Siaran langsung yang menampilkan berbagai tindakan tak masuk akal demi mendapat hadiah virtual (”gift”) dinilai tidak etis. Siaran itu dianggap sebagai dehumanisasi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Belakangan publik menyorot siaran langsung atau live streaming yang menampilkan orangtua mandi lumpur dan air di media sosial. Jika audiens memberi gift atau hadiah virtual, orang itu akan menyiram diri dengan segayung air atau lumpur. Beberapa pihak menilai tindakan ini tak ubahnya mengemis daring.
Ada banyak jenis siaran serupa di media sosial. Salah satu siaran langsung di Tiktok pada Senin (23/1/2023), misalnya, menampilkan tiga pemuda yang tampak sehat duduk di kubangan lumpur. Tubuh mereka dilumuri lumpur dari ujung kepala hingga kaki. Sambil duduk, ketiganya membaca tanggapan audiens di kolom komentar dan berinteraksi dengan audiens.
Pemuda yang paling depan memegang gayung. Tugasnya menyiram diri dengan lumpur begitu dapat satu gift dari audiens. Satu gift berarti satu gayung lumpur. Sambil menyiram diri, tiga pemuda itu berkali-kali berkata, ”Thank you. Berkah selalu.”
Audiens juga diajak untuk menyukai (like) siaran mereka dengan mengetuk (tap) layar dua kali. ”20 kali tap-tap layar, kita salto, ya, guys, ya,” kata mereka.
Siaran serupa juga dilakukan seorang kreator konten di sungai. Kreator lainnya membuat siaran di kolam air sejak langit masih terang hingga gelap. Sistem siaran keduanya sama, yakni menyiram diri dengan segayung air setiap kali mendapat gift.
Siaran yang ”lebih aneh” juga bisa ditemukan. Ada yang menampar pipi dengan tangan kosong, menampar dengan sandal jepit, hingga makan ulat yang tampak seperti ulat sagu. Semua itu dilakukan setelah mendapat gift yang kemudian bisa ditukar dengan uang asli.
Menurut sosiolog Universitas Gadjah Mada Derajad S Widhyharto, siaran tersebut adalah perilaku mencari perhatian untuk mendulang keuntungan. Perilaku ini sebetulnya sudah lama ada dan dilakukan di berbagai kesempatan.
Derajad mencontohkan, menyawer biduan saat pentas musik dangdut termasuk contoh mencari perhatian demi keuntungan. Kendati sama-sama mencari perhatian, ia menilai siaran langsung para kreator di Tiktok tidak etis.
”Ini tidak etis karena mereka (kreator konten) tidak punya keterampilan. Berbeda dengan penyanyi dangdut yang punya skill dan dipamerkan, kemudian diapresiasi orang lain dengan nyawer,” katanya. ”(Siaran) ini lebih ke eksploitasi diri. Menurut saya, ini problematik,” tambahnya.
Alih-alih menghibur atau mendidik, berbagai aksi yang ditampilkan selama siaran dinilai sebagai dehumanisasi. Hal ini dikhawatirkan menumpulkan kepekaan publik terhadap nilai kemanusiaan. Siaran itu juga dikhawatirkan menormalisasi kekerasan.
”Menampar diri sendiri seolah-olah martabat manusia rendah sekali. Kita jadi mengenal kekerasan terhadap diri sendiri untuk dapat uang,” katanya.
Alih-alih menghibur atau mendidik, berbagai aksi yang ditampilkan selama siaran dinilai sebagai dehumanisasi.
Walau terjadi di dunia maya, hal ini dapat menimbulkan masalah sosial di dunia nyata. Masyarakat dikhawatirkan terbiasa dengan kapitalisasi tubuh sebagai ”jalan pintas” memperoleh uang. Anak-anak dan remaja pun dikhawatirkan terpengaruh. Belum lagi, sebagian besar pengguna internet di Indonesia adalah orang muda.
Pakar komunikasi digital Universitas Indonesia Firman Kurniawan sebelumnya mengatakan, penggunaan media sosial bisa berkembang seiring perkembangan zaman dan kreativitas penggunanya. ”Mengemis” daring termasuk contoh kreativitas pengguna media sosial.
Untuk merespons ini, pengelola platform digital atau media sosial mesti berperan sebagai penanggung jawab. Mereka mesti rutin memperbarui Panduan Komunitas. Kurasi konten juga mesti dilakukan.
”Platform digital biasanya melakukan uji coba teknis. Namun, uji coba sosial biasanya baru dilakukan ketika platform digunakan banyak orang,” tutur Firman.
Fenomena mengemis daring dinilai berakar dari masalah kemiskinan yang tidak terselesaikan. Menurut Derajad, pemerintah mesti fokus mengentaskan rakyat miskin, bukan sekadar menangani pengemis daring di media sosial.
Mengutip laman Kementerian Sosial, munculnya gelandangan dan pengemis di kota besar merupakan gejala sosial yang disebabkan berbagai faktor, termasuk ekonomi. Jika dikaji lebih dalam, munculnya gelandangan dan pengemis disebabkan faktor subyektif (internal) dan obyektif (eksternal).
Faktor subyektif berkaitan dengan karakter atau kepribadian, seperti sikap pasrah pada nasib, acuh tak acuh, serta tidak peduli pada lingkungan. Adapun faktor obyektif adalah yang memengaruhi individu sehingga terpaksa jadi gelandangan atau pengemis. Di sisi lain, ada juga yang menjadikan gelandangan dan pengemis sebagai profesi.
Kementerian Sosial menerbitkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penertiban Kegiatan Eksploitasi dan/atau Kegiatan Mengemis yang Memanfaatkan Lanjut Usia, Anak, Penyandang Disabilitas, dan/atau Kelompok Rentan Lainnya. Surat yang terbit pada 16 Januari ini meminta pemerintah daerah mencegah dan menindak eksploitasi kelompok rentan untuk mengemis.
”Nanti saya surati (pemerintah daerah), ya. Saya imbau ke daerah. Itu (mengemis daring) memang enggak boleh,” kata Menteri Sosial Tri Rismaharini melalui keterangan tertulis, Rabu (18/1/2023).