Tingkatkan Akses Diagnosis Tuberkulosis pada Anak
Sekitar 96 persen anak yang meninggal akibat TBC tidak pernah diobati karena terbatasnya ketersediaan dan akses diagnosis yang tepat.
JAKARTA, KOMPAS — Hampir semua anak yang diperkirakan meninggal akibat tuberkulosis tidak pernah didiagnosis atau ditawarkan pengobatan tuberkulosis. Dibutuhkan upaya untuk menutup kesenjangan dalam mendiagnosis, mengobati, dan mencegah penyakit tuberkulosis pada anak.
Saat ini, diperkirakan lebih dari 60 persen anak dengan tuberkulosis (TBC) di seluruh dunia belum pernah mendapat tes TBC. Adapun sekitar 96 persen anak yang meninggal akibat TBC tidak pernah diobati karena terbatasnya ketersediaan dan akses diagnosis yang tepat.
Presiden Internasional Medecins Sans Frontieres (MSF) Christos Christou, Kamis (6/7/2023), mengatakan, Indonesia dapat memainkan peran penting dalam membangun kapasitas diagnostik yang lebih kuat di kawasan ASEAN. Ia melanjutkan, diagnostik adalah hal penting untuk perawatan medis. Tanpa pengujian, masyarakat kurang peduli terhadap adanya penyakit.
Penemuan kasus sedini mungkin dan pengobatan secara tuntas sampai sembuh merupakan salah satu upaya yang terpenting dalam memutus penularan TBC pada masyarakat.
Kapasitas diagnostik sangat dibutuhkan di semua negara untuk kesiapsiagaan menghadapi penyakit yang sudah berlangsung lama, seperti TBC, HIV, dan penyakit kronis yang terabaikan. Namun, saat ini, masih menghadapi sejumlah kendala. Beberapa kendala itu antara lain ketiadaan tes yang akurat untuk mendiagnosis TBC pada anak, tes tidak tersedia secara merata, serta penetapan harga/biaya tes yang tinggi oleh produsen.
Menurut Christou, salah satu alat diagnostik yang banyak digunakan sekarang adalah GeneXpert, alat tes otomatis untuk mendiagnosis berbagai penyakit, seperti TBC, HIV, dan hepatitis. Namun, pemeriksaan GeneXpert hanya salah satu dari pemeriksaan penunjang yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dokter dalam mendiagnosis dan mengobati TBC.
Sebagai salah satu penyedia perawatan TBC non-pemerintah terbesar di dunia, MSF telah mengadvokasi pengobatan TBC yang lebih terjangkau dan aman untuk pasien. Baru-baru ini, MSF menerbitkan TB PRACTECAL, yakni rejimen baru pengobatan oral selama enam bulan yang lebih aman dan efektif dalam mengobati TBC yang resistan terhadap rifampisin (TB-RR).
Hasil ini menandakan adanya harapan baru bagi penderita TBC yang resistan terhadap obat (TB-RO) dan harus menjalani pengobatan yang panjang hingga 20 bulan mencakup suntikan yang menyakitkan serta menelan hingga 20 pil sehari. Christou berharap TB-PRACTECAL dapat mengarahkan WHO dan negara lain untuk mengubah rekomendasi mereka dalam mengobati penderita TBC.
Baca juga: Putus Rantai Penularan Tuberkulosis
”Uji klinis ini dilakukan selama enam bulan menggunakan resimen bedaquiline, pretomanid, linezolid, dan moxifloxacin (BPaLM),” ujar Christou.
Memperkuat komitmen
Sementara itu, pada 22 September 2023, sejumlah kepala negara dan pemerintahan akan menyelenggarakan pertemuan tingkat tinggi yang membahas TBC untuk tinjauan komprehensif dan kemajuan komitmen dalam mengakhiri TBC. Christou mendorong Indonesia dan negara ASEAN untuk mengambil kepemimpinan dalam mempercepat inovasi dan implementasi untuk mendiagnosis, mengobati, dan mencegah TBC, terutama pada anak-anak.
”Ada poin-poin penting yang kami harap dapat dibahas pada pertemuan ini, yang kami yakini sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai Indonesia. Negara harus memperbarui pedoman TBC mereka dan pedoman WHO, khususnya dalam penatalaksanaan TBC pada anak-anak,” kata Christou.
Selain itu, harus ada pengembangan tes diagnostik yang lebih baik untuk mendiagnosis TBC pada anak, serta inklusi anak sebagai populasi kunci dalam uji coba evaluasi. Lalu, menjamin akses dan pasokan TBC yang terjangkau tanpa gangguan diagnostik dan pengobatan. Kemudian, harus memastikan investasi berkelanjutan dalam R&D untuk alat TBC yang terjangkau, khususnya untuk anak-anak.
Baca juga: Jumlah Deteksi Tuberkulosis Capai Angka Tertinggi
Christou mengatakan, komitmen pendanaan juga sangat diperlukan untuk mengakhiri TBC. Negara berpenghasilan tinggi harus menyediakan lebih banyak hibah Bantuan Pembangunan Resmi (ODA) dan pendanaan untuk inisiatif mengakhiri TBC. Selain itu, semua negara harus meningkatkan kapasitas dalam mengimplementasikan penelitian operasional dan uji klinis untuk modalitas pencegahan, diagnostik, dan pengobatan baru TBC.
”Kami juga berharap akan ada fokus yang lebih spesifik pada daerah-daerah yang terabaikan dan masyarakat yang terpinggirkan atau rentan,” kata Chistou.
Penapisan TBC
Pada tahun 2022, Kementerian Kesehatan bersama seluruh tenaga kesehatan mendeteksi lebih dari 700.000 kasus TBC . Angka tersebut merupakan angka tertinggi sejak TBC menjadi program prioritas nasional. Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengatakan, pendeteksian tertinggi penyakit TBC berkat komitmen dari pemerintah dan surveilans yang semakin gencar.
Baca juga: Indonesia Peringkat Kedua Kasus Tuberkulosis Terbanyak di Dunia
Syahril melanjutkan, penemuan kasus sedini mungkin dan pengobatan secara tuntas sampai sembuh merupakan salah satu upaya yang terpenting dalam memutus penularan TBC pada masyarakat. Adapun angka keberhasilan pengobatan TBC sensitif obat di Indonesia pada tahun 2022 sebanyak 85 persen. Sementara angka keberhasilan pengobatan TBC resisten obat di Indonesia tahun 2022 secara umum keberhasilannya mencapai 55 persen.
Untuk mengentaskan masyarakat dari TBC, Kemenkes telah melakukan kerja sama dengan berbagai asosiasi dan organisasi profesi. Selain itu, Kemenkes juga mendorong dana Global Fund yang disalurkan ke provinsi, kabupaten, dan kota agar terealisasi lebih cepat.
Tidak hanya itu, pemerintah juga telah menjalin kerja sama luar negeri dalam pengendalian TBC di Indonesia. Pemerintah pada 14 November 2022 menjalin kerja sama dengan United Arab Emirates dalam pengentasan masyarakat dari TBC. Pemerintah Uni Emirat Arab berkomitmen memberikan hibah berupa bantuan keuangan (financial aid) sebesar 10 juta dollar AS untuk mendukung program pencegahan TBC di Indonesia.
Sebelumnya, melalui keterangan resminya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa kasus TBC yang terus meningkat setiap tahunnya memacu Kemenkes berkomitmen untuk melakukan skrining yang lebih luas. Hal ini termasuk menyusun strategi pencegahan TBC agar tidak semakin meluas di Indonesia.
Baca juga: Paduan BPaL Perpendek Durasi Pengobatan Tuberkulosis Resisten Obat
Pada tahun 2023, Kemenkes telah menyusun strategi pencegahan TBC, mulai dari edukasi, pemberian terapi TBC, penyediaan sarana diagnosis TBC, hingga promosi kesehatan. Menkes Budi Gunadi menuturkan, untuk mencapai target tersebut, bukan hal mudah lantaran kasus baru TBC masih terus bertambah di Indonesia.
”Kolaborasi antar-stakeholder dan peneliti dalam memajukan ilmu pengetahuan untuk diagnosis ataupun tata laksana TBC perlu diapresiasi sebesar-besarnya untuk melakukan pencapaian yang lebih baik,” ujar Budi.