Potensi Gempa di Ibu Kota Nusantara Dominan Rendah
Hasil kajian sejumlah lembaga menunjukkan, masih terdapat potensi bahaya geologi berupa gempa di lokasi Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur. Akan tetapi, potensi gempa tersebut tergolong rendah.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil kajian sejumlah lembaga menunjukkan masih terdapat potensi bahaya geologi berupa gempa di lokasi Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur. Akan tetapi, potensi gempa tersebut tergolong rendah. Beberapa catatan juga menunjukkan pusat gempa di Kalimantan Timur puluhan tahun lalu terjadi di luar kawasan Ibu Kota Nusantara.
Deputi Bidang Transformasi Hijau dan Digital Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) Mohammed Ali Berawi mengemukakan, wilayah IKN di Kalimantan Timur memiliki risiko bahaya gempa bumi yang dominan rendah. Hal ini ini sesuai dengan kajian risiko bencana yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2020.
Salah satu kajian risiko bencana dari BNPB ini merupakan analisis dari peta bahaya gempa bumi di kawasan IKN. Analisis ini dibuat berdasarkan data hasil pemetaan mikrozonasi gempa bumi di Penajam Paser Utara, Balikpapan, dan sebagian wilayah Kutai Kartanegara yang dilakukan Badan Geologi.
”Meskipun sesar aktif terdapat di Barat Laut IKN dan berpotensi mengakibatkan gempa bumi, diperkirakan potensi gempa bumi yang dihasilkan relatif kecil. Hal ini karena sesar aktif tersebut tergolong sesar minor,” ujarnya ketika dihubungi, Minggu (9/7/2023).
Menurut Ali, selain sesar minor, potensi gempa bumi tektonik di IKN yang rendah juga diakibatkan oleh dampak pejalaran dari sesar mayor, seperti pejalaran dari sesar Palu Koro di Sulawesi. Kemudian sesar Sangkulirang, yakni Maratua dan Mangkalihat, serta sesar Adang atau Pasternoter tercatat sudah lama tidak aktif.
Merujuk peta kawasan rawan bencana (KRB) gempa bumi dan mikrozonasi gempa berdasarkan mikrotremor pada kawasan inti IKN, terlihat bahwa KRB gempa pada kawasan IKN terdiri atas KRB gempa rendah. Adapun percepatan tanah maksimum (peak ground accelaration/PGA) mencapai 0,1 g (satuan percepatan gempa di permukaan) pada batuan dasarnya.
Meskipun sesar aktif terdapat di barat laut IKN dan berpotensi mengakibatkan gempa bumi, diperkirakan potensi gempa bumi yang dihasilkan relatif kecil. Hal ini karena sesar aktif tersebut tergolong sesar minor.
Hasil kajian seismotektonik oleh Badan Geologi juga menunjukkan bahwa secara umum Kalimantan jauh dari jalur sumber gempa. Sebab, pada zaman Neogen, yakni 23–0,05 juta tahun yang lalu, Kalimantan telah terkunci oleh Laut China Selatan serta jalur subduksi berpindah ke selatan Jawa.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, sejak 1921 sampai sekarang telah terjadi gempa bumi di Kalimantan Timur yang cukup memakan korban. Salah satunya yaitu gempa Sangkulirang tahun 1921 atau berkisar 200-300 kilometer dari kawasan IKN dengan intensitas gempa VII MMI dan menimbulkan tsunami di Sekuran.
Kemudian tahun 1923 terjadi gempa Tarakan dengan intensitas gempa VIII MMI atau sekitar 600 kilometer dari IKN dan mengakibatkan beberapa bangunan roboh dan tanah retak. Dua tahun berselang, tahun 1925, terjadi kembali gempa di Tarakan yang mengakibatkan guncangan cukup kuat di Tarakan dan Luikas.
Selain itu, pada 1957 terjadi gempa di Balikpapan dengan lokasi berkisar 10-20 kilometer dari kawasan IKN. Gempa dengan intensitas VI MMI tersebut bahkan sempat mengakibatkan tsunami di Pantai Balikpapan.
Meningkatkan resiliensi
Dosen Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung (SAPPK-ITB), Saut Aritua Hasiholan Sagala, mengutarakan, aspek kebencanaan harus diperhatikan dalam pembangunan IKN sehingga bisa meningkatkan resiliensi. Adapun resiliensi ini termasuk dalam menghadapi gempa, banjir, kekeringan, autapun kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
”Untuk meningkatkan resiliensi, infrastruktur yang dibangun di IKN juga harus tangguh terhadap bencana. Sebagai contoh, jalan yang dibangun bisa menggunakan tiang pancang sehingga tidak merusak badan atau alur air. Akan tetapi, hal ini tetap harus menjaga integritas dari kekuatan infrastrukturnya,” ucapnya.
Saut berharap pembangunan IKN dapat menjadi contoh untuk pengembangan dan perencanaan kota-kota lain di Indonesia di tengah lemahnya proses monitoring dan evaluasi. Sebab, secara umum kota-kota di Indonesia mengalami tantangan karena perkembangan perekonomian, kerentanan, perubahan iklim, dan urbanisasi.
”Ruang perkotaan itu dinamis dan perlu manajemen yang memeriksa setiap hari sehingga proses resiliensi bisa terus dimonitor. Tantangan perkotaan di Indonesia secara keseluruhan yaitu dari sisi monitoring dan evaluasi,” ujarnya.