Penggunaan Pelega SABA Jangka Panjang Berpotensi Tingkatkan Serangan Asma
Pasien asma tak lagi dianjurkan menggunakan ”inhaler” golongan SABA sebagai satu-satunya obat pereda asma. Obat pengontrol diperlukan sebagai anti-radang untuk menurunkan gejala serangan asma.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasien asma di Indonesia masih banyak menggunakan pelega golongan short acting beta agonists atau SABA untuk meredakan serangan asma karena harganya yang lebih murah dibandingkan obat pengontrol. Padahal, penggunaan pelega SABA yang terlalu sering hingga menyebabkan ketergantungan justru meningkatkan risiko terjadinya serangan asma.
Asma merupakan penyakit yang didasari inflamasi atau yang ditandai dengan penyempitan dan peradangan saluran pernapasan yang mengakibatkan penderita sulit bernapas. Selain itu, asma juga dapat menimbulkan gejala lain, seperti mengi, batuk, dan nyeri dada.
Penderita asma—meskipun tidak bergejala—dianjurkan menggunakan obat pengontrol asma yang mengandung anti-radang, yaitu kortikosteroid inhalasi (ICS), dibandingkan pelega (inhaler) golongan SABA. Namun, belum semua pasien asma mendapatkan pengobatan ICS tersebut. Padahal, penggunaan inhaler SABA, seperti fenoterol, procaterol, salbutamol, atau terbutaline, berpotensi menyebabkan terjadinya serangan asma serta menurunkan kualitas hidup penderitanya.
Dokter spesialis paru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Mohamad Yanuar Fajar, dalam acara bincang-bincang bertema ”Stop Ketergantungan: Inhaler Tepat, Redakan Asma” di Kantor AstraZeneca Indonesia, Jakarta Selatan, Rabu (10/5/2023), mengatakan, murah dan mudahnya mendapatkan inhaler SABA membuat pasien asma lebih memilih menggunakan obat pereda tersebut dibandingkan ICS.
”Pertama, inhaler SABA harganya lebih murah dibandingkan obat pengontrol yang memang harganya cukup mahal. Kedua, pasien asma yang menggunakan inhaler SABA merasa dirinya baik-baik saja atau sudah sembuh, padahal itu tidak mengobati penyakit dasarnya,” kata Yanuar.
Lebih lanjut Yanuar memaparkan, inhaler SABA digunakan penderita asma untuk meredakan asma saat serangan terjadi dan tidak menggunakan obat pengontrol setelahnya. Seharusnya, ketika serangan tidak terjadi, pasien asma tetap harus menggunakan obat pengontrol untuk mengurangi gejala kambuhnya asma.
”Penggunaan ICS itu untuk mengurangi gejala kambuhnya asma sehingga penderita tidak akan terus-menerus hanya menggunakan inhaler SABA yang justru kalau digunakan jangka panjang berpotensi meningkatkan frekuensi kambuhnya serangan berat,” tutur Yanuar.
Berdasarkan Global Burden of Disease Study (GBD) pada 2019, diperkirakan sebanyak 262 juta orang mengidap asma di seluruh dunia. Sementara berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2020, asma merupakan salah satu jenis penyakit yang banyak diidap oleh masyarakat Indonesia dengan jumlah penderita asma di Indonesia tercatat sekitar 12 juta orang atau sebesar 4,5 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.
Laporan strategi Global Initiative for Asthma (GINA) tahun 2019-2022 menunjukkan penggunaan inhaler SABA secara rutin, bahkan hanya dalam 1-2 minggu, justru kurang efektif. Hal ini dapat menyebabkan lebih banyak peradangan pada saluran napas serta mendorong kebiasaan buruk penggunaan secara berlebihan.
Data dari situs AstraZeneca mencatat, sebesar 40 persen pasien asma di dunia menggunakan inhaler SABA secara berlebihan. Sementara berdasarkan hasil penelitian SABA Use in Asthma (SABINA), sebanyak 37 persen pasien asma di Indonesia diresepkan inhaler SABA lebih dari tiga canister selama satu tahun terakhir.
Lakukan kampanye
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti mengatakan, pemerintah berupaya meningkatkan kesehatan masyarakat melalui pendekatan kebiasaan hidup. Kampanye ”Stop Ketergantungan” merupakan langkah penting untuk meningkatkan kesadaran dan kualitas hidup yang sehat bagi penderita asma.
”Kami berharap kampanye ini dapat membantu sebanyak mungkin pasien asma di Indonesia demi menjaga kualitas hidup yang lebih baik,” kata Eva pada kesempatan yang sama, Rabu (10/5/2023).
Kampanye ”Stop Ketergantungan” bertujuan untuk mengedukasi masyarakat, khususnya penderita asma dan tenaga kesehatan, mengenai penyakit asma dan penanganan yang tepat untuk penyakit ini. Penggunaan inhaler dan pengobatan asma yang benar menjadi fokus kampanye.
Selebritas sekaligus orangtua dari anak penderita asma, Zaskia Adya Mecca, menuturkan, sulit bagi penderita asma untuk konsisten menjalani pengobatan, seperti anak laki-laki ketiganya, Bhai Kaba, yang menderita asma sejak berusia 2,5 tahun. Adanya dorongan dengan kampanye ”Stop Ketergantungan” dinilai sangat penting bagi penderita asma.
”Saya menyaksikan sendiri, ketika Kaba tidak lagi bergantung pada inhaler SABA sejak dua bulan terakhir ini dan melakukan konsultasi rutin serta menggunakan perawatan dengan ICS, kondisinya berubah secara signifikan. Itu terlihat dari menurunnya gejala dan serangan yang terjadi,” ucap Zaskia saat ditemui seusai acara bincang-bincang.