Penerimaan dan kontribusi orang dengan autisme harus ditingkatkan. Ini memungkinkan orang dengan autisme untuk meningkatkan harga diri mereka dan menjadi anggota keluarga serta masyarakat yang berharga.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
Anak bagaimanapun keadaannya tetaplah karunia Tuhan. Orangtua di mana pun tidak bisa menentukan anak seperti apa yang akan dilahirkan dan dibesarkan.
Namun, tidak semua orangtua bisa menerima jika anaknya berkebutuhan khusus, seperti mengidap gangguan spektrum autisme atau autisme. Orangtua dan anak dengan autisme membutuhkan dukungan dari lingkungan yang memahami kondisi bahwa setiap orang punya keunikan masing-masing.
Seperti Augie Fitrizia Djamin yang terus berupaya menerima kenyataan bahwa anak bungsunya, Zafar, didiagnosis autisme sejak tujuh tahun lalu. Awalnya, tidak terlihat ada gangguan pada diri Zafar.
Saat usianya dua tahun, dia sudah bisa berbicara, menunjuk orang dan benda, sampai bernyanyi. Namun, setelah itu perkembangannya perlahan mundur, tidak ada keluarga yang sadar karena menganggap si anak sedang memasuki masa aktif-aktifnya.
Zafar sempat bersekolah playgroup selama enam bulan, tetapi gurunya merasa ada yang spesial dengan dirinya sehingga meminta Zafar untuk melakukan terapi. Akhirnya pada usia 3 tahun, Zafar didiagnosis mengalami autisme.
”Waktu itu saya sangat terpukul dan hancur. Sempat merasa sedih yang sangat mendalam dan terbebani. Lalu, setelah itu saya memaksakan diri mengikuti program-program yang berat baik untuk Zafar, saya, maupun keluarga dengan pengorbanan yang tidak sedikit dengan berpikir Zafar harus sembuh. Namun, saya jadi mudah terpukul setiap Zafar tidak (mengalami) progres atau malah regres dan sempat hampir depresi,” kata Augie di Jakarta, Senin (3/4/2023).
Augie dan suami tak mau menyerah. Mereka mengubah pola pikir dengan lebih ikhlas menerima kekurangan dan lebih fokus pada kelebihan Zafar. Kini, Zafar terus menjalani berbagai macam terapi mulai dari terapi fisik, bermain, visual, hingga wicara.
Meski belum lancar berbicara, Zafar sudah bisa mengendalikan emosi, tidak mudah tantrum. Dia pun semakin bisa makan sendiri dan kian responsif.
Setelah menerima dan memahami Zafar, keluarganya menemukan kebahagiaan tersendiri dari kondisi yang spesial tersebut. Mereka sadar, anak dengan autisme sulit untuk disembuhkan sehingga mereka butuh diterima di lingkungannya.
”Yang saya harapkan dari orang-orang adalah pikiran dan sikap positif terhadap autisme, bahwa autisme bukan sesuatu yang negatif. Berbeda tidak berarti buruk dan perlu dijauhi,” ucapnya.
Valent berharap semua orangtua yang mempunyai anak dengan autisme agar tetap kuat dan bisa berdamai dengan keadaan.
Hal serupa dialami Valent Cindy terhadap anak pertamanya, Gavin, yang masih berusia 6 tahun. Gavin didiagnosis mengalami gangguan autisme pada usia 4 tahun saat dia takut untuk bersosialisasi dengan orang lain. Bahkan, ketika mendengar suara motor melewati rumahnya, Gavin ketakutan dan bersembunyi di balik kursi.
Saat itu, Valent kalut, bingung harus melakukan apa selanjutnya, yang terbayang hanya masa depan anaknya yang akan sulit. Kekalutan itu hanya sebentar. Dia mencari terapi untuk Gavin dan membentuk lingkungan yang mendukung untuk anaknya.
Valent pun cukup memilah interaksi sosial Gavin hanya ke beberapa lingkungan yang mendukung, seperti sekolah, teman terdekat, dan keluarga. Dia tidak mau memaksakan anaknya untuk berinteraksi jika tidak nyaman, perlu pendekatan yang lebih agar Gavin mau bersosialisasi.
”Tetap saya libatkan untuk interaksi sosial, tetapi tidak semuanya agar dia pelan-pelan bisa menerima dan mengerti. Di sekolah dia sudah mulai berinteraksi dengan temannya, bisa ngobrol dan kerja kelompok. Teman-temannya juga bisa menerima dan mencari Gavin untuk bermain,” ucap Valent.
Valent berharap semua orangtua yang mempunyai anak dengan autisme agar tetap kuat dan bisa berdamai dengan keadaan. Dia juga meminta masyarakat untuk menerima dan mendukung orang dengan autisme agar terus bertumbuh.
”Memang ada kalanya mereka tantrum dan sebagainya, tetapi mereka punya keunikan tersendiri yang harus kita terima,” ujarnya.
Menurut Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi, masyarakat memang mulai menyadari pentingnya menciptakan lingkungan yang mendukung bagi orang dengan autisme. Kesadaran ini perlu diperluas agar autisme tidak lagi menjadi sesuatu yang aneh di tengah masyarakat.
Kak Seto, sapaan akrabnya, juga mengingatkan orangtua atau calon orangtua untuk terus berkomunikasi dengan anak sedari dalam kandungan. Penggunaan gawai pada anak sebaiknya dihindari dan lebih mengajak anak berinteraksi dengan bermain, membaca, berolahraga, dan sebagainya.
”Selain karena faktor gen, autisme juga karena faktor stimulasi lingkungan. Terlebih zaman pandemi ini banyak orang pakai masker sehingga kita tidak bisa membaca gerak bibir dan berbicara. Stimulasi interaksi pada anak ini harus sedini mungkin dan bila ada kecenderungan autisme harus segera dideteksi dan menjalani terapi,” kata Kak Seto.
Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam tema peringatan Hari Peduli Autisme Sedunia 2023: ”Transformasi: Menuju Dunia Neuro-Inclusive untuk Semua” juga menekankan, penerimaan sosial menjadi kunci untuk membantu tumbuh kembang anak dengan autisme.
Penerimaan dan kontribusi orang dengan autisme di rumah, tempat kerja, dalam seni dan dalam pembuatan kebijakan juga harus dilibatkan. Ini memungkinkan orang autis untuk meningkatkan harga diri mereka, serta menjadi satu sepenuhnya sebagai anggota keluarga dan masyarakat yang berharga.