Presiden Jokowi Minta Antisipasi Bencana Lebih Diperkuat
”Saya lihat kita masih sering sibuk di tahap tanggap darurat pas terjadi bencana. Padahal, tahap prabencana jauh lebih penting,” kata Presiden Joko Widodo dalam pembukaan Rakornas Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo mengingatkan bahwa antisipasi bencana paling menentukan kesiapan semua pihak sekaligus berperan dalam mengurangi risiko jatuhnya korban. Namun, hal ini dinilai masih sangat kurang diperhatikan.
Padahal, saat ini perubahan iklim menjadi hal yang paling ditakuti semua negara. Ini pula yang menyebabkan frekuensi bencana alam dunia naik drastis. Oleh karena itu, Indonesia sebagai salah satu negara paling rawan bencana dinilai perlu lebih siaga dan waspada. Apalagi, jumlah bencana di Indonesia melompat jauh dari 1.945 kejadian pada tahun 2010 menjadi 3.544 kejadian pada tahun 2022. Pengelolaan tahap prabencana, tahap tanggap darurat, dan pascabencana harus baik.
”Saya lihat kita masih sering sibuk di tahap tanggap darurat pas terjadi bencana. Padahal, tahap prabencana jauh lebih penting,” kata Presiden Joko Widodo dalam pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2023 di Jakarta, Kamis (2/3/2023).
Hadir pula dalam acara pembukaan ini Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono, serta Kepala BNPB Letnan Jenderal Suharyanto.
Langkah prabencana yang perlu dilakukan antara lain mengedukasi masyarakat untuk menghadapi bencana, menyiapkan peringatan dini, serta merencanakan tata ruang dan konstruksi wilayah yang meminimalkan risiko bencana. ”Penting itu peringatan dini. Ini sering kita masih terlambat,” ujar Presiden Jokowi.
Edukasi berperan dalam mempersiapkan masyarakat untuk mengetahui harus ke mana berlindung ketika bencana datang. Abai menyiapkan hal ini membuat semua pihak pontang-panting saat terjadi bencana. ”Sering kita abai. Pas bencana pontang-panting. Begitu rampung terus lupa bahwa prabencana jauh lebih penting,” kata Presiden.
Presiden juga mengingatkan, perencanaan pembangunan daerah harus mempertimbangkan sejarah bencana di suatu wilayah. Karena itu, wilayah yang rawan gempa, apalagi memiliki sejarah terjadi likuefaksi, seperti Palu, Sulawesi Tengah, semestinya tidak dibiarkan menjadi lahan tempat tinggal, apalagi perumahan. Daerah rawan longsor dan banjir pun tidak semestinya diberikan izin membangun.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) perlu memasukkan risiko bencana dalam perencanaan pembangunan daerah dan investasi di daerah. Selain itu, pelaksanaan di lapangan tetap perlu dimonitor. Karena itu, ketika ada yang mendirikan bangunan di daerah rawan banjir dan longsor, pemda semestinya tidak abai.
”Kita, kan, sudah punya peta di mana terjadi erupsi, di mana yang sering terjadi gempa, kita tahu semuanya. Mestinya mulai diwajibkan agar yang mendirikan bangunan konstruksinya diarahkan konstruksi antigempa,” tambah Presiden.
Pengalaman gempa bumi di Turki yang menyebabkan jatuh korban jiwa sampai 51.000 orang serta ribuan orang masih hilang perlu dipelajari. Konstruksi bangunan tahan gempa perlu digunakan di wilayah-wilayah rawan untuk meminimalkan korban.
Untuk itu, pemerintah daerah dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) adalah ujung tombaknya. ”Sekali lagi, saya minta BPBD dan pemda mengidentifikasi potensi bencana di daerah masing-masing dan, yang lebih penting lagi, siapkan anggarannya. Jangan sampai BPBD berteriak, ’Pak tidak ada anggarannya atau anggarannya kecil sekali’,” ujar Presiden lagi.
Setelah acara, Presiden menambahkan, pemerintah daerah semestinya bisa mengalkulasi sendiri berapa alokasi anggaran untuk antisipasi bencana. Sebab, setiap daerah bisa memetakan kemungkinan-kemungkinan yang ada di daerahnya.
”Mestinya semua daerah menganggarkan (antisipasi bencana) karena ke depan, adanya perubahan iklim itu, risiko bencana alam akan semakin sering terjadi dan itu harus disiapkan. Itu harus dimitigasi dan semuanya harus disiapkan anggarannya,” tutur Presiden.
Birokrasi sederhana
Presiden juga berharap prosedur penyaluran bantuan disederhanakan. Ketika bencana, bantuan dari pusat dan daerah banyak, ditambah lagi sumbangan dari masyarakat. Namun, biasanya sumbangan ditumpuk di kelurahan atau kecamatan, sedangkan masyarakat yang memerlukan malah tidak mendapatkan bantuan. ”Buat sederhana supaya bantuan bisa segera masuk ke masyarakat, tapi kontrol yang benar,” kata Presiden.
Kepala BNPB, kepala BPBD, serta gubernur dan bupati/wali kota juga diminta untuk menyederhanakan regulasi ini.
Sementara itu, Kepala BNPB Suharyanto menjelaskan, Rakornas BNPB 2023 dihadiri lebih dari 4.000 peserta, antara lain gubernur, bupati/wali kota, serta jajaran forkompimda provinsi, kabupaten, dan kota. Hadir pula utusan negara sahabat, organisasi masyarakat, dan sukarelawan penanggulangan bencana.
Sepanjang 2022, terjadi 3.544 bencana alam di Indonesia. Bencana ini terdiri dari 28 gempa bumi, 1 erupsi gunung berapi, 1.531 banjir, 1.068 cuaca ekstrem, 634 tanah longsor, 252 kebakaran hutan dan lahan, 26 gelombang pasang dan abrasi, serta 4 kekeringan.
Bencana pada 2022 umumnya (91,96 persen) merupakan bencana hidrometeorologi basah, seperti banjir, longsor, dan angin kencang. Sementara itu, 7,22 persen merupakan bencana hidrometerologi kering dan 0,82 persen bencana geologi, seperti gempa bumi.
Kendati jumlah kejadian bencana geologi relatif sedikit, dampaknya besar, jumlah korban banyak, serta kerusakan infrastruktur jauh lebih berat. Oleh karena itu, pemetaan sesar-sesar darat, khususnya di daerah padat penduduk, menjadi penting. Kejadian di masa lalu juga menjadi acuan. Pada tahun 2023, menurut Suharyanto, diperlukan antisipasi bencana hidrometeorologi kering yang diperkirakan meningkat.
Rakornas juga dilangsungkan bersamaan dengan pameran industrialisasi kebencanaan Indonesia. Pameran ini diharapkan menginisiasi inovasi alat teknologi kebencanaan dalam negeri yang sesuai dengan karakteristik bencana di Indonesia.