Asma merupakan penyakit pernapasan kronis dan penderitanya pun kian meningkat, baik di negara maju maupun berkembang. Pengendalian asma dapat dilakukan dengan menghindari faktor pencetusnya.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengetahuan terkait kapan serangan asma dapat terjadi pada penderitanya perlu dipelajari karena setiap penderita asma memiliki faktor pencetus yang berbeda-beda. Kurangnya pemahaman mengenai proses penyakit ini dan pengobatan yang tepat dapat meningkatkan risiko kesakitan.
Dokter spesialis paru di RSUP Persahabatan, Jakarta, Budhi Antariksa menyampaikan, pengendalian asma dapat dilakukan dengan menghindari faktor pencetus asma, yaitu segala hal yang menyebabkan timbulnya gejala asma pada setiap orang. Asma dapat muncul karena adanya reaksi terhadap faktor pencetus yang mengakibatkan penyempitan dan pembengkakan pada saluran pernapasan.
”Faktor pencetus asma banyak dijumpai di lingkungan, baik di dalam maupun di luar rumah. Setiap penderita asma memiliki faktor pencetus yang berbeda-beda. Ada yang melalui perubahan cuaca, alergi terhadap sesuatu, stres, dan lain-lain,” tutur Budhi dalam acara peringatan Hari Asma Sedunia dengan tema ”Asthma Care for All”, Selasa (2/5/2023).
Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai proses penyakit dan penggunaan obat yang tepat juga bisa memengaruhi pengendalian asma secara efektif sehingga dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kematian. Asma ditandai dengan penyempitan dan peradangan saluran pernapasan yang mengakibatkan sulit bernapas. Asma bisa menyerang semua orang tanpa mengenal usia. Bahkan, banyak yang menyandang penyakit ini sejak masa kanak-kanak.
”Pemicu asma karena faktor lingkungan memang sulit. Mereka harus senantiasa menjaga agar saluran napas tidak sensitif di saat cuaca tertentu. Saat menghadapi cuaca tertentu, terlebih cuaca dingin, mereka dapat memaksimalkan obat pengontrol supaya tidak mudah kambuh,” lanjutnya.
Faktor pencetus asma banyak dijumpai di lingkungan, baik di dalam maupun di luar rumah. Setiap penderita asma memiliki faktor pencetus yang berbeda-beda. Ada yang melalui perubahan cuaca, alergi terhadap sesuatu, stres, dan lain-lain.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2020, jumlah penderita asma di Indonesia sebanyak 4,5 persen atau 12 juta lebih dari total jumlah penduduk. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Asma Dunia (GINA) memprediksi jumlah pasien asma di dunia yang mencapai 334 juta orang akan meningkat menjadi 400 juta orang pada 2025.
Dokter spesialis paru di RS Al Irsyad, Surabaya, Arief Bakhtiar, mengatakan, walaupun bukan penderita asma, masyarakat harus mulai menjauhi gaya hidup yang dapat menyebabkan asma. Terdapat berbagai faktor yang dapat meningkatkan risiko asma, seperti faktor lingkungan, genetik, dan gaya hidup.
Oleh sebab itu, masyarakat diimbau untuk menjauhi hal-hal yang dapat menyebabkan asma, seperti asap rokok dan vape, polusi udara, dan paparan zat kimia. Hingga saat ini, belum ada obat untuk menyembuhkan asma, tapi asma dapat dikontrol sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
”Kami tidak berani mengatakan penyakit asma dapat disembuhkan. Akan tetapi, kami dapat membantu mengontrolnya dengan berbagai perawatan yang baik dan benar,” kata Arief.
Ketua Umum Yayasan Asma Indonesia Poppy Hayono Isman menambahkan, penderita asma dapat meminimalkan kambuhnya asma dengan rutin mengikuti senam asma satu kali seminggu. Selain itu, penderita asma juga dapat melakukan olahraga ringan.
”Olahraga yang disarankan sifatnya continue seperti renang, yoga, jogging, dan senam asma. Olahraga tersebut memiliki tempo yang tidak mendadak, serta dapat mengoptimalkan otot-otot pernapasan,” ucap Poppy.
Memastikan ketersediaan obat
Sebagian besar beban kesakitan dan kematian akibat asma terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Untuk mengurangi beban tersebut, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengimbau dan mendorong pemerintah untuk memastikan ketersediaan dan kemudahan akses obat-obatan yang efektif dan terjamin kualitasnya.
Secara global, beban ekonomi asma relatif besar. Pada beberapa penelitian, beban tidak langsung asma bahkan lebih tinggi daripada beban langsung asma. ”Beban langsung akibat penyakit asma dapat dilihat dari biaya pengobatan dan perawatan pasien. Sementara beban tidak langsung dilihat berdasarkan efek negatif asma pada produktivitas pasien, seperti tidak masuk sekolah atau kerja akibat asma,” ujar Budhi.
Sekretaris Jenderal PDPI Alvin Kosasih mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk memastikan rekomendasi khusus bagi keselamatan pasien. Selain itu, PDPI juga tengah berkolaborasi untuk memperbaiki semua aspek perawatan pasien asma.
”Pada tingkat global, pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator merupakan salah satu pemeriksaan awal yang sangat berguna untuk mendeteksi asma. Ketersediaan spirometri di level pelayanan kesehatan paling bawah dan pelatihan untuk pengoperasiannya juga sangat penting,” tuturnya.