Obesitas juga bukan hanya sekadar kelebihan berat badan, melainkan termasuk kelainan atau penyakit. Sebagian masyarakat Indonesia cenderung abai dan tidak melakukan intervensi sebelum obesitas menimbulkan penyakit.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lingkungan obesogenik yang berkembang di kalangan masyarakat modern dapat memperparah kondisi obesitas dan upaya pencegahannya. Kegagalan menekan faktor risiko obesitas berpotensi memicu penyakit kronis yang sulit disembuhkan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2016 melaporkan sebanyak 1,6 miliar penduduk dunia mengalami kegemukan. Dari jumlah itu, sebanyak 650 juta orang di antaranya mengalami obesitas. Merujuk data Riset Kesehatan Dasar 2018, sebanyak 21,8 persen penduduk Indonesia yang berusia 18 tahun ke atas mengalami obesitas.
Dokter spesialis gizi klinik, Tirta Prawita Sari, mengatakan, lingkungan obesogenik–keadaan lingkungan yang mendukung pola hidup tidak sehat–menghambat penderita obesitas sulit menurunkan berat badannya. Hal ini seperti lingkungan yang berisi makanan cepat saji, tidak ada fasilitas publik untuk berolahraga, dan konsumtif.
”Sementara, faktor risiko obesitas yang dapat ditekan seluruhnya bergantung pada lingkungan. Faktor ini di antaranya pola makan, aktivitas fisik, dan perilaku merokok,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Obesitas: Kalau Bisa Diobati Mengapa Harus Dicegah?” secara daring di Jakarta, Jumat (27/1/2023).
Permasalahan obesitas, menurut Tirta, sangat kompleks dan tidak bisa diselesaikan hanya dengan sekadar mengontrol pola makan serta olahraga rutin. Apalagi ketika ditambah faktor lingkungan yang tidak mendukung. Peran masyarakat sekitar dalam menurunkan proporsi lingkungan obesogenik cukup krusial untuk mendukung penderita obesitas kembali normal dan mencegah generasi muda terjerumus.
Kondisi obesitas merupakan pintu gerbang bagi penyakit kronis seperti kanker, diabetes melitus, stroke, dan penyakit jantung. Selain itu, obesitas juga memicu hipertensi, hiperglikemia (kadar gula darah tinggi), dislipidemia (kolestrol). Data Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) pada 2019 menemukan bahwa obesitas bertanggung jawab atas 5,02 juta kematian dan termasuk lima faktor risiko tertinggi penyebab kematian di dunia.
Kondisi obesitas merupakan pintu gerbang bagi penyakit kronis seperti kanker, diabetes melitus, stroke, dan penyakit jantung.
Asisten Deputi Bidang Pembiayaan Manfaat Kesehatan Primer Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Rahmad Asri Ritonga menuturkan, pemahaman bahwa kondisi obesitas itu tidak baik dan merugikan perlu ditanamkan pada masyarakat. Jadi, masyarakat harus saling mengingatkan dan berperan aktif untuk mencegahnya.
”Masyarakat dapat mendeteksi sedini mungkin risiko obesitas melalui skrining kesehatan secara daring dan fasilitas kesehatan tingkat primer,” ujarnya.
Hasil evaluasi Indeks Massa Tubuh (IMT) yang dilakukan di fasilitas kesehatan primer pada 2022, sebesar 33 persen peserta kurus, 14 persen peserta gemuk, 20 persen peserta mengalami obesitas I, 10 persen peserta mengalami obesitas II, dan hanya 23 persen peserta yang memiliki berat badan normal. Data IMT ini diukur melalui perbandingan tinggi dan berat badan seseorang yang disesuaikan dengan usia serta jenis kelamin.
Meskipun demikian, sekarang ini baru orang dengan risiko diabetes melitus, hipertensi, kanker serviks, dan kanker payudara yang dihubungi oleh fasilitas kesehatan untuk pemeriksaan lanjutan. Untuk orang dengan obesitas, layanannya masih direncanakan.
Menurut ahli endokrinologi dari Universitas Gadjah Mada, Bowo Pramono, obesitas ini berbahaya karena yang tersimpan dalam tubuh merupakan kandungan lemak berlebih bukan massa otot. Untuk menekan proporsi lemak dalam tubuh, pola olahraga dan konsumsi makanan bergizi harus seimbang.
”Lemak dan kalori tetap dibutuhkan oleh tubuh, tetapi jumlahnya sedikit. Proporsi aktivitas fisik harus meningkat sejalan dengan konsumsi makanan,” katanya.
Obesitas juga bukan hanya sekadar kelebihan berat badan, tetapi termasuk kelainan atau penyakit. Sebagian masyarakat Indonesia cenderung abai dan tidak melakukan intervensi sebelum obesitas berdampak negatif bagi tubuhnya.