Catatan Perfilman Indonesia Akan Dikembangkan Jadi Naskah Akademik
Rangkaian peringatan Hari Film Nasional 2023 diakhiri dengan penyerahan buku berisi rangkuman wajah perfilman Indonesia kepada pemerintah. Buku itu memotret masalah dunia film dari hulu ke hilir.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Insan film Indonesia, yang diwakili Badan Perfilman Indonesia, menyerahkan buku Wajah Perfilman Indonesia kepada pemerintah. Buku itu berisi rangkuman masalah dunia perfilman, analisis, data, hingga rekomendasi pengembangan industri film. Buku akan dikembangkan menjadi naskah akademik untuk mendorong penggantian Undang-Undang Perfilman.
Buku itu diserahkan pada Hari Film Nasional, Kamis (30/3/2023), kepada perwakilan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Buku tersebut merupakan rangkuman dari Konferensi Film Nasional yang diadakan pada 6-11 Maret 2023 oleh Badan Perfilman Indonesia (BPI). Konferensi melibatkan 47 narasumber, baik praktisi film, akademisi, organisasi, pelaku usaha, maupun pemerintah.
”Setelah hasil konferensi ditelaah, tergambar bahwa industri film kita berlayar, tapi nakhodanya tidak punya kompas. Ia bahkan tidak menggunakan peta karena petanya sudah usang dan mesti diganti dengan yang baru,” kata Ketua Umum BPI Gunawan Paggaru di Jakarta.
Hal tersebut merujuk pada UU Perfilman yang dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan dunia perfilman. Gunawan mengatakan, pihaknya sudah menganalisis 38 undang-undang dan peraturan pemerintah. Hasilnya, UU Perfilman direkomendasikan untuk diganti.
Di sisi lain, UU Perfilman tidak harmonis dengan aturan tentang otonomi daerah. Pada UU Perfilman, pemerintah daerah diserahi urusan pengembangan perfilman di daerah. Namun, dalam aturan otonomi daerah, hal itu jadi kewenangan pemerintah pusat.
Setelah hasil konferensi ditelaah, tergambar bahwa industri film kita berlayar, tapi nakhodanya tidak punya kompas.
Selain itu, pengembangan industri perfilman kini tak lagi bisa ditangani satu kementerian. Selain Kemendikbudristek, pihak yang mesti digandeng antara lain Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Dalam Negeri,serta Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Itu sebabnya, UU Perfilman dinilai perlu diganti. Upaya mengganti UU Perfilman telah dilakukan sejak beberapa tahun lalu. Rancangan UU ini pernah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR. Menurut Gunawan, kala itu, DPR belum melihat urgensi UU Perfilman mesti diubah.
Ia menambahkan, argumentasi untuk mengubah UU Perfilman kini tertuang dalam buku Wajah Perfilman Indonesia. Buku itu akan dikembangkan jadi naskah akademik dan akan diserahkan kepada DPR tahun ini.
Kepala Kelompok Kerja Apresiasi dan Literasi Film Kemendikbudristek Edy Suwardi—mewakili Direktur Perfilman, Musik, dan Media Kemendikbudristek Ahmad Mahendra—mengatakan, kementeriannya mendukung pengembangan buku menjadi naskah akademik. Ia juga berharap buku ini bisa didistribusikan kepada berbagai pemangku kepentingan.
Deputi Bidang Ekonomi Digital dan Produk Kreatif Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Neil El Himam mengatakan, pihaknya sedang mengembangkan program insentif bagi pekerja film yang melakukan promosi budaya. Program ini juga akan disosialisasikan kepada pemerintah daerah.
Adapun buku Wajah Perfilman Indonesia mencuplik masalah perfilman Indonesia dari hulu ke hilir. Di sisi hulu, masalah ada di ketersediaan sumber daya manusia (SDM). Keterampilan lulusan pendidikan film dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Akibatnya, mereka sulit diserap pasar kerja perfilman.
Saat ini, ada 21 perguruan tinggi dengan program studi perfilman dan 64 SMK film. Ada lebih dari 1.000 lulusan perfilman setiap tahun, tetapi tidak semuanya terserap di industri film.
Di sisi lain, belum semua SDM perfilman terstandar. Itu sebabnya, BPI kini sedang menggencarkan sertifikasi melalui Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang perfilman. Hingga kini setidaknya ada lebih dari 1.000 pekerja film yang sudah disertifikasi.
Sementara itu, di sisi hilir, fasilitas pemutaran film belum cukup. Bioskop masih perlu dibangun, khususnya di daerah, karena selama ini penyebaran bioskop terfokus di Jawa.
”Ada 289 produksi film saat ini dan 2.000 layar itu tidak cukup. Artinya, kita mesti membangun bioskop. Namun, pembangunan bioskop mesti melibatkan pemerintah daerah,” ucap Gunawan.