Optimisme eliminasi HIV tahun 2030 membutuhkan kolaborasi seluruh pihak. Kolaborasi itu harus mampu melampaui stigma dan bersifat inklusif bagi seluruh elemen masyarakat.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program penanggulangan HIV telah berlangsung puluhan tahun tetapi belum menunjukkan hasil signifikan. Pemerintah perlu berkolaborasi dan berkomitmen penuh dalam penanganannya. Pelibatan lintas pemerintahan, nonpemerintah, komunitas, dan kaum rentan terinfeksi harus dilakukan untuk mengeliminasi HIV tahun 2030.
Kementerian Kesehatan pada 2022 memperkirakan terdapat 526.841 jiwa orang dengan HIV (ODHIV). Epidemi HIV ini terkonsentrasi pada orang berusia 15 tahun ke atas. Populasi kunci dalam penanganan epidemi HIV, seperti pekerja seks, lelaki seks dengan lelaki (LSL), transjender, pengguna narkoba suntik, dan pembeli seks, diperkirakan 5,54 juta orang.
Ketua Badan Pengurus Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat (YKIS) Irwanto mengatakan, koordinasi saja tidak cukup dalam penanganan HIV. Koordinasi itu perlu ditingkatkan hingga tahap kolaborasi aktif dengan komitmen yang berlandaskan three zero, yakni nol infeksi baru, nol kematian, dan nol diskriminasi.
”Koordinasi yang selalu dilakukan pemerintah itu ibarat orang bermain layangan, benangnya mudah putus dan tak dapat berbuat apa-apa saat itu terjadi,” ujar Irwanto dalam Dialog Mitra bertajuk ”Bagaimana Mencapai Ending AIDS Tahun 2030?” di Jakarta, Selasa (31/1/2023).
Program yang dilakukan pemerintah selama ini cenderung mengikuti arus global dan tidak melihat permasalahan yang ada di Indonesia. Kondisi generasi muda semakin terancam karena variasi perilaku mereka semakin beragam. Namun, pemerintah menilai hal tersebut merupakan masalah internal keluarga masing-masing.
Perspektif penanganan HIV perlu diubah untuk menyelamatkan seluruh masyarakat. Menurut Irwanto, populasi kunci (pekerja seks, LSL, transjender, dan lainnya) banyak berinteraksi dengan masyarakat. Oleh karena itu, melindungi populasi kunci sama pentingnya dengan menyelamatkan masyarakat keseluruhan.
”Kalau penanganan HIV masih abai terhadap populasi kunci, Indonesia akan seperti ini terus dan tidak akan maju (dalam) penanggulangan HIV,” tambahnya.
Irwanto menilai, banyak langkah pemerintah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Pemanfaatan rasa takut masyarakat tidak lagi mempan dan cenderung memicu kebodohan di masyarakat. Pendekatan sosialisasi penanganan HIV juga perlu bersifat edukatif untuk meningkatkan ilmu pengetahuan mereka.
Banyak langkah pemerintah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Pemanfaatan rasa takut masyarakat tidak lagi mempan dan cenderung memicu kebodohan di masyarakat. Pendekatan sosialisasi penanganan HIV juga perlu bersifat edukatif untuk meningkatkan ilmu pengetahuan mereka.
Ketua Badan Pembina YKIS Nafsiah Mboi menuturkan, pelayanan komprehensif di fasilitas kesehatan primer harus ditingkatkan dan diperkuat. Diskriminasi pelayanan bagi kalangan tertentu harus dihilangkan agar layanan lebih inklusif. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas petugas kesehatan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan.
”Seluruh petugas kesehatan harus melayani permintaan pasien dari seluruh kalangan tanpa terkecuali. Stigma yang berkembang pada pekerja seks, LSL, dan lainnya harus diberangus karena menghambat penanganan HIV di Indonesia,” ujar Nafsiah yang juga mantan Menteri Kesehatan tahun 2012-2014.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi mengutarakan, upaya penanggulangan HIV/AIDS dilakukan melalui jalur cepat 95-95-95. Artinya, 95 persen ODHIV diketahui status HIV-nya, 95 persen ODHIV diobati, dan 95 persen ODHIV yang diobati virus HIV dalam tubuhnya tersupresi.
Meskipun demikian, upaya tersebut belum tercapai pada 2022. Hanya 76 persen ODHIV mengetahui status HIV-nya, 41 persen ODHIV yang mengetahui statusnya mendapat pengobatan, dan 16 persen ODHIV yang diobati virusnya tersupresi. Hal ini menunjukkan butuh upaya yang lebih strategis dan optimal untuk mengeliminasi HIV tahun 2030.
”Kami akan menguatkan komitmen dan kemitraan seluruh pihak, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, lembaga nonpemerintah, hingga komunitas, dalam pencegahan dan pengendalian HIV. Upaya itu diiringi dengan memutus mata rantai HIV dan menyediakan akses layanan komprehensif di fasilitas kesehatan,” ucapnya.
Menurut Tenaga Ahli Utama Kedeputian II Kantor Staf Presiden (KSP) Brian Sriprahastuti, penanganan HIV perlu masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Hal ini penting mengingat segala pendanaan dapat ditujukan untuk penanganan HIV, mulai dari pencegahan hingga pengendaliannya. Saat ini, pendanaannya masih fokus pada pembelian obat.
”Hal ini harus diperjuangkan bersama-sama agar penanganan HIV tidak setengah-setengah. Kami dapat mengakselerasi dan mencapai target-target tertentu yang sudah ditetapkan,” ungkapnya.
Sejumlah komunitas masyarakat, baik dari populasi kunci maupun umum, menyatakan siap mendukung program kolaborasi penanganan HIV. Sumber daya manusia yang mereka miliki dinilai cukup untuk menopang dan membantu proses tersebut.
”Kami memiliki 91 organisasi di 29 provinsi yang siap dikerahkan. Meskipun begitu, kami berharap tidak ada upaya kriminalisasi dalam kolaborasi tersebut,” kata Koordinator Nasional Jaringan Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-INA) Slamet Raharjo.
Direktur Eksekutif Inti Muda, salah satu jaringan nasional populasi kunci muda Indonesia, Bella Aubree, menyatakan, kegiatan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit sangat dinamis sehingga membutuhkan inovasi dan keterlibatan multisektoral. Ketika kegiatan menyangkut anak muda, programnya juga perlu melibatkan anak muda.