Bahaya Gula Tersembunyi Penyebab Diabetes pada Anak
Kasus diabetes pada anak terus meningkat, baik pada kasus diabetes melitus tipe satu maupun tipe dua. Hal ini disebabkan deteksi yang semakin baik dan perubahan gaya hidup yang tidak sehat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Diabetes melitus tidak hanya terjadi pada usia dewasa. Anak pun bisa mengalami diabetes. Pola hidup dengan konsumsi gula yang tinggi bisa meningkatkan risiko tersebut.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso, saat dihubungi di Jakarta, Senin (13/2/2023), mengatakan, perubahan gaya hidup masyarakat, terutama pada pola konsumsi siap saji, menjadi salah satu penyebab meningkatnya risiko diabetes pada anak, khususnya diabetes melitus tipe dua. Hal tersebut diperburuk dengan kurangnya gerak atau aktivitas fisik.
”Diabetes tipe dua bisa dicegah dengan menerapkan pola hidup yang sehat. Konsumsi minuman dalam kemasan harus dihindari. Selain itu, jangan terlalu banyak konsumsi karbohidrat karena itu akan diproses menjadi gula di dalam tubuh,” ujarnya.
Piprim menuturkan, anak dengan obesitas sangat berisiko mengalami diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2). Anak yang terdiagnosis DM tipe 2 pun akan berisiko mengalami DM tipe 2 di usia dewasa jika kondisinya tidak dikendalikan dengan baik.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan rekomendasi bahwa asupan gula per hari untuk dewasa tidak boleh lebih dari 50 gram atau empat sendok makan. Sementara pada anak dibatasi tidak boleh lebih dari 30 gram atau enam sendok teh per hari. Namun, merujuk pada data Survei Konsumsi Makanan Individu Indonesia 2014, sebanyak 29,7 persen masyarakat mengonsumsi gula harian lebih dari batasan yang ditetapkan WHO.
Diabetes tipe dua bisa dicegah dengan mengubah pola hidup yang sehat. Konsumsi minuman dalam kemasan harus dihindari.
Piprim menekankan bahwa masyarakat perlu lebih waspada pada asupan gula yang tersembunyi. Pada makanan dan minuman berpemanis dalam kemasan, gula bisa tercantum dalam label kemasan sebagai sukrosa, fruktosa, dekstrosa anhidrat, sirop jagung, sirop mapel, konsentrat jus buah, dan molase. Jumlah total kandungan gula dapat dihitung dari total karbohidrat yang tertera.
Selain itu, Piprim mengatakan, gula juga dapat ditemukan dari pangan yang mengandung karbohidrat, seperti nasi dan tepung-tepungan, seperti kue dan roti, cokelat, atau camilan lainnya. ”Itu sebabnya sebenarnya imbauan pemerintah untuk memperbanyak konsumsi protein hewani pada anak sangat tepat. Protein hewani, seperti daging dan ayam, akan membuat anak lebih lama kenyang sehingga keinginan untuk mengemil menjadi berkurang,” tuturnya.
Dalam tata laksana anak dengan DM tipe 2, pengendalian bisa dilakukan dengan mengendalikan asupan karbohidrat. Olahraga pun harus dijalankan dengan rutin setidaknya tiga sampai lima kali seminggu dengan durasi minimal 60 menit. Kebiasaan itu perlu dibangun dalam keluarga sehingga orangtua pun diharapkan bisa menjadi contoh yang baik bagi anak.
Sebelumnya, IDAI merilis data terbaru yang menunjukkan peningkatan signifikan dari kasus diabetes melitus pada anak. Pada Januari 2023 tercatat dua dari 100.000 anak berusia kurang dari 18 tahun mengalami diabetes. Jumlah itu meningkat 70 kali lipat dari 2010. Sebanyak 5-10 persen kasus merupakan diabetes melitus tipe 2.
Tipe satu
Selain DM tipe 2, Piprim menyebutkan, masyarakat juga perlu waspada akan DM tipe 1 pada anak. Sekitar 70 persen kasus diabetes pada anak merupakan kasus DM tipe 1. Berbeda dengan DM tipe 2, DM tipe 1 terjadi karena adanya autoimun pada anak sehingga penyebabnya tidak bisa dikendalikan.
Akan tetapi, anak dengan DM tipe 1 dapat ditangani dengan baik jika terdeteksi sejak dini. Pasien yang datang ke rumah sakit dalam kondisi terlambat akan berisiko mengalami ketoasidosis diabetikum (KAD). Kondisi tersebut dapat meningkatkan angka mortalitas atau kematian.
Direktur Eksekutif Asosiasi Dokter Anak Internasional Aman Bhakti Pulungan menyampaikan, kasus baru DM tipe 1 pada anak dan remaja di dunia mengalami peningkatan, yakni 184.100 pada 2021 dan 201.000 pada 2022. Peningkatan tersebut bisa terjadi karena deteksi yang lebih baik sehingga pelaporan menjadi meningkat.
Sementara di Indonesia pada 2017-2019 dilaporkan ada 1.249 anak dengan DM tipe 1. Prevalensi DM tipe 1 di Indonesia pun mengalami peningkatan dari 3,88 per 100 juta populasi pada 2000 menjadi 28,9 per 100 juta per populasi pada 2010. Sebanyak 71 persen anak dengan DM tipe 1 sudah terdiagnosis dalam kondisi KAD.
”Prevalensi sebenarnya pada anak dengan DM tipe 1 jauh lebih tinggi. Itu karena banyak yang tidak terdiagnosis, salah diagnosis, dan rendahnya kesadaran terhadap penyakit ini,” tutur Aman.
Kurangnya tenaga kesehatan yang ahli serta alat diagnostik yang terbatas menjadi tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan DM tipe 1 di Indonesia. Jaminan Kesehatan Nasional saat ini sudah menanggung layanan untuk insulin, gula darah plasma, dan HbA1c, tetapi glukometer, strip, dan pemeriksaan C-Peptide dan antibodi GAD/ICA tidak didukung. Hal itu membuat diagnosis DM tipe 1 sering terlambat.
Ketersediaan dokter spesialis anak endokrinologi juga terbatas dan tidak merata. Saat ini hanya ada 53 dokter anak ahli endokrinologi yang tersedia di 17 provinsi. Itu artinya masih ada 20 provinsi yang belum memiliki dokter anak endokrinologi. ”Advokasi untuk kepentingan pasien perlu terus diupayakan dengan memastikan ketersediaan obat serta penunjang hidup. Teknologi pun harus mudah diakses dan tersedia untuk semua pasien,” kata Aman.