RUU Kesehatan Belum Fokus pada Perlindungan dan Kesejahteraan Nakes di Daerah Konflik
Organisasi profesi kesehatan di Papua menyerukan agar RUU Kesehatan fokus pada perlindungan dan kesejahteraan tenaga kesehatan. Selain minimnya kesejahteraan, tenaga kesehatan di Papua juga rawan mengalami kekerasan.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Sejumlah organisasi kesehatan di Papua menilai Rancangan Undang-Undang Kesehatan belum memuat poin-poin esensial yang dibutuhkan tenaga kesehatan. Mereka berharap regulasi ini fokus memberikan perlindungan dan meningkatkan kesejahteraan bagi tenaga kesehatan di daerah rawan konflik, seperti Papua.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Persatuan Perawat Nasional Indonesia Papua Isak Tukayo di Jayapura, Senin (8/5/2023), mengatakan, pihaknya bersama sejumlah organisasi profesi lainnya di Papua, seperti Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, dan Ikatan Bidan Indonesia, menolak pembahasan RUU Kesehatan. Regulasi ini dinilai tidak memberikan perlindungan hukum dan dapat menghilangkan peran dari organisasi profesi.
Ia menilai regulasi ini sangat berbahaya bagi masa depan profesi keperawatan karena minimnya perlindungan, khususnya di Papua yang rawan terjadi kekerasan terhadap tenaga kesehatan. Hal ini juga akan berdampak pada menurunnya minat masyarakat setempat untuk berprofesi sebagai perawat di Papua yang sangat minim jumlah tenaga kesehatan.
”Seharusnya RUU Kesehatan fokus untuk menyiapkan regulasi bagi perlindungan tenaga kesehatan di daerah yang terpencil dan rawan terjadi kekerasan seperti Papua. Kami meminta DPR dan pemerintah menunda pembahasan regulasi ini,” ucap Isak.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi Papua Donald Aronggear berpendapat, seharusnya pemerintah mengindentifikasi hal-hal krusial yang dibutuhkan dalam RUU Kesehatan. Hal ini seperti perlindungan dan kesejahteraan tenaga kesehatan.
Akibat belum adanya jaminan keamanan dan kesejahteraan, Donald mengungkapkan, minat dokter berkarya di tanah Papua menjadi minim.
Berdasarkan data IDI Papua, sejak tahun 2019 hingga Maret 2023, empat dokter menjadi korban kekerasan. Tiga dokter spesialis tewas dan satu dokter umum terluka berat. Kasus terakhir adalah pembunuhan dokter spesialis paru, Mawartih Susanti, yang bertugas di Rumah Sakit Umum Daerah Nabire pada 9 Maret 2023.
Keberadaan dokter di 423 puskesmas di Provinsi Papua, Papua Tengah, Papua Selatan, dan Provinsi Papua Pegunungan juga sangat minim. Hanya 50 persen dari puskesmas-puskemas itu yang dilayani dokter umum.
Organisasi IDI tersebar di 1 kota dan 10 kabupaten di empat provinsi wilayah Papua, yakni Papua, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan. Jumlah anggota IDI di empat provinsi ini mencapai 1.764 orang.
”Kami menilai seharusnya ada tiga hal penting dalam RUU Kesehatan. Tiga hal tersebut adalah perlindungan tenaga kesehatan di daerah konflik, meningkatkan kesejahteraan tenaga kesehatan di daerah terpencil, dan peningkatan sumber daya manusia yang disesuaikan dengan kultur masyarakat setempat,” kata Donald.
Sekretaris Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Papua Anjar Ariansyah Sejati mengatakan, seharusnya RUU Kesehatan memperkuat perlindungan bagi tenaga kesehatan yang sangat minim, khususnya di Papua.
”Kami meminta RUU Kesehatan lebih fokus pada perlindungan dan kesejahteraan tenaga kesehatan. Perlu diketahui jumlah dokter gigi yang tersebar di seluruh wilayah Papua hanya 120 orang,” ungkap Anjar.