Hentikan Kebijakan (Sekadar) ”Pencitraan” Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi yang diharapkan menjadi penjaga kekuatan moral tak lepas dari penyelewengan integritas. Kebijakan pencitraan dengan target kuantitatif dinilai sebagai pencapaian semu.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perguruan tinggi bukan sekadar lembaga yang memproduksi sumber daya manusia dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga memperkuat sikap dan perilaku yang menjunjung tinggi integritas. Perguruan tinggilah yang diharapkan sebagai benteng terakhir bagi masyarakat untuk menjadi kekuatan moral di tengah berbagai kemerosotan dan kebobrokan di negeri ini.
Oleh karena itu, berbagai perilaku curang dalam dunia akademik yang masih dipraktikkan secara masif di lembaga perguruan tinggi dan oleh para dosen harus menjadi keprihatinan serius. Salah satu kecurangan yang dilakukan adalah praktik perjokian karya ilmiah di kampus demi memenuhi target publikasi ilmiah untuk peningkatan jenjang karir menjadi guru besar atau demi tetap dibayarnya tunjangan profesi dosen/guru besar. Hal ini sangat terkait dengan kebijakan pemerintah memaknai mutu pendidikan yang dinilai masih sebatas ”pencitraan” dengan pencapaian ranking dan jumlah publikasi.
”Kebijakan dari pemerintah, lalu ke perguruan tinggi, ke rektor, dan pada para dosen dengan paradigma pencitraan membuat seakan-akan Indonesia hebat, tetapi sebenarnya penuh masalah. Pemaksaan atau keharusan publikasi dengan iming-iming insentif, baik bagi perguruan tinggi maupun dosen, membuat jumlah publikasi Indonesia meningkat. Namun, yang memprihatinkan, Indonesia justru di posisi nomor dua di dunia sebagai negara yang publikasi ilmiahnya masuk di jurnal ilmiah abal-abal alias predator,” ujar Ketua Umum Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro di Jakarta, Jumat (10/2/2023).
Guna menghasilkan publikasi ilmiah bermutu, peningkatan riset harus dilakukan. Dari hasil-hasil riset inilah, salah satunya menghasilkan publikasi ilmiah bermutu dan menawarkan adanya kebaruan atau inovasi. Namun, dukungan anggaran dan desain kebijakan riset dari dasar hingga terapan belum sepenuhnya optimal.
Menurut Satryo, kebijakan pendidikan di Indonesia, termasuk di pendidikan tinggi, lebih sering dijalankan dengan parameter jangka pendek yang kelihatan hasilnya, terkait dengan satu periode pemerintahan. Padahal, hasil pendidikan tidak bisa hanya mengejar hasil 1-5 tahun, tetapi minimal 10 tahun untuk memberikan hasil yang berkualitas.
Namun, kata Satryo, mutu pendidikan tinggi di Indonesia pun terus menitikberatkan pada pencapaian ranking perguruan tinggi di dunia dan publikasi ilmiah. Ada ”paksaan” yang sistematis dengan mewajibkan dan ada penalti dari pemerintah pada pimpinan perguruan tinggi ke para dosen lalu ke bawahannya sehingga pelaku pendidikan pun dengan sadar menerobos cara-cara yang tidak benar untuk memenuhi berbagai target yang diukur dengan angka-angka tersebut.
Yang memprihatinkan, Indonesia justru di posisi nomor dua di dunia sebagai negara yang publikasi ilmiahnya masuk di jurnal ilmiah abal-abal alias predator.
”Padahal, mutu pendidikan itu adalah pemenuhan janji pemerintah kepada masyarakat. Dalam hal mutu perguruan tinggi, harus dipastikan bahwa perguruan tinggi bermanfaat untuk membangun masyarakat dan Indonesia yang maju. Hal ini dilihat bagaimana kontribusinya dalam lapangan kerja, mendukung kemampuan industri dalam negeri, hingga penemuan ilmiah yang bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat, nasional, atau dunia,” kata Satryo.
Tidak hanya tentang target publikasi ilmiah yang dalam realitasnya dilakukan dengan cara-cara yang mencederai integritas akademik. Obral pemberian gelar oleh perguruan tinggi juga menjadi cermin realitas perguruan tinggi Indonesia yang semakin jauh tertinggal.
Kebebasan akademik
Dalam pandangan para akademisi yang tergabung dalam Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), perguruan tinggi Indonesia mengarah pada komersialisasi pendidikan dan pola industrialisasi perguruan tinggi. Dampak liberalisasi pendidikan ini menciptakan perguruan tinggi yang mengalami penundukan pada kuasa politik dan pasar.
Dewan Pengarah KIKA, Riwanto Tirtosudharmo, dalam pertemuan tahunan KIKA tentang Situasi Kebebasan Akademik di Indonesia pada Tahun 2022 dan Proyeksi untuk Perlindungan dan Penghormatan Kebebasan Akademik di Tahun 2023 di Kabupaten Bogor pada 9-10 Februari 2023, mengatakan, insan akademik harus memiliki kepedulian pada kebebasan akademik yang kini menghadapi tren pelanggaran. Namun, perhatian kebebasan akademik ini juga berasal dari lembaga penelitian dan organisasi lain yang menjalankan keilmuannya dan mempertahankan pikiran kritisnya.
Salah seorang pengurus KIKA, Satria Unggul WP, memaparkan, sepanjang 2022, KIKA mendampingi 43 kasus pelanggaran kebebasan akademik. Angka ini cenderung naik dari tahun sebelumnya yang berjumlah 29 kasus. Berdasarkan kasus tersebut, dosen, mahasiswa, dan kelompok masyarakat sipil menjadi korban pelanggaran kebebasan akademik.
”Dari beberapa temuan model tren pelanggaran kebebasan akademik yang dipotret KIKA pada tahun ini, salah satunya tentang praktik transaksi gelap dan jual beli pengaruh dalam penulisan jurnal internasional Scopus untuk isu jurnal,” ujar Satria.
Pelanggaran kebebasan akademik lainnya, yakni serangan digital bagi akademisi yang melakukan kritik akademik; tekanan dan teror terhadap aksi mahasiswa; kesaksian ahli dosen dipidana; dugaan korupsi di perguruan tinggi yang menjadi ancaman; protes isu uang kuliah tunggal (UKT) dan ancaman bagi mahasiswa; legitimasi kebenaran pemerintah dan penundukan ilmu; upaya penundukan akademisi untuk melegitimasi berbagai proyek strategis nasional dan konflik agararia; peleburan lembaga riset di BRIN; situasi kampus yang feodal dan kegagalan membentuk serikat dosen; serta tidak terselesaikannya pengusutan pelanggaran kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Maka dari itu, kata Satria, KIKA kembali mengingatkan Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik, khususnya terkait kebebasan penuh mengembangkan Tri Dharma perguruan tinggi dengan kaidah keilmuan, mendiskusikan mata kuliah dan mempertimbangkan kompetensi keilmuan serta penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, juga larangan terhadap pendisiplinan bagi insan akademisi yang berintegritas. ”Outlook kebebasan akademik pada tahun 2023 semakin menguatnya otoritas kampus yang berkelindan dengan kepentingan oligarki akan memperberat agenda perlindungan dan pemajuan kebebasan akademik,” ujarnya.
KIKA juga menyoroti berbagai upaya neo-fasis negara dengan tetap melanggengkan berbagai produk undang-undang (UU) ”karet”, seperti UU ITE, Perppu Cipta Kerja, UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang KUHP, Perubahan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan termasuk dengan menggunakan kekuasannya untuk menundukkan sains, dan menjadikan suara insan akademik kian tak bermakna.
”Seharusnya, ruang demokrasi masyarakat sipil dan kebebasan akademik semakin melembaga dengan mengutamakan kepada otonomi perguruan tinggi, termasuk melindungi segenap insan akademik dari upaya represi, pendisiplinan, dan pembatasan,” kata Dhia Al-Uyun, Pengurus KIKA Indonesia.