasus), Sumatera Utara (197 kasus), Sumatera Selatan (62 kasus), Sulawesi Selatan (54 kasus), Lampung (53 kasus), dan Bali (49 kasus).
Ketua KPAI Ai Maryati Solihah dalam konferensi pers Laporan Akhir Tahun dan Catatan Hasil Pengawasan KPAI Tahun 2022, Jumat (20/1/2023) di Jakarta, mengatakan, kluster perlindungan khusus anak sangat dominan dan jenis kasus tertingginya adalah anak menjadi korban kejahatan seksual dengan 834 kasus. Hal ini mengindikasikan anak masih rentan menjadi korban tanpa melihat latar belakang, situasi, dan lokasi.
”Kekerasan seksual ini terjadi di ruang lingkup domestik dan lembaga pendidikan, baik yang berbasis agama maupun umum,” ujarnya.
Pada kekerasan fisik dan psikis, KPAI mencatat ada 502 kasus anak menjadi korban. Latar belakangnya, kata Ai, adalah pengaruh negatif dari perkembangan teknologi informasi yang masif, lingkungan sosial yang permisif, lemahnya kualitas pengasuhan, kemiskinan keluarga, tingginya pengangguran, hingga kondisi lingkungan yang tidak ramah anak.
Pengaduan yang diterima KPAI baru mengungkap ’puncak gunung es’ kasus kekerasan pada anak. Masih banyak kasus lain yang tidak terlaporkan dan tercatat.
Selain itu, kini kompleksitas kekerasan pada anak semakin meningkat dan beragam. Ai mencontohkan kasus penculikan anak yang bertujuan untuk menjual organ yang berakhir dengan membunuh korban. Ada juga kasus kekerasan seksual oleh anak pada anak lainnya. Hal ini membutuhkan kontribusi semua pihak, tidak hanya dalam proses hukum, tetapi juga upaya pencegahannya.
Wakil Ketua KPAI Jasra Putra menambahkan, sejumlah rekomendasi diberikan pada setiap elemen, baik pemerintahan maupun lembaga kemasyarakatan. Fokusnya adalah pada pencegahan ke depan, mulai dari sektor pendidikan, kebijakan, tata laksana, hingga pendanaan.
”Segala hal ini diterapkan semua jalur yang berhubungan dengan anak. Semuanya harus ramah anak untuk menekan angka kekerasan anak dan hal-hal lain yang melibatkan anak dalam proses interaksinya,” ucap Jasra.
”Puncak gunung es”
Kondisi darurat ini juga tecermin pada awal tahun 2023. Berbagai kasus kekerasan pada anak kembali mencuat ke permukaan. Contohnya kekerasan dalam rumah tangga seorang ayah terhadap anaknya, penculikan seorang anak di Jakarta, serta pemerkosaan anak di Brebes (Jawa Tengah) dan di Bogor (Jawa Barat). Bahkan, anak korban pemerkosaan berusia 12 tahun di Binjai, Sumatera Utara, kini telah mengandung delapan bulan.
Secara terpisah, Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Ciput Eka Purwianti menyebutkan, pengaduan yang diterima KPAI baru mengungkap ”puncak gunung es” kasus kekerasan pada anak. Masih banyak kasus lain yang tidak terlaporkan dan tercatat.
Merujuk data Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja 2021 oleh Kementerian PPPA dan Badan Pusat Statistik, setidaknya 23 persen laki-laki dan 27 persen perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami minimal satu kekerasan atau lebih pada masa pandemi Covid-19.
”Jika data ini dipadukan dengan jumlah anak Indonesia yang sebanyak 30 persen dari total penduduk, jumlah anak korban kekerasan sangat banyak. Bahkan, 45 persen dari kasus kekerasan pada anak merupakan kejahatan seksual,” kata Ciput.
Menurut Ciput, penanganan kekerasan seksual akan fokus pada pelaksanaan amanat Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan membuat Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Kedua, membekali setiap UPTD PPA sesuai dengan standar dan kompetensi teknis yang ada. Ini termasuk pelatihan seluruh staf yang tergabung agar mengetahui langkah-langkah penanganannya.
”Terakhir, mempersiapkan fasilitas pendukung dan anggaran yang memadai di setiap daerah. Dalam kasus ini, pemerintah daerah berperan sebagai ujung tombak pencegahan kekerasan seksual pada anak,” tambahnya.
Menurut Head of Programmes UN Women Dwi Yuliawati Faiz, setiap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak perlu mengedepankan prinsip yang berpihak kepada korban. Ini ditunjukkan dengan tindakan yang menjamin hak keselamatan dan kerahasiaan korban.
Dwi menilai, kekerasan pada perempuan dan anak merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang berdampak negatif terhadap kesehatan fisik, mental, kehidupan sosial dan ekonomi. Kondisi saat ini, korban masih kesulitan mendapatkan keadilan, sedangkan pelaku mendapatkan impunitas atau lolos dari konsekuensi hukum.
”Hukuman bagi pelaku penting agar korban mendapatkan keadilan. Selain itu, rehabilitasi pada pelaku juga harus dilakukan agar mereka mengubah perilaku dan cara pandang yang menormalisasi tindak kekerasan,” ujar Dwi.