Teknologi dan Peralatan Baru Tingkatkan Pengelolaan Sampah
Teknologi dan peralatan baru dapat meningkatkan kapasitas pengelolaan dan daur ulang sampah. Namun, hal terpenting dalam pengelolaan sampah bukan hanya teknologi, melainkan juga ”offtaker”.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Teknologi dan peralatan baru dapat meningkatkan kapasitas pengelolaan dan daur ulang sampah. Namun, hal terpenting dalam pengelolaan sampah bukan hanya teknologi, melainkan juga offtaker sebagai pemasok kebutuhan bagi industri.
Upaya meningkatkan kapasitas pengelolaan dan daur ulang sampah melalui dukungan teknologi dan peralatan baru telah dilakukan oleh Waste4Change. Perusahaan rintisan di bidang pengelolaan sampah ini meluncurkan RPM 2.0 yang merupakan teknologi dan peralatan baru rumah pemulihan material di Bekasi, Jawa Barat, Rabu (8/3/2023).
Founder dan CEO Waste4Change Bijaksana Junerosano menyampaikan, rumah pemulihan material (RPM) merupakan tempat Waste4Change mengelola sampah yang berdiri di lahan seluas 2.000 meter persegi. Area tersebut berada di kompleks perumahan dan sampah yang datang setiap hari dipastikan dikelola sampai tuntas agar tidak menimbulkan persoalan.
Selama ini investor sudah siap, tetapi memang regulasi dari hulu ke hilirnya yang belum mendukung.
”Kami bekerja dengan data enterprise resource planning (perencanaan sumber daya perusahaan) sehingga bisa melihat berapa banyak sampah yang dikelola. Kami juga memiliki data ketelusuran yang sangat penting dalam pengelolaan sampah,” ujarnya.
Salah satu teknologi atau peralatan terpenting dalam pengelolaan sampah ialah mesin gibrig. Mesin ini berfungsi untuk menyortir sampah yang bernilai rendah dan secara otomatis akan terpilah menjadi sampah organik serta non-organik. Sampah organik yang terkumpul kemudian dapat menjadi bahan baku untuk dikonversi menjadi protein atau kompos.
Sampah yang tidak bernilai juga akan masuk ke mesin sentris yang berfungsi sebagai pengering. Sampah hasil pengeringan tersebut kemudian dapat dikelola menjadi bahan baku energi alternatif. Sampah ini juga akan dipadatkan agar ada efektivitas dan efisiensi dalam proses pengiriman ke pihak atau industri lain.
Selain itu, peralatan lain yang juga digunakan untuk mengelola sampah adalah konveyor, blower, dan mesin cacah plastik. Konveyor berfungsi untuk memindahkan material agar mudah dipilah. Sementara blower berfungsi untuk menyedot material plastik yang dihasilkan (output).
”Dari sampah yang dikelola dengan metode yang sudah kami lakukan ini bisa didapat segregation rate hingga 90 persen. Artinya, 90 persen sampah yang dikelola bisa menjadi sumber daya dan 10 persen lainnya masuk ke TPA (tempat pembuangan akhir). Proses ini membuat sampah memiliki nilai dan sudah melibatkan 200 klien komersial,” ucapnya.
Meski demikian, Junerosano menegaskan bahwa hal terpenting lainnya dalam pengelolaan sampah bukan hanya aspek teknologi, melainkan juga offtaker sebagai pemasok kebutuhan.
Ia pun menekankan pentingnya dukungan dari investor dalam pengelolaan sampah. Di sisi lain, pihak swasta atau perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan sampah juga harus berkomitmen untuk tidak hanya fokus mencari keuntungan semata.
Menurut Junerosano, hasil riset menunjukkan, saat ini sudah banyak perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan sampah. Namun, masalah sampah ini masih belum selesai karena selama ini pengelolaan hanya fokus pada aspek yang memiliki nilai jual tinggi. Padahal, kegiatan pengelolaan sampah juga harus mengedepankan aspek pelayanan publik.
”Korea Selatan butuh waktu 30 tahun untuk bisa mengatasi sampah hingga terkelola dengan baik. Kuncinya adalah volume based waste fee, artinya pembayaran pengelolaan sampah harus berdasarkan volume. Jadi, ini sama dengan konsumsi air,” ujarnya.
Kesiapan investor
Direktur Perencanaan Infrastruktur Kementerian Investasi/BKPM Moris Nuaimi mendorong peningkatan bisnis pengelolaan sampah yang dilakukan perusahaan rintisan meskipun tidak didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Keberhasilan bisnis pengelolaan sampah yang dilakukan Waste4Change juga menjadi bukti bahwa kegiatan ini bisa direplikasi di wilayah lain dengan fasilitasi pemerintah daerah.
”Selama ini investor sudah siap, tetapi memang regulasi dari hulu ke hilirnya yang belum mendukung. Jadi, sebenarnya regulasi (pendanaan) tentang persampahan tidak serumit regulasi untuk air minum. Regulasi ini akan kami urai satu per satu,” katanya.
Founding partner dari AC Ventures, Pandu Sjahrir, menyatakan, selama beberapa tahun ke depan banyak investor yang mulai fokus ke aspek ekonomi sirkular. Salah satu potensi terbesar di bidang ekonomi sirkular ini ialah sektor pengelolaan sampah.
”Pengelolaan sampah tidak hanya memiliki potensi yang sangat besar, tetapi juga sudah menjadi bagian dari keinginan masyarakat. Industri pengelolaan sampah juga perlu dukungan kebijakan dari pemerintah agar dapat dijalankan dengan baik dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ucapnya.