Sulitnya Pasien Diabetes Menjalani Puasa di Masa Ramadhan
Orang dengan penyakit diabetes melitus sangat sulit menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan. Kondisi itu semakin diperparah dengan stigma di masyarakat terhadap orang yang tidak puasa.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
Menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan bukanlah hal yang mudah bagi orang penderita diabetes melitus. Stigma bagi orang Muslim yang tidak puasa di masyarakat sangat kencang tanpa melihat latar belakang orang tersebut berhalangan untuk berpuasa. Para penderita hanya bisa berserah dan terus menjalani pengobatan, seumur hidup.
Seperti yang dialami Anita Sabidi yang menderita diabetes melitus tipe 1 sejak usianya masih 13 tahun. Sebelum terdiagnosis, dia mengalami gejala sering buang air kecil, penurunan berat badan, dan kelelahan beberapa bulan sebelumnya.
Tak berhenti di situ, tahun 2001 saat masih kuliah, dia juga didiagnosis mengalami kardiomiopati atau kelainan pada otot jantung dan asma. Lima tahun belakangan dia juga mengalami gangguan ginjal.
Selama 13 tahun itu, dia tidak pernah menjalani puasa satu bulan penuh akibat diabetes, selain karena haid. Diabetes terjadi karena hormon insulin yang berfungsi mengontrol gula darah terganggu sehingga Anita harus membatalkan puasa ketika gula darahnya menurun di bawah 70 miligram (mg) per desiliter (dl) atau hipoglikemi.
”Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Muslim itu memang berat banget bagi penderita diabetes menjalani puasa. Tuntutan dan stigmanya berat banget. Aku keluar rumah makan pakai kerudung pasti diliatin dan ditanya kok tidak puasa, padahal kami punya alasan medis yang jelas. Harusnya dianggap normal saja karena tidak semua orang bisa berpuasa,” kata Anita geram, Sabtu (25/3/2023).
Perempuan 39 tahun asal Jakarta itu tak mau menyerah, dengan dukungan dari keluarganya, dia menerima diabetes menjadi teman hidupnya. Sejak kecil dia sudah dibiasakan ayahnya untuk belajar menyuntikkan sendiri jarum glukometer dan pena insulin yang menjadi rutinitas sampai hari ini.
Seorang penderita diabetes jika diperbolehkan berpuasa oleh dokternya biasanya harus menyuntikkan jarum cek gula darah sebanyak tujuh kali dan suntik insulin empat kali sehari. Setiap pola makan harus dihitung kalorinya, tetapi perhitungan itu terkadang meleset dan mengakibatkan harus membatalkan puasa karena aktivitas padat.
Sebelum berpuasa, penderita diabetes wajib berkonsultasi dengan ahli gizi dan ahli endokrin. Mereka akan mengatur jumlah kalori sahur dan buka selama puasa untuk kemudian disesuaikan dengan dosis suntikan insulinnya.
”Namun, semua itu rumus. Pada praktiknya itu bisa meleset saat puasa, tetapi aktivitas tinggi jadi harus dibatalkan. Sulit sekali untuk puasa penuh,” ujarnya sambil merapikan selang pompa insulin di bajunya.
Kini, keseharian ibu dua anak ini disibukkan sebagai ilustrator dan desainer yang merancang pakaian dan ilustrasi diabetes yang disesuaikan untuk anak-anak dan keluarga. Anita juga menjadi aktivis bersama berbagai komunitas diabetes Indonesia seperti Persatuan Diabetes Indonesia (Persadia), Ikatan Diabetes Anak dan Remaja (Ikadar), dan NCD Alliance Indonesia.
“Komunitas memberikan semangat karena terdapat rasa senasib seperjuangan, hal-hal sederhana seperti gula darah yang baik, hasil skrining komplikasi yang membaik, hal-hal yang hanya dimengerti oleh sesama penderita diabetes menjadikan kami seperti keluarga,” tutur Anita.
Ahli endokrinologi dari Rumah Sakit Pondok Indah, Wismandari, menjelaskan, penderita diabetes masih dapat berpuasa dengan memperhatikan tingkat pengelompokan risikonya. Jika pasien tersebut termasuk yang berisiko tinggi, tidak dianjurkan berpuasa karena dapat menimbulkan komplikasi yang lebih serius.
“Saat memulai berpuasa, kontrol gula darah harus dilakukan dengan lebih ketat untuk mencegah terjadinya komplikasi, yaitu hipoglikemia, hiperglikemia, dan dehidrasi,” kata Wismandari.
Pasien yang termasuk dalam kondisi ringan aman untuk berpuasa adalah pasien diabetes tanpa komplikasi ginjal, jantung, atau stroke, serta kadar HbA1C-nya atau gula darahnya di bawah 7 persen dan mendapatkan terapi gaya hidup sehat. Risiko sedang juga dapat berpuasa dengan hati-hati, kadar gula darahnya di bawah 8 persen dan mendapatkan obat antidiabetes selain insulin.
Kemudian kelompok risiko tinggi dapat memilih untuk tidak berpuasa dengan kadar gula darah 8-10 persen atau mendapatkan obat insulin, berusia lebih dari 75 tahun dengan kondisi kurang stabil atau tinggal sendirian. Memiliki komplikasi ginjal, jantung, dan stroke.
Penderita diabetes yang berpuasa harus membatalkan puasanya saat terdapat gejala darah rendah atau tinggi, melakukan aktivitas fisik yang berat, secara mental atau emosional tidak kuat, dan tidak ada yang mengawasi.
Sementara bagi kelompok diabetes risiko sangat tinggi, tidak disarankan berpuasa karena akan menimbulkan komplikasi. Mereka yang termasuk kelompok ini adalah kadar gulanya di atas 10 persen, menyandang diabetes dengan sakit berat, dalam kondisi hamil atau sedang cuci darah, serta pernah dirawat di rumah sakit dalam tiga bulan terakhir.