Sekolah Mengatasi Tantangan Implementasi Kurikulum Merdeka
Sekolah-sekolah saat ini bertransisi dari Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka. Pemerintah memilih cara baru untuk mengimplementasikan Kurikulum Merdeka, yakni secara mandiri sesuai pilihan dan kesiapan sekolah.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU, Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implementasi Kurikulum Merdeka sudah mulai banyak dilaksanakan sekolah secara mandiri meskipun masih mendapatkan berbagai tantangan. Kurangnya pemahaman guru hingga keterbatasan dana turut memengaruhi adanya perubahan dalam sistem belajar yang bermakna dan menyenangkan.
Implementasi Kurikulum Merdeka diserahkan sesuai pilihan satuan pendidikan. Ada pilihan Mandiri Belajar (menerapkan beberapa bagian prinsip Kurikulum Merdeka tanpa mengganti kurikulum yang sedang diterapkan sekolah); Mandiri Berubah (sudah mulai menggunakan Kurikulum Merdeka dengan perangkat ajar yang sudah disediakan); serta Mandiri Berbagi (menerapkan Kurikulum Merdeka dengan mengembangkan sendiri berbagai perangkat ajar).
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari berbagai sekolah di Jakarta, Jumat (12/5/2023), sekolah-sekolah sudah mulai memilih Kurikulum Merdeka secara bertahap, mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini hingga menengah atas. Penyesuaian masih terus dilakukan agar sekolah semakin dapat meningkat status implementasi Kurikulum Merdeka sesuai pilihan dan kemampuan sekolah.
Kepala SMP Tri Ratna Jakarta Rudy Kurniawan mengatakan, pada awal penerapan Kurikulum Merdeka, masih ada beberapa guru yang kurang paham dan harus menyesuaikan. Apalagi, kurikulum tersebut juga mengacu kepada digitalisasi dan tidak semua guru usia muda mahir berteknologi.
Namun, adanya pandemi Covid-19 memaksa para guru untuk belajar dan mulai melek teknologi karena harus menggunakannya dalam proses pengajaran.
Selain itu, perubahan metode pembelajaran juga turut memengaruhi hambatan pengajar, terutama pada guru yang tidak muda. Beberapa pengajar masih harus mengupayakan cara pembelajaran dua arah yang lebih kreatif dan tidak terpaku kepada buku.
”Tidak hanya siswa saja yang harus mempelajari kurikulum ini, tetapi juga guru. Oleh karena itu, saya berharap, media belajar yang lebih sederhana diperbanyak agar guru juga bisa banyak belajar,” tutur Rudy.
Rudy pun saat ini baru menerapkan Kurikulum Merdeka pada siswa kelas tujuh. Meskipun begitu, berdasarkan rencana, ia akan menerapkan Kurikulum Merdeka pada tiga kelas sekaligus mulai tahun 2024.
Kemendikbudristek menghadirkan Merdeka Belajar dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan dan menjadikan proses belajar sebagai pengalaman yang menyenangkan bagi pelajar di Indonesia.
Sementara itu, pada tingkat SD, Wakil Kepala SDN Marunda 05 Achyat Inayatulloh mengatakan, Kurikulum Merdeka belajar baru diterapkan di kelas satu dan empat SD. Setelah itu, pada tahun berikutnya, secara bergantian akan diikuti kelas dua dan lima.
Perbedaan antara Kurikulum Merdeka dan Kurikulum 2013 di tingkat SD adalah adanya penggabungan mata pelajaran IPA dan IPS. Kedua mata pelajaran tersebut digabung menjadi satu yang disebut Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial (IPAS). Tujuan penggabungan mata pelajaran ini sebagai persiapan ketika siswa melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP.
”Pada semester satu, guru lebih banyak mengajarkan IPA dan pada semester dua guru mengajarkan IPS,” lanjut Achyat.
Perubahan yang terjadi tidak hanya pada mata pelajaran saja, tetapi juga proses belajar siswa. Pada kurikulum mandiri, siswa SD juga belajar mengenai potensi diri, pemberdayaan diri, peningkatan diri, pemahaman diri, dan peran sosial (P5) untuk mengamati serta menemukan solusi terhadap permasalahan di sekitar mereka.
Namun, pembelajaran terbaru tersebut masih menimbulkan tantangan. Sekolah harus menyiapkan fasilitas lebih di tengah dana yang terbatas.
”Kelemahannya pada persiapan alat. Misalnya saat belajar mengenai adat, kami harus menyiapkan atau menyewa baju adat. Bahan yang diperlukan harus disiapkan sekolah. Namun, terkadang ada juga dari campur tangan orangtua murid,” kata Achyat.
Sementara itu, Kepala Taman Kanak-kanak Bunnaya Islamic Preschool, Jakarta, Eva Fadilah mengatakan, Kurikulum Merdeka sebenarnya memfasilitasi anak-anak usia dini bermain sambil belajar. Tidak ada istilah belajar membaca, menulis, dan menghitung atau calistung dengan drilling lagi. Awalnya, ketika sekolah semakin menguatkan kegiatan bermain anak, seni, atau olahraga, ada guru yang belum terbiasa.
”Termasuk pandangan orangtua yang berpikir, kok, jadi lebih banyak main. Mereka masih berpandangan yang namanya belajar itu, ya, duduk diam di kursi dan belajar calistung. Tapi, secara perlahan ketika kami mengenalkan dan melibatkan orangtua tentang pembelajaran berbasis proyek, para orangtua mulai mendukung,” ujar Eva.
Cara berbeda
Penerapan Kurikulum Merdeka yang memberikan fleksibilitas bagi sekolah untuk menyesuaikan kurikulum sesuai kondisi dan kebutuhan sekolah diyakini berjalan baik. Dengan pendekatan implementasi Kurikulum Merdeka secara sukarela oleh satuan pendidikan, dalam dua tahun pemberlakuan kurikulum baru ini secara masif, sudah sekitar 80 persen satuan pendidikan yang berminat menerapkan.
Secara terpisah, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan, jika sebelumnya diperlukan lima sampai tujuh tahun untuk menerapkan kurikulum baru. Untuk penerapan Kurikulum Merdeka kali ini Kemendikbudristek melakukannya dengan cara yang berbeda, yakni menawarkannya kepada sekolah untuk diterapkan sesuai kebutuhan dan secara sukarela.
Pada tahun ajaran 2023/2024, sebanyak 306.995 satuan pendidikan sudah mendaftar dan siap menjalankan Kurikulum Merdeka. Sekolah penggerak dan SMK pusat keunggulan wajib menjalankan Kurikulum Merdeka, sedangkan satuan pendidikan lainnya melaksanakan implementasi sesuai kemampuan sekolah secara mandiri.
”Dalam satu setengah tahun saja, 80 persen dari total keseluruhan satuan pendidikan di Indonesia mendaftarkan diri untuk menerapkan Kurikulum Merdeka. Kurikulum Merdeka yang dapat diimplementasikan oleh satuan pendidikan secara sukarela,” jelas Nadiem.
Nadiem mengatakan, Kurikulum Merdeka mengurangi konten pembelajaran sebanyak 30–40 persen materi dibandingkan Kurikulum 2013 guna menekankan pada pembelajaran yang mendalam. Selain itu, ada alokasi sekitar 20 persen waktu untuk pembelajaran berbasis proyek dan memberikan keleluasaan bagi guru mengatur kecepatan proses pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik.
Lebih lanjut, Nadiem memaparkan, Kemendikbudristek menghadirkan Merdeka Belajar dengan tujuan meningkatkan kualitas sistem pendidikan dan menjadikan proses belajar sebagai pengalaman yang menyenangkan bagi pelajar di Indonesia. ”Untuk melahirkan pembelajar sepanjang hayat, kita perlu menghadirkan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi anak-anak kita,” ucapnya.
Upaya transformasi Merdeka Belajar tersebut berfokus pada peningkatan kompetensi guru. Transformasi dilakukan untuk pendidikan praguru agar lebih berfokus pada kemampuan yang relevan dengan praktik, tidak hanya terbatas pada teori. Sementara program Guru Penggerak bertujuan melahirkan generasi baru kepala sekolah dan pengawas tidak semata berfokus pada kompetensi.
Kesiapan daerah untuk menerapkan implementasi Kurikulum Merdeka Belajar beragam. Beberapa waktu lalu, Kepala Badan Penjaminan Mutu Pendidikan Kepulauan Bangka Belitung Guritno Wahyu Wijanarko memaparkan, implementasi Kurikulum Merdeka Belajar menuntut kemandirian para kepala sekolah dan guru dalam mempelajari kurikulum tersebut secara mandiri. Akibatnya, kebutuhan guru untuk belajar secara daring meningkat. Padahal, ada keterbatasan jaringan internet karena kondisi geografis dan infrastruktur.
”IKM ini berbeda dengan model implementasi Kurikulum 2013 yang ada pelatihan berjenjang di daerah hingga sekolah. Sekarang, pelaksanaan IKM lebih menuntut kemandirian para kepala sekolah dan guru. Belum semua sekolah siap untuk berubah,” kata Guritno.